Categories
Jam Istirahat

Catatan Pengamatan Lingkar Belajar Buruh Yogyakarta

Tulisan ini merupakan hasil refleksi saya beserta kawan-kawan setelah melaksanakan lingkar belajar bersama buruh pabrik di Yogyakarta. Lingkar belajar tersebut dilakukan selama tiga hari pada 20, 21, 22 Januari tahun 2024 lalu.

Kegiatan ini diperuntukkan bagi serikat buruh tingkat pabrik yang baru dibentuk di sana. Saya beserta kawan-kawan, bersama dengan pengurus tingkat daerah dari serikat tersebut merencanakan berbagai topik diskusi serta menyepakati bersama metode diskusi yang pas.

Demi menghindari kerentanan, saya menyamarkan nama serikat buruh dan pengurus yang terlibat, namun sebut saja sebagai ASBAK (Aliansi Serikat Buruh Akar Kerakyatan).

Pada 20 Januari 2024, kami mengawali pertemuan dengan Subarkah (bukan nama sebenarnya) sebagai ketua federasi dan Yuniarto sebagai pengurus tingkat pusat ASBAK. Kemudian, Subarkah mempertemukan kami dengan Budi yang merupakan ketua tingkat pabrik ASBAK di PT. BUNNIES INTERNASIONAL Sleman, Yogyakarta. Tak lama setelahnya, datang pula sejumlah orang yang merupakan anggota dari ASBAK.

Pada malam itu, tidak hanya PT BUNNIES INTERNASIONAL Sleman saja yang hadir, cabang lainnya pun datang. Khususnya wilayah Gunung Kidul, yang mana saat ini mereka sedang menghadapi kasus, namun belum terbentuk serikat di pabriknya.

Dalam pembicaraan yang santai, Budi menceritakan kondisi kerja di pabrik ketika belum membentuk serikat. Pria berusia 35 tahun tersebut mendeskripsikan bahwa pabriknya memproduksi komponen bahan tekstil untuk dipasok ke merek-merek pakaian internasional.

Pabrik tempat Budi bekerja selalu menerapkan sistem kerja kontrak per 3 bulan, 6 bulan, sampai dengan 1 tahun. Namun, terdapat pula buruh yang berstatus tetap.

Sebelum adanya serikat buruh di pabrik, Budi pernah menginisiasi protes atas ketentuan lembur tanpa upah yang diterapkan oleh perusahaan. Ia bersama kawan-kawannya mengerahkan banyak massa di bagian produksi, kemudian mendatangi manajemen dengan serempak menggunakan atribut komunitas, meminta agar upah lemburnya dibayarkan. 

Hal tersebut membuat perwakilan manajemen merasa tertekan, lalu kemudian memenuhi tuntutan Budi dan teman-teman untuk menghentikan jam lembur dan membayar upah lembur. 

Namun hal tersebut tak permanen, perusahaan kembali menerapkan jam lembur, sehingga Budi memikirkan perlunya serikat yang ada di pabrik agar suaranya didengar dan bisa memperbaiki kondisi kerja.

Selanjutnya Budi mengungkapkan bahwa setelah membentuk serikat buruh di pabrik,  mereka justru menghadapi tantangan baru, mulai dari sikap manajemen yang melunak dan kekhawatiran bahwa dirinya akan dijauhkan dari kegiatan berserikat.

Keesokan harinya pada tanggal 21 Januari 2024, saya dan kawan-kawan  menyelenggarakan kegiatan diskusi bagi anggota ASBAK di PT BUNNIES INTERNASIONAL Sleman dan Gunung Kidul.

Dalam kegiatan ini, saya dan kawan-kawan merasa terkejut sekaligus antusias karena acara diskusi yang semula direncanakan hanya untuk 20 orang pengurus dan anggota ASBAK PT. BUNNIES INTERNASIONAL, ternyata dihadiri 30 orang. Sungguh sebuah antusiasme yang luar biasa, mengingat pada pagi hari tersebut, Yogyakarta sedang diguyur hujan yang deras

Diskusi dimulai pada pukul 09.30 WIB. Acara dimulai dengan pembukaan oleh Subarkah dan Yuniarto. Intinya, Subarkah dan Yuniarto menyemangati peserta yang hadir agar mengikuti diskusi dengan sebaik-baiknya serta aktif dan belajar berbicara di dalam forum.

