Categories
Editorial

Tahun Politik Tidak Lima Tahun Sekali

Ada satu dari sedikit hak warga negara yang saban waktu digembar-gembor agar digunakan. Di spanduk-spanduk perempatan jalan dan sekitar pabrik, media massa, media sosial, videotron, televisi, di mana-mana. Bahkan sejumlah pengusaha makanan dan minuman menawarkan diskon bagi yang menggunakan hak ini. Ya, benar, hak tersebut adalah hak pilih.

Hak yang satu ini nasibnya bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan hak-hak lain. Sebut saja hak untuk berserikat, hak untuk berpendapat, hak atas upah layak, hak untuk terbebas dari diskriminasi, hak atas keamanan dan keselamatan kerja, hak cuti haid dan melahirkan, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan, dan masih banyak lainnya. Para penggede bilang, tidak perlu buruh-buruh itu tahu hak-haknya. Sekalipun harus disebut di forum-forum resmi, sebutlah tipis-tipis. 

Saking intens dan masif, otak kita mencerna promosi hak yang disebut di muka sebagai kewajiban. Wajar saja, ini “tahun politik”, kata para penguasa dan outlet-outlet media yang mereka kuasai. Lalu kita terima begitu saja. Tak ada pertanyaan kenapa tak ada tahun ekonomi, tahun hukum, tahun budaya, tahun kedokteran, tahun tata boga, tahun geodesi, apalagi tahun psikologi. Mahasiswa di luar jurusan ilmu politik sudah sepantasnya cemburu.

Pertanyaan lain yang bisa saja muncul (tapi bisa juga tidak) adalah: Kenapa “tahun politik” hanya ada pada tahun-tahun tertentu? Bukankah kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari politik? Bukankah harga dan persediaan beras adalah masalah politik? Bukankah jalanan yang macet, polusi udara, air yang kotor, biaya sekolah, tagihan listrik yang naik, mahalnya harga rumah, hingga pelarangan berserikat di pabrik juga adalah perkara politik? Bukankah itu semua tidak terjadi setiap lima tahun sekali melainkan setiap hari?

Karena itu Trimurti.id tidak ingin terjebak oleh istilah “tahun politik” yang terus menciptakan ilusi bagi rakyat dan kelas buruh. Seakan politik dan perubahan sosial adalah acara lima tahunan yang ditentukan oleh tindakan kita selama lima menit di balik bilik suara. Tapi akhirnya kami harus menyatakan sesuatu juga.

Bagi kami politik terjadi setiap tahun, setiap bulan, setiap hari. Demikian juga dengan perubahan sosial, bisa berlangsung kapan saja. Semua tergantung pada struktur politik yang ada dan kondisi subjektif gerakan sosial. Masa depan perubahan sosial yang mengakar ada pada gerakan sosial: gerakan buruh, mahasiswa, tani, perempuan, juga rakyat miskin lainnya. Bukan di segelintir elit pejabat yang merangkap dan berkongsi dengan konglomerat.

Dalam pemilihan umum tahun ini, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden, tidak ada satu pun pasangan calon yang mengusung politik kelas buruh. Para calon dikelilingi oleh para bohir yang kepentingannya bertolak belakang dengan kelas buruh. Kepentingan mereka versus kepentingan buruh tak kan pernah bisa terdamaikan. Karenanya, jargon yang penguasa pakai untuk menutupi pertentangan itu adalah “kepentingan bangsa dan negara”, dan kita yang tidak sadar kelas sering terkelabui olehnya.

Ada satu dari tiga pasangan calon yang paling mengancam demokrasi. Rekam jejak dan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan demokrasi lebih rendah dari paslon lain. Sekali waktu, sang capres pernah bilang supaya buruh jangan kebanyakan nuntut kenaikan upah kepada pengusaha. Cara pasangan tersebut bertarung dan memenangkan pemilihan putaran pertama, setidaknya menurut versi hitung cepat, diduga kuat sarat dengan kecurangan dan campur tangan aparat.

Walau demikian, dua paslon lainnya pun segendang sepenarian. Di hadapan para pengusaha di Kamar Dagang Indonesia (Kadin), mereka menjanjikan segala kemudahan berinvestasi jika menang jadi presiden. Belum lagi jika melihat orang-orang penyokong dan pembisik mereka. Konglomerat mereka jabat erat, sisa Orde Baru mereka rangkul. Suram.

Namun begitulah demokrasi parlementer. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri-negeri lain. Baik demokrasi parlementer liberal, setengah liberal, tidak liberal apalagi, berisi segudang aturan main yang memungkinan kelas berpunya mengendalikan dan mendominasi permainan. Batasan elektoral, batasan presidensial, syarat ini, syarat itu, bikin kelas buruh dan gerakan alternatif setengah mati jika ingin ikut bertarung.

Demokrasi parlementer, yang lahir dari dan dinikmati oleh kelas borjuis, pun memang sengaja dibuat berkala dan tidak terlalu sering. Bisa tiga, empat, atau lima tahun sekali digelar, yang penting ada kepastian dan stabilitas supaya investasi lancar serta akumulasi surplus berlangsung mulus. 

Agaknya kemiskinan imajinasi politik turut berkontribusi pada anggapan umum bahwa pemilu adalah satu-satunya jalan menuju perubahan. Demokrasi parlementer memang bisa menjadi sarana penting bagi perjuangan buruh membebaskan diri dari kapitalisme, tapi ia bukan satu-satunya sarana. Ada cara-cara lain yang telah ditunjukkan oleh buruh-buruh di Paris tahun 1871, di Moskow tahun 1917, di Spanyol tahun 1930-an, bahkan di Jawa pada masa awal kemerdekaan.

Semoga kita sadar, usai para bohir melakukan penyesuaian struktur penguasa lewat pemilu, kita masih akan berhadapan dengan ancaman pemecatan, upah murah, larangan berserikat, kekerasan seksual di tempat kerja, kecelakaan kerja, dan banyak lagi. Perlawanan masih masih harus terus dilakukan, di ruang sidang hubungan industrial, di jalan-jalan, juga di kampung-kampung kota, sambil terus memperbesar kekuatan politik kelas buruh tentunya.

Pemilu 2024 masih berlangsung. Segala keculasan dan upaya membenamkan demokrasi harus terus dilawan. Seburuk-buruknya demokrasi parlementer liberal, masih lebih baik ketimbang otoritarianisme, politik dinasti, apalagi monarki. Tapi parlementarisme liberal bukan satu-satunya demokrasi, seperti halnya hak pilih bukan satu-satunya hak warga negara.

Imajinasi kita terhadap demokrasi langsung yang lebih partisipatif harus terus diperkaya. Supaya demokrasi bukan cuma ada di ranah politik formal tapi juga di ranah sosial dan ekonomi, mencakup demokratisasi terhadap alat produksi, tempat kerja, dan sumber daya alam, serta agar demokrasi tidak sekadar gelaran “tahun politik” memilih penguasa, tapi setiap saat ketika pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak.