Categories
Jam Istirahat

The Cart, Memang Bukan Drama Cinta Korea Biasa

Judul Film: Cart

Sutradara: Boo Ji-Young

Penulis: Kim Kyung-chan

Durasi: 110 menit

Rilis: 7 September 2017

 

Sebagus apapun kerjamu, kapan saja kamu bisa dipecat.”

Percayalah, kamu tidak sepenting itu bagi perusahaan. Kamu tidak lebih berarti dari mesin pembungkus, mesin kasir, atau kereta belanjaan. Pada suatu hari kamu akan digantikan oleh buruh lain. Entah dengan alasan yang seolah masuk akal, atau murni mengada-ngada.

Jika kamu masih menganggap bahwa kesetiaan pada perusahaan akan menjamin masa depanmu, saksikan saja apa yang terjadi pada buruh Homever. Buruh-buruh kontrak ini tiba-tiba dipecat pada Juli 2007, dan digantikan oleh buruh outsourcing

Benar-benar lagu lama, Homever berdalih pemecatan ini merupakan strategi yang perlu ditempuh demi efisiensi. Dengan kata lain, buruhlah yang bertanggung jawab atas kerugian (jika memang ada) yang diderita perusahaan. Padahal, kerugian yang timbul mungkin saja keputusan bodoh direksi, atau karena uangnya amblas di pasar saham.

Selama dua tahun, sejak Juli 2007 hingga 2009, buruh-buruh Homever melancarkan berbagai macam protes demi merebut hak-hak mereka yang dirampas oleh perusahaan. Myung Films mengangkat kisah para buruh ini ke layar lebar melalui film The Cart

Terbuai Janji Manis Para Direksi.

Akuilah, kamu tak lebih dari sekrup yang ditumbalkan demi memutar roda bisnis perusahaan. Itulah rupanya yang hendak dikatakan Lee Hye-mi kepada Han Sun-hee dalam sebuah adegan, ketika keduanya berjumpa di ruang ganti.

Hye-mi dan Sun-hee keduanya keduanya buruh gerai toko eceran Homever (yang dalam film ini disebut dengan The Market). Karakter mereka bertolak belakang. Sun-hee adalah sosok teladan bagi buruh lainnya di gerai The Market. Sementara, Hye-mi lebih layak disebut sebagai buruh pembangkang. 

Suatu kali perusahaan meminta mereka lembur, dengan yakin Hye-mi menolak. Melengos pulang begitu saja, tanpa ada yang bisa menahannya. Sun-hee tampak ragu-ragu, tapi akhirnya menyanggupi untuk  mengambil kerja lembur. 

“Bu Han, apa Anda tidak lelah selalu pulang telat?”, tanya Hye-mi.

“Sebenarnya iya, tapi sudah menjadi keharusan apabila bekerja di sini”, ucap Sun-hee.

“Saya sih lelah, bahkan untuk selalu menolak tawaran lembur,” balas Hye-mi sambil bergegas pulang.

Boleh dibilang Sun-hee tak menjawab pertanyaan Hye-mi dengan sejujurnya. Sebagai seorang ibu dengan setumpuk kerja rumah tangganya, lembur setiap hari tentulah membuat Sun-hee lelah. Hubungannya dengan Tae young–anak sulungnya– merenggang, akibat Sun-hee tak ada waktu bahkan untuk sekedar bercakap-cakap dengan kedua anaknya.

Termakan janji manis dari direksi, Sun-hee getol mengambil lembur. Ia percaya kerja kerasnya akan mendapat ganjaran yang setimpal dari perusahaan. Merasa optimis kondisi ekonominya akan berangsur membaik, dia bahkan menjanjikan akan membelikan handphone baru untuk anaknya, Tae young. 