Sesi disambung dengan perkenalan seluruh orang yang hadir dalam pertemuan. Semua orang menyebutkan nama, cabang perusahaan, bagian kerja di pabrik/departemen, dan lamanya mereka bekerja di pabrik. Kebanyakan peserta yang hadir telah bekerja di PT BUNNIES INTERNASIONAL Sleman dan Gunung Kidul  sejak tahun 2014 sampai tahun 2020. Ada yang bekerja sejak pabrik  didirikan, dan ada juga yang baru bekerja pada masa Pandemi COVID 19.

Selanjutnya, proses diskusi dilanjutkan dengan menuliskan harapan dan kekhawatiran dari peserta dalam mengikuti rangkaian diskusi. Banyak dari peserta mengungkapkan harapannya agar dapat mengikuti pendiskusian dan memperoleh wawasan dan pengetahuan baru dalam Berserikat. 

Saya dan kawan-kawan berperan sebagai fasilitator yang memandu proses diskusi, kami mencoba merangkai harapan dan kekhawatiran peserta menjadi suatu kesepakatan bersama dalam forum belajar. 

Intinya para peserta berharap bahwa pembentukan forum belajar ini dapat menjadi wadah untuk mendorong keaktifan para peserta dan partisipatif, serta menjadikan forum sebagai ruang aman dan nyaman yang merupakan syarat mengupayakan perjuangan buruh dan serikat buruh untuk mendapatkan kesejahteraan.

Sesi diskusi diawali oleh Yuniarto yang menjelaskan tentang pandangan serikat buruh menurut ASBAK. Ia menekankan bahwa tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia adalah menjadikan buruh sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri, bukan sebagai objek, bahwa buruh adalah tulang punggung perekonomian di Indonesia.

Pada poin selanjutnya, Yuniarto menjelaskan secara normatif para pihak yang terlibat dalam urusan ketenagakerjaan, bagaimana peran perusahaan, peran negara, dan peran buruh itu sendiri dalam relasi ketenagakerjaan.

Dadang juga menjelaskan tantangan yang dihadapi serikat buruh ketika menjalankan peranannya dalam hubungan industrial. Tantangan internal di antaranya; minimnya keterlibatan anggota, rendahnya SDM antar anggota dan pemimpin serikat buruh, kurang melihat pentingnya iuran anggota, masih adanya diskriminasi gender, pemimpin Serikat Buruh berwatak Yellow Unionism yang berarti lebih sering membawa kepentingan pengusaha dibandingkan membawa kepentingan buruh.

Selain itu, ada tantangan eksternal yang dihadapi serikat buruh. Pertama, keberadaan serikat buruh dianggap sebagai pengganggu bagi perusahaan ketika melaksanakan hak prerogatifnya dalam mengatur jalannya usaha. 

Kedua, aktivitas serikat buruh dalam mengembangkan organisasi dianggap sebagai ancaman stabilitas dan keamanan nasional.

Ketiga,  tuntutan serikat buruh terhadap perbaikan kesejahteraan dianggap menciptakan inflasi di dalam negara. 

Keempat, kehadiran pekerja asing membuat pekerja lokal dianggap tidak kompeten, sehingga upahnya murah bahkan terancam tersingkir.

Yuniarto juga menyampaikan prinsip yang harus dimiliki oleh serikat buruh di antaranya; anggota yang terkonsolidasi, pemimpin yang bisa diandalkan, memiliki dana yang kuat, memiliki prinsip dan ideologi perjuangan, tata kelola administrasi yang baik, dan memiliki program yang sesuai dengan prinsip serta ideologi perjuangan.

Yuniarto juga berbicara tentang penguatan dan pembentukan kemandirian serikat buruh dari berbagai aspek. Serikat buruh harus kuat dan terpimpin, memiliki soliditas dan solidaritas, memiliki unit advokasi dan juga harus kuat secara pengelolaan iuran anggota.

Pada akhir ses,i Yuniarto menyampaikan terkait sejarah ASBAK serta visi dan misi dari organisasinya. Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta yang berasal dari PT BUNNIES INTERNASIONAL Gunung kidul menanyakan tentang kasus pemecatan sepihak yang sedang dihadapinya. Terdapat 12 orang yang mengalami pemecatan dengan dalih habis kontrak. 

Hal ini berawal saat mereka mempertanyakan upah lembur yang tidak dibayar. Nahas, mereka dipecat dalam kondisi belum berserikat.

Yuniarto menanggapi bahwa kasus tersebut dapat ditangani dengan cara memberikan kuasa kepada pengurus serikat ASBAK yang bertugas di divisi advokasi secara individu. 

Kemudian Yuniarto juga mengingatkan agar segera mendirikan serikat di tempat kerja mereka karena fungsi dari serikat salah satunya yakni memberikan pelayanan berupa pendampingan hukum kepada anggotanya yang terkena kasus/masalah di tempat kerja. 

Para fasilitator juga menambahkan bahwa pemecatan dengan dalih habis kontrak sering terjadi. Perusahaan selalu mencari-cari kesalahan agar buruh tidak lagi mempertanyakan kondisi kerja yang buruk. Fasilitator menyarankan agar 12 orang yang terdampak harus membuat surat penolakan atas tindakan PHK sepihak tersebut.

Setelah sesi istirahat, Yuniarto menyampaikan cara mengakses data kepatuhan perusahaan yang tersedia di berbagai sumber di internet. Serikat buruh dapat menggunakan data-data tersebut dalam memperkuat proses perundingan kolektif.

Yuniarto melanjutkan dengan memandu peserta dalam melakukan simulasi, sayangnya karena keterbatasan literasi digital, banyak peserta yang masih kesulitan dalam mengakses informasi. Salah satu kendala yang dialami adalah para peserta yang belum memiliki gawai yang memadai.

Sesi dilanjutkan dengan topik diskusi pendidikan hadap masalah dan cara berpikir kritis.

Sesi dimulai dengan menunjukkan 10 orang terkaya di dunia dan selanjutnya membagi 5 kelompok peserta. Para peserta ditugaskan menjawab dua pertanyaan, diantaranya: a) Mengapa rasa ingin tahu masih rendah? b) Dari mana asalnya mereka memperoleh kekayaan? 

Para peserta merespon dengan jawaban yang menarik, contohnya peserta yang menjawab “Jika kita tidak tahu, kita akan dibodoh-bodohi dan dimanfaatkan oleh orang lain”. 

Untuk pertanyaan selanjutnya ada yang menjawab bahwa “Orang-orang kaya tersebut memperoleh kekayaan dengan cara bekerja keras, relasi yang kuat, dan orang tersebut jeli dalam melihat peluang, sehingga mereka dapat memperoleh kekayaan dan status ekonomi yang tinggi”.

Dalam sesi diskusi tersebut, peserta diajak merefleksikan kembali jawaban yang diungkapkan. Benarkah ketika seorang buruh tidak mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manajemen perusahaan, maka dirinya rentan diperlakukan tidak baik oleh perusahaan? Kemudian juga benarkah jika seseorang yang cakap melihat peluang, mempunyai skill yang mumpuni dengan dibarengi kerja keras dan doa yang khusyuk kemudian akan begitu saja mendapatkan kekayaan dan posisi tinggi dalam status sosial? 

Di tengah diskusi, dihadirkan beberapa contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Contoh yang dihadirkan adalah seorang buruh gendong di pasar Beringharjo yang memulai pekerjaannya dari pagi buta hingga sore hari, di setiap hari. Bukankah para buruh gendong itu sudah bekerja sangat keras? 

Jika mengikuti logika “kerja keras sama dengan kaya raya”, seharusnya buruh gendong tersebut sudah kaya raya dan tidak perlu menjadi buruh gendong sampai tua.

Contoh kedua yaitu keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono yang tidak perlu susah-susah mencari tanah, sebab ia keluarga sultan yang sewaktu-waktu bisa mengambil tanah-tanah warga bila diperlukan.

