Categories
Jam Istirahat

[Review] Reticent – Street Violence

Album: Street Violence

Band: Reticent

Tanggal Perilisan: 06 January 2023

Label: Iron Thread

Jumlah Track: 9 track

Trimurti.id – Situasi cadas di sepanjang Jalan Pahlawan, Bandung, kembali merangsek ingatan kala sebuah EP berjudul “Street Violence” milik Reticent saya putar. Saya dapat menyebut ingatan itu sebagai sebuah masa di mana terik pagi hari tak sedikitpun membuat kaki saya meminta istirahat untuk jalan kaki menuju Ir. H. Juanda pada hari Minggu (Car Free Day). 

Hari Minggu punya tempat spesial kala itu–satu-satunya hari ketika saya dapat izin keluar rumah–nongkrong bersama teman-teman yang beberapa dari mereka hampir delapan tahun tak pernah lagi saya lihat batang hidungnya.

Hari penuh semangat dengan memikul beban pertanyaan yang menumpuk di kepala; tentang kenapa teman-teman berpakaian demikian, kenapa mereka yang di seberang sana bersama-sama membuat kepalanya tak ditumbuhi rambut. Tak jarang kami terlibat perkelahian, meskipun bukan saya yang berkelahi, tapi suasana menyeramkan itu sama-sama saya rasakan.

Pagi di hari Minggu yang paling saya suka adalah aktivitas berbagi informasi mengenai tindak-tanduk teman-teman yang sering mereka definisikan ulang, merancang makna dari semua ornamen yang mereka pakai, mengutuk ini-itu, mengartikan hidup se-kotor mungkin. Seperti orang awam lainnya, ide-ide baru yang memiliki daya kejut yang mantap akan hinggap di kepala dalam waktu yang lama.

Saya seketika ingat kembali masa dimana Cock Sparrer, The 4 Skins, dan Cockney Reject jadi band yang mengenalkan saya kepada “Oi!”. Itupun berkat seseorang yang baru kenal menjadikan tiga band itu sebagai jaminan pin button Agnostic Front milik saya bisa dikembalikan dari tangannya. Pola pencurian seperti ini tak sekali-dua kali, kejadian itu berulang kali terjadi terhadap saya selaku bocah ingusan yang masih menganggap masalah sebatas menyelesaikan PR dari sekolah menengahnya.

Di tahun-tahun mendatang, ada semacam kekecewaan yang saya sikapi secara berlebihan. Selama musik UK82 masih duduk di antrean playlist, datang tamparan yang tentu membuat kesal. Tentang kisah kusut skena tersebut khususnya deretan band Oi! dengan framing neo-nazinya. Saking buah bibir ini memanas dalam obrolan sepenangkringan, saya ingat betul ada teman seorang Skinhead yang di suatu waktu tiba-tiba memamerkan emblem SHARP-nya sembari membagi pengalamannya mendengarkan band Oi Polloi. 

Kami yang waktu itu baru tahu apa itu neo-nazi, menemukan poster-poster Anti Nazi League yang dibuat oleh sang futurist kesayangan kita semua, David King,  jadi bahan rebutan gambar untuk dijadikan wallpaper handphone. Maklum, waktu itu Crass datang dengan sayap dipundaknya.

Pada tanggal 6 Januari 2023, Reticent merilis Extended Play bertajuk Street Violence lewat label Iron Thread. Usai perkenalan awal melalui demo self-titled yang dirilis tahun lalu, dengan lagu pamungkasnya “The Crew” yang mencomot slogan supporter Millwall Football Club ke dalam lirik berbunyi “We fear no foe”. Mini album Street Violence yang digarap Reticent kini ditukangi dapur mastering-nya oleh Gilz di Rumah Musim Dingin dan Gundem yang mengurus perekaman di Yan’s Studio. Sedangkan untuk urusan dapur sampul, desain, dan lay-out, dikerjakan oleh Dena yang juga merupakan personil (bass).

Artwork bertemakan salah satu pembagian tradisional dari sejarah dunia Eropa yakni Abad Pertengahan, oleh Dena jadikan imaji visual Reticent sebagai band. Abad Pertengahan Eropa dirupakan sebagi format visual keseluruhan band dari logo, poster, katalog merchandise, hingga sampul album. Kesatria sebagai instrumen masyarakat Abad Pertengahan dalam sosio-politik feodalisme: kesatria dan ningrat kelas bawah memiliki hak tertentu dan jadi penguasa kawasan tanah bebas pajak, sebagai imbalan, kesatria mesti siap-sedia diluncurkan ke medan perang oleh kekaisaran atau kerajaan. Dengan kesatria/tentara sebagai ikon utama di setiap artwork, terdapat pesan lain sebagai tanda, lantaran kesatria digambarkan dibagian kepalanya sekedar tulang dari wajah manusia. Untuk sampul mini album ini agak berbalik, Dena menggambar seorang kesatria berzirah yang kepalanya disamarkan dengan pulasan hitam pekat sedang menancapkan pedangnya ke sebuah tengkorak kepala manusia.   

pastedGraphic.png

Wendi (drummer Reticent), saya, dan teman-teman lainnya di Pondok Pak Budi sedang melakukan aktivitas maraton Film kala itu, saat langit Bandung menurunkan hujan tepat di akhir pekan. Hal itu dilakukan dalam upaya mengobati suasana limbung karena beberapa rencana seketika berantakan. Wendi seperti biasanya, cekatan dan rajin menjembatani obrolan sehingga percakapan nyaris tak kunjung surut. Misalnya saja, ia memilih film Imperium (2016) untuk ditonton bersama dan dengan penuh semangat mengutarakan analisanya dari dimulai hingga film selesai. 

Hal yang wajar memang jika diingat sehabis menonton film, Wendi membagikan sepenggal kisah hidupnya bersama skinhead. Tak luput juga membagikan perihal Reticent yang punya tempat dan emosionalnya tersendiri terhadap kesenangannya dan kultur yang ia hidupi. 

Sedangkan Reticent, membagikan kepada kita warisan UK82 dan hardcore tipe 80-an dalam satu bungkus. Memperlihatkan kegamangan anak muda dalam keterasingan akan kotanya, khususnya Bandung dengan lirik dan suara vokal yang begitu Oi!. Pesan personal sekaligus suara inner-city. Suara penduduk yang bingung terhadap kotanya sendiri, mengidupi kota yang tak dimilikinya, pembangunan dan serba-serbinya, serba terbatas bagi mereka (dan kita sebagai kelas bawah). Jika teman terdahulunya Violent Reaction menggawangi New Wave Of British Hardcore, Reticent pun merupakan jebolan dari New Wave Of Bandung Hardcore (NWOBHC).

Perihal itu direkam oleh Reticent melalui nomor “Together” yang memadatkan hiruk-pikuk jalanan sekitar Lembong sebagai tempat bersua beberapa band dari NWOBHC ke dalam lagu.   Teriakan sentimentil “Always remember (that) / has awake all this time/ Don’tell if we apart/ Because, we will collapse” dilanggamkan. Memang terdapat batas tipis antara ‘memori kolektif’ dan hal ‘personal’ dari Banyeng, Dena, Wendi, dan Jeff dalam memaknai kebersamaan rekan-rekan yang saling berbagi kopi dan mabukan di Lembong. Itu tak pernah jadi soal, ketika datang hari yang memalingkan muka kepada rekan-rekannya, Reticent seakan memanjatkan “Fires Still Burning Is Never Goes Out” yang saya artikan sebagai ‘kami lahir bersama kalian dan akan menghidupi hidup ini dengan kalian’ di lagu ini.

Dilanjut keterhubungannya dengan nomor “Riot” yang memiliki semangat yang sama. Kebersamaan yang dilantunkan dalam penenggalan: “Put on your boots / Stomping on the ground” seolah menarik seseorang yang terpuruk dalam selokan nasib untuk menengadah kembali pada hidup. Disusul lirik selanjutnya berbunyi “Kick all the barriers / destroy everything / Riot! Riot! Riot! Riot”, yang terdengar lebih ‘jalananan’ dari kemiripan maknanya dengan penggalan puisi Dylan Thomas: “Rage, rage against the dying of the light” dalam judul Do Not Gentle Into That Goodnight. 