Mulanya, bagi penonton Sun-hee sekilas tampak seperti tokoh heroik yang rela berkorban untuk kedua anaknya. Perlahan kita menyadari, menolak kerja lembur adalah keputusan Hye-mi yang amatlah tepat. Setiap kali Hye-mi usai menuntaskan pekerjaannya, ada anak yang selalu menunggunya untuk dijemput dari sekolah. 

Suatu petang, hari mulai gelap, si mungil tertunduk di anak tangga dekat sekolah, menanti Hye-mi datang menjemputnya. Sambil merengek setengah ketakutan, bocah tersebut terus bertanya kenapa ibu telat menjemput? 

Hye-mi hanya bisa meminta maaf sambil mendekap buah hatinya. Seolah tak rela hak anaknya juga terancam direnggut oleh perusahaan. Hye-mi tentu tak bisa menjelaskan apa yang membuatnya terlambat.  Si kecil belum cukup umur untuk memahami deraan yang ia terima di tempat kerja. Bagaimana mungkin menjelaskan perasaan yang harus ia telan ketika bersujud meminta maaf kepada konsumen degil yang memperlakukannya seperti budak? Hampir tak mungkin menceritakan kekesalan yang ia pendam karena perusahaan lebih mementingkan kepuasan konsumen degil ketimbang hak-hak buruh. 

Untuk beberapa lama, Hye-mi dan Sun-hee seakan menempuh jalan hidup yang sama sekali berbeda. Perlahan-lahan mereka tertautkan,  ketika The Market memecat seluruh buruh kontrak. Hye-mi dan Sun-hee lalu menyadari bahwa mereka hanyalah buruh yang tak memiliki kepastian kerja dan hak-haknya terlalu mudah direnggut. Pada babak ini penonton disuguhi adegan yang menjengkelkan. Sesudah mengumumkan keputusan pemecatan, atas nama efisiensi, direksi berkumpul dengan wajah sumringah. Seolah tanpa dosa. 

 

Semua adalah Demi Laba

“Tidak masalah. Pemecatan buruh adalah tren saat ini,” tukas salah seorang pemilik perusahaan. 

“Nah itu yang saya maksud. Kita tertinggal oleh pesaing-pesaing kita,” timpal yang lain. 

Beberapa potongan dialog akan menyeret penonton pada ketegangan inti dari film ini, yakni tentang bentrokan kepentingan antara buruh dan majikan. 

Menyimak percakapan di ruang rapat direksi, Manager Dong-Joon dibuat terheran-heran. Begitu enteng dan piciknya para majikan mengucap kata “tren.” Dialog demi dialog menggambarkan keresahan yang menjalari benak para majikan ini. Mereka sangat takut tertinggal, gagal memahami dan terlambat merespon tren saat itu.

Tren yang dibicarakan para pemilik perusahaan merujuk pada maraknya pemecatan pasca pengesahan UU Perlindungan Pekerja Tidak Tetap/Kontrak di Korea Selatan pada 1 Juli 2007. Publikasi Asian Human Rights Commision, 6 Agustus 2007, menggambarkan, dengan adanya undang-undang ini, buruh yang telah menjalani kontrak selama minimal dua tahun akan otomatis menjadi buruh tetap. 

Sumber Foto: Cine21.com

Tak mau dibebani kewajiban mengupah buruh tetap, banyak perusahaan segera memecat  buruh kontraknya. Salah satunya adalah perusahaan eceran New Core Outlet, yang memecat sekitar 300 buruh kontrak sebelum UU tersebut diberlakukan. Jejak New Core diikuti oleh oleh Homever dan perusahaan eceran lainnya. Homever, anak perusahaan E.L Retail Limited, dengan tangkas memecat sekitar 500 buruhnya. Praktek ini yang kelak meluas ke Asia Tenggara termasuk Indonesia pasca 2011. Banyak perusahaan di sejumlah wilayah di Bekasi, Karawang, hingga Rancaekek memecat buruh kontraknya dan menggantikannya dengan buruh outsourcing.