Putaran diskusi selanjutnya peserta diajak untuk melihat data tabel kenaikan upah di DKI Jakarta dari kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2021. Dalam jangka waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2016, upah minimum buruh dapat naik sangat signifikan sampai dengan 14% dengan inflasi 2% pada saat itu. Kenaikan upah minimum tersebut bukan semata-mata faktor kebaikan pemerintah saja sebagai pembuat aturan ketenagakerjaan, melainkan ada dorongan yang kuat dari gerakan buruh yang menuntut hak dasar sebagai warga negara sehingga mempengaruhi perubahan kebijakan pengupahan pada saat itu.

Sebelum diskusi ditutup,  ada penjelasan tambahan bahwa para pengusaha yang memiliki modal besar tidak dapat menggandakan keuntungannya tanpa ada curahan waktu dan tenaga buruh dalam bentuk kerja. Kerja yang dilakukan oleh buruh harus dipandang sebagai proses penting karena kerja menciptakan nilai dalam kebuah komoditi, sehingga para pengusaha dapat menggandakan keuntungan sebesar-besarnya.

Dalam sebuah siklus kerja juga perlu diperhatikan, ada kondisi ketika buruh dijauhkan dari hasil produksinya, sehingga seringkali tidak menyadari bahwa haknya telah dirampas. Maka dari itu, penting bagi buruh untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dalam siklus produksi agar bisa saling menguatkan ketika haknya dirampas.

Sesi diskusi tentang pendidikan hadap masalah ditutup, kemudian peserta diistirahatkan selama 15 menit.

Sesi selanjutnya disambung dengan diskusi pengantar hak perburuhan dan berserikat. Sesi ini dimulai dengan melakukan mini game “siapa yang diuntungkan?” Permainan ini bertujuan agar peserta mengetahui posisi/status sosial dan ekonomi seseorang sangat berpengaruh terhadap keistimewaan yang dinikmati.

Fasilitator membagikan 21 kertas yang sudah dituliskan masing-masing jenis dan peran status sosial tertentu untuk para peserta. Peserta diminta membuat lingkaran besar dengan titik berangkat yang sama dan diwajibkan mendengarkan instruksi dari fasilitator. Jika peserta merasa bisa melakukan hal yang diminta fasilitator, peserta harus maju satu langkah mendekati titik tengah lingkaran.

Fasilitator memulai dengan pernyataan yang pertama “Siapakah yang bisa mendapatkan hak atas kesehatan?” Lalu semua peserta maju satu langkah. Disambung dengan pertanyaan kedua yaitu “Siapakah yang dapat menempuh pendidikan sampai kuliah?”. Beberapa orang maju 1 langkah dan lainnya tidak maju kedepan. Pertanyaan ketiga “Siapakah yang bisa membeli mobil mewah dan berlibur ke luar negeri?”. Di sini hanya beberapa peserta saja yang maju ke depan. Terakhir, pertanyaan keempat yakni “Siapakah yang bisa maju mencalonkan diri jadi presiden?”. Di sini sangat sedikit sekali yang maju satu langkah.

Permainan ini ditutup dengan melihat posisi peserta yg berada di belakang dan ada yg berhenti di posisi depan. Fasilitator mengajak peserta untuk merefleksikan hasil dari permainan tersebut dengan menanyakan kepada peserta mengapa ada peserta yang sulit maju kedepan, ada peserta yang hanya maju setengah jalan, dan ada juga peserta yang bisa maju sampai ke titik akhir?

Peserta merespons bahwa peserta yang di belakang diberikan peran buruh gendong, orang disabilitas, pekerja seks, driver ojol yang kesulitan maju karena miskin. 

Sementara yang ada di garis depan seperti peran pengusaha tambang, pemilik pabrik dan anak presiden bisa lancar maju kedepan karena mereka punya uang dan kekuasaan. Jawaban tersebut benar. 