Tak bisa ditampik, pesan-pesan sangat personal hadir hampir disekujur EP. Musik sebagai medan pawai ekspresi dan amarah dirasa lebih dari cukup. Pasalnya silang-sengkarut diri dengan sekitar tak bisa dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. Sederhana saja, taruh pertanyaan mengani sosok seperti apa yang hendak dicaci Reticent dalam nomor “Big Mouth” dan “Bootlickers”. Serta gugatan anak muda subordinat terhadap dominasi sosial dalam nomor “Second Class”. Saya maupun kalian pasti pernah dalam satu babakan hidup dihinggapi keresahan sejenis.

Mengenai babakan hidup, Reticent kadung berhasil mencairkan endapan kenangan yang geli bila diingat. Saya sering berpaling muka jika mengingat kala leher berusaha ditanggahkan di segala macam kondisi, guna menutupi saya yang pernah dipecundangi. Untuk sekedar menyesal kenapa hardcore-punk tak saya kenali lebih awal lagi.  

Saya kembali ingat ihwal rasa penasaran mengenai laku-lamprah skinhead; saya ingat mempunyai mimpi untuk berkunjung ke DC untuk bercengkrama dengan kolektif Positive Force. Walaupun pada akhirnya emo revivalist lebih lama bergema di kehidupan saya, barangkali hinga kini.

Pada nomor “Wasting Time” terdapat amukan terhadap kebanalan. Suatu rasa bosan yang dirilis melalui letupan emosi negatif. Penggalan awal “Those in control / Is never enough” mengajak saya untuk berefleksi. Kita semua tahu bahwa kapitalisme beserta aparatus idelogisnya membentuk permainannya sendiri dengan menawarkan pilihan, di mana kita tak pernah benar-benar memilih, entah dalam lapangan kultural maupun perkara selera.

Mari kita bicarakan sedikit saja, sejak semua negara hari ini menghindar dari praktik represif langsung. Buahnya, individu akan lebih mudah terkontrol ketika mereka merasa bebas dan otonom atas kehidupannya: kebenaran yang pedih mengenai ‘pemberontakan’ ternyata diperlukan untuk kapitalisme memperbaiki diri, atau menghindari pasar tenaga kerja berarti menambah angka pengangguran yang diperlukan untuk keberlangsungan hajat sistem kerja upahan. Itulah salah dua contohnya. Disusul lirik berikutnya “They when decide / Stumble over world” yang saya artikan bahwa Reticent telah mengatahui dari awal siapa yang memenangkan permainan ini.  

Jika saya analogikan kata ‘stumble’ disini sebagai batu, maka batu itu adalah jelmaan sebuah era di mana kebahagiaan dan kesenangan adalah tujuan dari bertahan hidup. Sialnya, kita mesti pernah berpikir apakah hasrat kita mengenai kebahagiaan dan kesenangan itu benar polos tanpa manipulasi? Sudahlah, lads, kita tersandung dan jatuh lagi oleh batu itu.

Diakhiri dengan langgam “Wasting time” dengan penuh penekanan oleh Banyeng sang Vokal. Meski terlihat eksplisit, penggalan itu lebih terasa bingung. Siapa pula yang tak pernah dibuat bingung saat sadar dirinya sekedar penonton pasif dari hingar-bingar kebudayaan dan kerangkeng hegemoninya. Kita semua dipaksa meninggalkan kehidupan otentik serta membuang waktu ke ranah produksi yang diperlukan agar modus operandi sosial-budaya tersebut tetap ajeg.  

Komposisi musikalitas yang jadi andalan EP ini ada dalam nomor “Street Violence” yang dimandatkan sebagai pembuka sekaligus judul. Disusul nomor paling renyah untuk stomping “Fight” yang terdapat penggalan gang vokal sebagi akhiran chorus. Dan satu lagi, entah kenapa musikalitas di nomor “No Rules” punya magnet tersendiri ditelinga saya.

Tiga lagu diatas yang bagi saya lebih asik secara musikalitas dari lagu lainnya. Namun secara keseluruhan EP, perpindahan power chord yang dimainkan Jeff selalu punya kejutan saat berganti part, volume bass yang dimainkan Dena mendapat porsi yang proposional dalam membuat ritme bersama drum yang ditabuh Wendi. Melalui demo self-titled yang dirilis tahun lalu dan EP berjudul Street Violence yang rampung digarap di awal tahun ini, Reticent boleh dikata membawa angin segar dalam belantika hardcore bersama kemunculan NWOBHC.

**

Penulis: Rokky Rivandy

Editor: Dedi Muis