Sudah menjadi rahasia umum, dalam mengoperasikan bisnisnya perusahaan akan menempuh cara yang paling murah untuk meraup untung sebesar-besarnya. Cara paling empuk adalah dengan menekan upah buruh, jaminan sosial, dan hak-hak dasar lainnya. Sebab, memang  dengan cara seperti itulah kapitalisme bekerja. Niatan kapital –sebagaimana yang dinyatakan Dede Mulyanto dalam bukunya Genealogi Kapitalisme– bukanlah memberi pekerja penghidupan, bukanlah mencari pahala,  tapi mencari laba. Kalau menekan upah adalah cara paling murah dan paling efisien guna mengakumulasi kapital, menumpuk kekayaan, maka cara itulah yang akan dipakai. 

Tak sulit untuk memahami, mengapa buruh kontrak di The Market harus disingkirkan. Mereka harus disingkirkan sebelum undang-undang mengharuskan mereka diangkat menjadi buruh tetap. Karena perusahaan emoh keluar uang untuk mengongkosi buruh tetap dengan segala hak-haknya. 

 

Penindasan Buruh Perempuan

 “They say it is love. We say it is unwaged work

Silvia Federici-Wages, Against Housework

The Cart gamblang memperlihatkan tentang kerja berlebihan, lembur tak dibayar dan pemecatan. Sebenarnya, tidak hanya itu. Aksi mogok yang digalang buruh The Market ibarat menggaris-bawahi peran tenaga kerja bagi kelangsungan siklus kapital. Tenaga kerja, sebagai komoditi, memiliki ciri khusus yaitu mampu menghasilkan nilai baru alih-alih membuat nilai tersebut susut (Mulyanto, 2012: 101-102). 

Tanpa buruh-buruh seperti Sun-hee dan Hye-mi yang menyortir, menata dan mencatat penjualan, The Market hanyalah gudang berisi barang-barang yang tak memiliki nilai jual dan nilai guna. Untuk itulah, demi terus menghasilkan nilai-lebih (atau sederhananya laba) perusahaan sebisa mungkin berupaya untuk tetap menjaga para buruhnya tetap bekerja. Entah menghentikan mogok kerja dengan kekerasan atau memaksa mereka bekerja lembur dengan iming-iming diberi predikat buruh teladan.

Lebih lanjut, Dede Mulyanto menjelaskan, semua kapitalis—seandainya bisa—tentu ingin mempekerjakan buruhnya selama mungkin. Tapi, kenyataannya tenaga kerja selalu melekat pada tubuh buruh yang hidup. Tubuh yang senantiasa membutuhkan istirahat dan pemeliharaan. Secara biologis buruh bisa mati dalam beberapa hari saja seandainya dipekerjakan secara terus menerus selama 24 jam. Padahal, buruh yang mati sangatlah tidak menguntungkan. Maka, demi menjaga agar buruh tetap masuk kerja keesokan harinya, majikan memberi mereka uang (atau diberi uang) untuk membeli makanan, tempat tinggal dan pakaian. Tentu saja, seluruh kebutuhan tersebut dihitung seksama agar semurah-murahnya. Buruh yang terpaksa hidup dengan cara semurah-murahnya itu memang adalah buruh murah. 

The Cart tentu juga adalah film tentang buruh-buruh perempuan. Sun-hee, misalnya, terpaksa bekerja lembur demi mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan kedua anaknya. Sebagai seorang Ibu yang pasangannya bekerja di kota yang jauh, dan dan tanpa kepastian kapan akan pulang, Sun-hee mesti memikul perannya layaknya orang tua tunggal. 

Salah satu adegan yang menarik, suatu pagi Sun-hee—dengan sikat dan pasta gigi menempel di mulut—ontang-panting antara ruang makan dan dapur karena menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya sebelum berangkat kerja. Di sela-sela waktu sempit itu Sun-hee masih menyempatkan bercakap dengan anaknya. Memastikan mereka baik-baik saja. 