Kemudian Rifzul sebagai fasilitator menanyakan lagi kepada peserta, lebih banyak mana jumlah orang yang tidak bisa maju dengan lancar dan yang hanya bisa maju beberapa langkah saja atau bahkan tidak dapat maju sama sekali. Sayangnya, pertanyaan tersebut belum bisa dijawab para peserta. 

Sebelum sesi dilanjutkan, fasilitator mengajak peserta untuk melanjutkan pendiskusian. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa setiap orang seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil dan hidup sejahtera untuk menikmati kehidupan yang bermakna. Hal tersebut merupakan hak dasar dari setiap manusia. 

Namun, ketika kondisinya menunjukkan hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati kesejahteraan, artinya dalam hidup ini terjadi masalah ketidakadilan. Konsep keadilan substantif seharusnya adil secara prosedural dan adil secara hasil. Jika orang yang diperlakukan sama secara proses namun berbeda secara hasil artinya diskriminatif, namun ketika orang diperlakukan adil secara proses dan sama atau lebih baik secara hasil maka keadilan tersebut telah substansial. 

Selanjutnya, fasilitator bertanya kepada peserta “Jika Kondisi di tempat kerja menunjukkan ketidakadilan, apakah kita dapat mengubah situasinya? bagaimanakah caranya?”. Para peserta masih mencerna pertanyaan yang diajukan. Kemudian fasilitator menambahkan pertanyaan lanjutan “Apakah kawan-kawan percaya bahwa serikat buruh bisa membawa perubahan yang baik terhadap kondisi kerja kawan-kawan sekalian?”. Barulah semua menjawab “Bisa!”.

Fasilitator kemudian memberikan penjelasan kepada para peserta bahwa serikat buruh yang dapat mengubah kondisi kerja yang lebih baik haruslah menempuh berbagai hal sebagai syarat untuk menjadi alat perjuangan dan memberikan kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya.

Serikat buruh adalah sekumpulan buruh yang menyatukan dirinya dalam sebuah organisasi. Maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perjuangan buruh seharusnya dilakukan secara bersama-sama, bukan orang per-orang. Karena kekuatan buruh terletak dalam jumlah, bukan hanya lihai dalam berdebat dan menguasai peraturan perundangan. 

Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk oleh buruh untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya secara kolektif di hadapan pengusaha. Kolektif berarti merencanakan dan menjalankan secara bersama-sama, tindakan-tindakan untuk memperjuangkan kepentingan serikat harus dilakukan dengan pembagian tugas yang jelas.

Fasilitator melanjutkan penjelasan mengenai adanya serikat buruh asli dan serikat buruh palsu. Menurutnya, serikat buruh yang asli merupakan serikat yang muncul dari keinginan buruh, dijalankan oleh buruh (bersama beberapa orang yang dibiayai untuk menangani beberapa kegiatan), dan berjuang untuk kepentingan buruh.

Sedangkan serikat buruh palsu adalah serikat buruh yang muncul dari keinginan pengusaha atau pemerintah, dijalankan oleh buruh (bersama beberapa orang yang dibayar untuk menangani beberapa kegiatan), dan berjuang untuk kepentingan pengusaha atau pemerintah.

Di tengah pendiskusian, Budi mengajukan pertanyaan, “Dalam praktiknya, seperti apa serikat palsu tersebut? Apakah memang ada serikat buruh yang palsu?”. Fasilitator menjawab, serikat yang palsu tersebut memang ada dan nyata. Keberadaannya tentu sangat merugikan posisi buruh yang ingin benar-benar berjuang untuk kesejahteraannya. Kita bisa lihat ciri-ciri serikat palsu dari banyak hal, salah satunya adalah cara mereka menjalankan prinsip kemandiriannya, yang artinya bahwa serikat buruh “asli” harus digerakan oleh anggota secara mandiri, bukan orang lain. 

Serikat buruh tidak boleh bergantung pada pihak di luar serikat, baik itu pengusaha, pemerintah, maupun lembaga-lembaga masyarakat (lembaga swadaya masyarakat). Serikat juga harus mandiri dalam hal dana. Iuran anggota harus menjadi sumber dana yang utama. Jika sumber dana yang utama adalah sumbangan dari pengusaha, pemerintah, atau lembaga lainnya, serikat yang bersangkutan tidak bisa disebut mandiri. 

