Categories
Kabar Perlawanan

Kampung Yang Hilang: Kronik Buku An Ode Of The Los Kampong Tamansari

Trimurti.id, Kampung kota Tamansari Bandung, terletak di belakang Mall Balubur Town Square (Baltos), di samping Flyover Pasupati yang ikonik akan sangat mudah ditemukan. Tepatnya, lokasi di mana warga RW 11 tinggal sejak tahun 60-an. Kehidupan warga layaknya di sebuah kampung kota dengan ciri khasnya. Namun, tiba-tiba 197 Keluarga mendapatkan intervensi pemerintah kota Bandung berupa penggusuran rumah dan perampasan lahan atas nama pembangunan Rumah Deret. Bagaimana ini terjadi? 

Bermula tahun 2017, ketika warga Tamansari diundang buka puasa bersama di rumah dinas Walikota Bandung Ridwan Kamil dan dengan sukacita warga menyambutnya, karena warga kampung seperti mereka seperti mimpi diundang oleh pemimpin kota. Warga dimintai tanda tangan basah sebagai tanda kehadiran yang dikemudian hari ditengarai sebagai persetujuan untuk pelaksanaan proyek rumah deret, kasarnya sebagai persetujuan penggusuran. 

Dan benar saja, buka puasa itu tidak ubahnya sebagai sosialisasi yang diklaim sebagai bagian dari perencanaan pembangunan partisipatif. 

Sejak itu, kehidupan warga berubah. Kecemasan dan ketakutan mengiringi setiap aktivitas keseharian warga. Pelbagai upaya litigasi dan nonlitigasi dilakukan secara masif, terorganisir, dan progresif untuk mendapatkan keadilan ruang hidup yang terancam. 

Warga mendatangi-menggeruduk banyak stakeholder, mulai kantor Pemkot Bandung yang ditandai dengan menempelnya stiker “setan tanah” di wajah lukisan Walikota Bandung Ridwan Kamil yang berada di kantor Balaikota. 

Selain itu warga mendatangi kantor BPN kota dan provinsi, Ombudsman Kota dan Provinsi, Dinas Tata Ruang kota dan provinsi, DPRD Kota Bandung, Komnas HAM dan Komnas Perempuan di Jakarta hingga kantor Bappenas dan BPN Nasional, termasuk berkirim surat kepada Presiden. 

Usaha-upaya luar biasa yang menguras emosi, tenaga dan ekonomi, namun semua seakan tidak digubris oleh pemkot Bandung untuk terus menjalankan proyek rumah deret ini. Termasuk mendapatkan stigma bahkan olok-olok dari publik kreatif kota ini termasuk fans Ridwan Kamil yang banyak dihuni kaum cerdik pandai. 

Upaya penggusuran terus dilakukan beberapa kali dan masih bisa ditahan warga dan pelbagai solidaritas termasuk lembaga-lembaga yang terkait dengan isu ini.  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung memberikan bantuan hukum selaku pengacara warga di persidangan, belakangan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pun hadir sebagai pengacara warga. 

Lalu, terdapat Agrarian Resource Center (ARC) yang memberikan bantuan pengetahuan dan Pendidikan agraria serta tata kelola kebijakan perkotaan termasuk sebagai saksi ahli membela warga di persidangan.  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jabar memberikan bantuan terkait permasalahan lingkungan dari pembangunan rumah deret ini, termasuk amdal serta berkolaborasi dengan LBH dalam gugatan lingkungan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan bantuan jurnalisme untuk menyebarkan berita yang faktual dan berintegritas yang tentu saja berkolaborasi bersama warga Tamansari dalam jurnalisme warga. 

Bandung Supporter Alliance (BSA) sebagai solidaritas penggemar sepakbola khususnya Klub Persib yang rutin melakukan aktivasi ruang melalui perspektif sepak bola, salah satunya dengan nobar Persib di Tamansari. Sebagai supporter, rata-rata, mereka bertempat tinggal di kampung-kampung kota lainnya yang rentan dan mungkin akan mengalami nasib serupa dengan Tamansari. 

Jadi, mereka bersolidaritas untuk itu. Selain itu, terdapat kolektif Rumah Bintang (Rubin) yang melakukan pendampingan trauma healing terhadap anak-anak kampung Tamansari sebagai korban penggusuran termasuk mitigasi dan resiliensi terhadap bencana, karena penggusuran itu adalah bencana. 

Ada juga kolektif Perpustakaan Jalanan yang dengan kontribusinya menyediakan zines, buku-buku, dan pelbagai hal yang berkaitan dengan literasi untuk-dengan warga serta pelbagai elemen solidaritas lainnya. Selain itu terdapat, media independen seperti Trimurti.ID dan Bandung Bergerak juga menempatkan jurnalisnya secara intensif untuk terus mewartakan apa yang terjadi di Tamansari secara in-depth reportase tekstual maupun visual fotografi jurnalistik termasuk dalam bentuk cuitan media sosial. 

Masih banyak pelbagai kolektif lain yang turun bersama di Tamansari dan itu bukan hanya sekedar advokasi apalagi representasi tapi menjadi bagian langsung dari Kampung Tamansari itu sendiri – ethnography direct action dan mutual aid. Belum lagi yang bekerja secara individual dengan beragam hal baik lainnya, seperti memasak di pengungsian, mencari bahan pangan, dan kebutuhan sandang serta obat-obatan dan ini semua dilakukan dalam situasi Covid. Karena pelbagai solidaritas ini, warga Tamansari dengan hati besar memberikan penghargaan dengan pemberian nama untuk setiap gang atau koridor jalan yang berada di RW 11 ini dengan nama, Gang LBH, Gang AJI, Gang WALHI hingga Gang BSA. 

Namun puncaknya di pagi hari 12 Desember 2019, ketika warga bersiap beraktivitas, tiba-tiba beberapa eskavator dan ratusan aparat gabungan menyerbu rumah warga untuk dihancurkan disertai tembakan gas air mata ke dalam rumah termasuk pembakaran rumah agar warga yang bertahan di dalam rumah dipaksa keluar. 

Penggusuran paling kejam yang pernah penulis lihat. Warga bertahan, kocar kacir, menyelamatkan barang, ditangkap dan mengalami kekerasan aparat hingga pingsan. Kejadian ini mendorong warga untuk mengungsi di lantai dua Masjid Al Islam yang berada di sebelah area tergusur, bahkan ada yang sampai meninggal. Sejak itu pelbagai solidaritas berdatangan silih berganti. Saking dahsyatnya isu Tamansari, salah satu media internasional seperti The Guardian pun meliputnya. 

Selain solidaritas, pelbagai aksi seni juga muncul pasca penggusuran mulai dari pertunjukan musik hingga pameran, salah satunya pameran fotografi pada 19 Agustus 2019 yang dilakukan oleh 12 orang fotografer yang tergabung dalam sub-unit photospeak menyoroti isu kesetaraan. Sebelumnya di 16 Juli 2018, terdapat pameran fotografi tunggal dari salah satu seniman yang tergabung dalam Seni Bandung, sebuah proyek seni yang dicanangkan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil menjelang kampanye sebagai calon Gubernur Jabar dan menjadi kontroversial sekaligus kontradiksi, karena berpameran di area yang digusur oleh kebijakan Ridwan Kamil. Selain itu,masih banyak lagi pameran fotografi lainnya yang menempel pada acara-acara lainnya, seperti dalam Harlah Tamansari 2018, dll.

Dari pameran fotografi ke buku fotografi

Berdasarkan hal tersebut, meminjam cerita, situasi dan kondisi diatas terdapat inisiatif pameran fotografi yang bertajuk “Tamansari Melawan” yang dilaksanakan pada Desember 2020 lalu yang menjadi latar belakang terbitnya buku ini di tahun 2023. Pameran yang diinisiasi oleh tiga orang perempuan, yaitu Deti sebagai pengacara warga dari PBHI, lalu ada Eva sebagai warga Tamansari yang rumah dan usaha konveksi rumahannya hancur akibat pengusuran ini, terakhir Lita, bagian dari solidaritas publik yang berprofesi sebagai dokter hewan. Mereka menghubungi penulis secara daring karena sedang berada di luar Indonesia untuk meminta penulis melakukan proses kuratorial, dan langsung menyanggupinya. Sebelumnya, mereka bertiga telah melakukan proses open calling untuk siapa saja yang pernah beririsan solidaritas dengan Tamansari secara intensif untuk mengirimkan karya fotografinya. 