Sun-hee sejatinya membesarkan dan merawat anak-anaknya. Dan, kelak anak-anaknya akan terpersiapkan sebagai tenaga kerja yang akan ditelan sistem ekonomi yang kapitalistik. Selain institusi pendidikan seperti sekolah, semua anak yang kelak akan menjadi barisan cadangan tenaga kerja murah; dilahirkan, dibesarkan dan dididik oleh seorang perempuan sebagai Ibu. Peran yang dilakukan oleh perempuan di ranah reproduksi ini, sejatinya adalah kerja. Kerja yang tidak dibayar. 

Dalam kumpulan esainya, Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction and Feminist Struggle, Silvia Federici mengulas peran kerja reproduksi, khususnya pekerjaan rumah tangga, dan bagaimana kerja reproduksi dibuat seolah-olah merupakan kodrat perempuan dan semata-mata dibebankan kepada perempuan. Dan, karena itulah perempuan tidak perlu dibayar untuk melakukannya. 

Melalui tipu daya apparatus ideologisnya, kapitalisme bersabda bahwa kerja seperti memasak dan mengasuh merupakan bentuk cinta dan kasih sayang, yang wajib ditunaikan oleh perempuan. Dengan meletakkan perempuan dalam struktur masyarakat patriarkal inilah, kapital menghisap kerja reproduksi secara cuma-cuma.

Maka, ketika Tae Young diterima bekerja, majikan mendapatkan buruh terampil dan terdidik yang mampu membaca, menulis dan berkomunikasi. Tak ada yang peduli akan Sun-hee, buruh dan ibu rumah tangga yang melahirkan, merawat dan menyekolahkan Tae Young, hingga anak itu tumbuh serta memiliki keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja.

The Cart menunjukan, dalam kapitalisme kerja reproduksi tidak anggap sebagai kerja, dan oleh karenanya bukan sesuatu yang pantas diupah. Menurut Federici, inilah akar dari akumulasi kapital. Kapital tidak akan mau bersusah payah menghitung ongkos yang perlu dikeluarkan untuk mengupah kerja-kerja yang dicurahkan di ranah reproduksi. Tidak ada majikan yang sudi melakukan hal itu. 

 

The Cart dan Perlawanan yang Lebih Luas

Pemecatan di tempat kerja membawa buruh kontrak, yang mayoritasnya adalah perempuan, pada kesadaran penuh atas ketertindasan yang mereka alami. Pengalaman bersama ini mengikat mereka untuk mengencangkan perlawanan. Melawan perusahaan yang menekan balik dengan melancarkan politik politik adu domba dan tanpa sungkan menggunakan kekerasan, para buruh tetap melakukan protes hingga mogok kerja.

Sumber Foto: asianmoviepulse.com

Sejujurnya saya cukup terkejut dengan adegan ketika Hye-mi tiba-tiba mengambil inisiatif mengumpulkan seluruh korban pemecatan dan mengajak mereka semua untuk mendirikan serikat buruh. Gagasan tersebut mustahil muncul secara tiba-tiba tanpa ada asal-usul sejarahnya. Watak pembangkangan tidak sekonyong-konyong jatuh dari langit. 

Korea Selatan bagaimanapun memiliki sejarah gerakan buruh yang cukup panjang. Bahkan gerakan buruh yang militan, sebagaimana diungkap  Wilson dalam  Memetakan Gerakan Buruh (2012; 38-41). Wilson lebih lanjut menjelaskan kaitan antara pembentukan gerakan buruh Korea Selatan dan proletarisasi yang terjadi pada 1966-1975. Proletarisasi itu berlangsung cepat segera sesudah Amerika memenangkan perang Korea. Ketika itu sekitar 5,9 juta orang meninggalkan pencaharian utama mereka di lahan-lahan pertanian untuk berpindah dan mencari kerja di kota. Mereka terkonsentrasi sepanjang Seoul hingga Pusan, dan di tempat itulah gerakan buruh menguat. 