Serikat juga harus mandiri dalam mengambil keputusan. Rapat pengurus dan rapat umum harus menjadi tempat dibuatnya keputusan-keputusan serikat. Jika keputusan serikat dibuat dalam rapat antara pengurus dengan pengusaha, pengurus dengan pemerintah, atau pengurus dengan lembaga swasta, serikat itu juga tidak bisa disebut mandiri.

Serikat buruh palsu juga tidak mengedepankan prinsip demokrasi dalam menjalankan serikatnya. Serikat buruh yang tidak demokratis selalu menjaga jarak dari anggotanya, setiap keputusan penting yang menyangkut keorganisasian tidak melibatkan anggota. Serikat buruh yang tidak demokratis jelas hanya mewakili kepentingan seseorang atau segelintir orang saja dalam organisasi. 

Ciri-ciri serikat buruh yang demokratis di antaranya membuat keputusan berdasarkan suara mayoritas anggota, baik melalui pemungutan suara langsung maupun melalui perwakilan. Untuk mewujudkan prinsip demokrasi dalam serikat buruh, hal-hal berikut ini perlu diperhatikan;

  1. Semua anggota mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Semua anggota harus terwakili dalam proses pembuatan keputusan. Keputusan itu pada akhirnya harus mencerminkan kepentingan mayoritas anggota serikat buruh,
  2. para anggota harus mendapat prioritas untuk memahami peraturan serikat, sehingga mereka tidak ragu untuk berperan aktif,
  3. pengurus harus dipilih secara berkala melalui pemungutan suara langsung, secara tertulis dan tertutup. Di samping itu, pengurus bisa dihentikan (dicopot dari posisinya), jika kinerjanya tidak memuaskan mayoritas anggota,
  4. tiap kegiatan dan kebijakan boleh diketahui oleh anggota. Selain itu, setiap kegiatan dan kebijakan boleh ada usulan oleh anggota.

Serikat buruh yang palsu tidak akan memiliki kemandirian. Anggota tidak dilibatkan dalam kerja berserikat, serikat buruh tidak membela anggotanya dan keluarganya.

Seringkali pengurus serikat buruh mengambil keuntungan secara sepihak dari perusahaan maupun dari anggotanya sendiri. Banyak dari serikat buruh palsu melakukan pemisahan dari anggota. 

Dalam beberapa kasus banyak pengurus serikat buruh palsu seolah mewakili anggota serikat dalam hal advokasi, namun proses penanganannya tidak pernah transparan, yakni menutup keterlibatan anggota, menempatkan anggota hanya sebagai klien yang menerima hasil dan kadang meminta imbalan yang seharusnya tidak dibebankan kepada anggota. Padahal, anggota sudah memberikan dukungan bagi pengurus melalui iuran rutin, sehingga penanganan kasus merupakan bentuk kerja-kerja serikat yang sudah melekat dalam tugas dan fungsi serikat buruh.

Berbeda dari serikat buruh palsu, serikat buruh asli yang demokratis menempatkan pengurus dan anggota sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan. Para pengurus membuka diri terhadap keterlibatan anggota, melibatkan anggota dalam pengambilan keputusan, pengurus juga mempersiapkan sebuah media yang dapat mendekatkannya dengan anggota seperti agenda pendidikan dan konsolidasi yang rutin, sehingga meningkatkan keinginan anggota untuk terlibat aktif dalam kegiatan organisasi.

Serikat Buruh asli juga memberikan pelajaran penting bahwa hasil akhir tidak menjadi hal yang utama sebagai capaian, namun upaya bersama sebagai proses utamalah yang menjadi tonggak perjuangan. Contohnya dalam melakukan perundingan kolektif di pabrik-pabrik maupun dalam upaya penguatan serikat buruh itu sendiri.

Serikat buruh asli juga selalu menciptakan organiser-organiser handal dalam memimpin dan mengembangkan strategi agar terbentuknya serikat yang kuat dan terdidik.

 

Penulis: Riefqi Zulfikar

Editor: Nana Miranda