Korea Selatan kemudian memasuki beragam kebijakan pro pasar bebas dan industrialisasi, seturut dengan revisi undang-undang perburuhan, yang berujung pada Federation of Korean Trade Union (FKTU). 

Begitulah, seiring pertumbuhan kota-kota dan kawasan industri dan mobilisasi tenaga kerja secara masif, ditambah kebijakan anti buruh yang militeristik, seluruhnya menjadi bahan bakar utama bagi kemunculan gerakan buruh di Korea. Gerakan buruh di Korea kemudian menjadi salah satu gerakan paling terorganisir dan militan yang, besama gerakan mahasiswa dan gereja pembebasan, menggulingkan rezim militer Chun Doo-hwan pada tahun 1980.

The Cart nampaknya bukan semata tentang apa pentingnya merebut hak-hak perburuhan dan mengembangkan taktik untuk melakukannya. Juga menyoal tentang menumbuhkan budaya pembangkangan di antara para buruh. 

Tengok juga, The Cart memperlihatkan pula, betapa tidak mudah bagi perempuan untuk mendobrak tembok-tembok patriarki dan belenggu budak dari majikan mereka. Tidak mudah meruntuhkan kungkungan psikologis yang mereka hadapi selama bertahun-tahun. Ada kalanya kepercayaan diri mereka goyah. Serikat buruh awalnya dibangun dan dipimpin oleh perempuan malah kemudian dipimpin oleh Dong-Joon, laki-laki mantan manager The Market.

Merujuk kembali kepada argumen yang diajukan oleh Silvia Federici, nampaknya perjuangan upah bagi pekerjaan rumah tangga, tidak bisa tidak, merupakan kunci dari pembebasan perempuan dari tembok patriarki dan belenggu kapitalisme. Sayangnya agenda ini juga luput diajukan oleh gerakan buruh The Market.

Sebab, menurut Federici, perjuangan tersebut tak hanya mendobrak posisi perempuan dalam struktur masyarakat patriarkis, tuntutan upah untuk pekerjaan rumah tangga juga memaksa kapital untuk membangun kesepakatan yang adil dengan buruh. Tengok juga kutipan dari Federici berikut: “…upah menandakan bahwa kamu adalah buruh. Kemudian, kamu dapat melakukan tawar-menawar dan memperjuangkan tentang syarat dan besarannya, juga tentang syarat dan beban pekerjaannya. Tapi, menerima upah adalah bagian dari kontrak sosial, yang maknanya adalah: kamu bekerja bukan karena kamu menyukainya, atau bahwa dari sononya kita memang harus bekerja, tapi karena kerja adalah syarat supaya kamu bisa tetap hidup.” 

Perjuangan menuntut upah pekerjaan rumah tangga menurut Federici adalah juga “merestrukturisasi relasi-relasi sosial yang menguntungkan bagi kita, dan akibatnya lebih menguntungkan bagi persatuan kelas”.

Terakhir, tonton saja filmnya. Tak akan sia-sia. 

 

 

Daftar Rujukan

Mulyanto Dede. (Januari 2012). Genealogi Kapitalisme: Antologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book

Arifin et.al. (Maret 2012). Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Perburuhan Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: Penerbit KEPIK.

Federici Silvia. (2012). Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. Oakland: PM Press. Diakses dari https://monoskop.org/images/2/22/Federici_Silvia_Revolution_at_Point_Zero_Housework_Reproduction_and_Feminist_Struggle_2012.pdf 

Asian Human Rights Commision. (6 Agustus 2007). SOUTH KOREA: Massive dismissal of workers by company while the government cracked down on their strike. Diakses dari http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/UA-246-2007/ 

 

Penulis: Ilyas Gautama

Editor: Dede Sampurna