Akhirnya terkumpul 47 fotografer dengan sekitar 230 foto dengan jumlah karya beragam dari masing-masing fotografer termasuk dimensi dan kualitas visualnya. Ke-47 fotografer ini sangat beragam, mulai dari petani, PKL, mahasiswa, aktivis, pengacara, dokter, dosen, seniman, musisi, dan lain-lain. Mereka mayoritas berasal dari Bandung, namun ada yang dari Jepang, Brazil, dan Jerman yang pernah live in di Tamansari. 

Semua foto dari semua fotografer akhirnya dipamerkan selama dua minggu di antara puing-puing reruntuhan rumah warga RW 11, tentu dengan pembabakan kuratorial untuk sekedar publik nyaman melihat, menikmati dan membaca karya-karya tersebut. Pameran ini hanya berisi foto-foto Tamansari sejak penggusuran 2019 hingga 2020 dimana pameran ini terselenggara. 

Pameran berlalu dalam kenangan, hingga terdapat kejadian pada 18 Desember 2023 dimana Eva Eryani (53) warga terakhir dari 197 KK yang menghuni Kampung Kota Tamansari, membakar sendiri rumah yang dibangun ulang pasca penggusuran 12 Desember 2019 lalu, setelah hampir 4 tahun mempertahankannya. 

Ini kedua kalinya terjadi pembakaran rumah di Tamansari, pertama dilakukan oleh aparat ketika penggusuran 2019. Pembakaran rumah yang dilakukan oleh Eva sebagai penanda akhir peristiwa dari 7 tahun kisah warga Tamansari dalam mempertahankan rumah dan tanahnya. Ini mengingatkan pada peristiwa Bandung Lautan Api 1946, ketika warga kota Bandung membakar rumahnya daripada dirampas kolonial, serupa Eva memilih membakar rumahnya daripada dihancurkan dan jatuh ke tangan Pemerintah Kota yang menampilkan watak kolonial. 

Peristiwa ini melecutkan ide dari Golosor Club yang orang-orang didalamnya juga secara intens berada di Tamansari bersama warga dalam pelbagai aksi demonstrasi, solidaritas hingga aktivasi ruang melalui diskusi publik, pertunjukan musik, nonton film pameran dll. Pameran fotografi tersebut diinisiasi sebagai upaya kultural politik dalam menyuarakan pandangan, argumentasi, serta pengalaman visual kepada publik, dan melalui buku foto ini merupakan upaya lanjutannya.

Akhirnya, berdasarkan konsensus untuk menghasilkan buku fotografi yang layak, buku ini dicetak di akhir tahun 2023 dengan menggunakan dana patungan dari teman-teman di Golosor Club sebagai penerbit, tidak menggunakan dana kebudayaan, dana ekonomi kreatif atau dana NGO atau dana funding. Ini hanya satu dari sekian banyak upaya antar sesama warga kota untuk mengingatkan untuk waspada dan mempelajari bahwa situasi seperti Tamansari dapat juga menimpa mereka dan siapapun di kota ini, termasuk para skaters. Buku ini mewakili dalam menyajikan persepsi tersebut. Buku ini dijual serendah mungkin mengganti ongkos produksi, beberapa dibagikan gratis. Buku seharga Rp120 ribu ini merupakan cetak kombinasi fotografi full color dan hitam-putih yang hanya dicetak 100 pcs, berukuran 13 x 17 cm, 132 halaman dengan menggunakan kertas import dari Italia, Fedrigoni Arena Rough Extra White 120 gsm dan Alpha Linen Light Blue 125 gsm, sedangkan untuk cover-nya menggunakan Eska Board Brown 1,5 mm dengan metode silk screen print. 

Dengan pelbagai upaya yang telah dilakukan baik litigasi maupun non-litigasi, beragam respon publik muncul terhadap proyek rumah deret ini, mulai dianggap warga tidak tahu diri mau dibangunkan rumah bagus hingga dicap sebagai warga ilegal yang menggunakan lahan secara ilegal dan dianggap sebagai warga kumuh tanpa mengetahui fakta sebenarnya. Tapi itu dimaklumi sebagai kebebasan berpendapat seperti hal-nya rasisme dan fasisme, namun itu tidak bisa ditolerir bagi kemanusiaan dan kewargaan. 

Hal ini pun terjadi terhadap kemunculan buku fotografi Tamansari ini, yang sayangnya itu keluar dari seseorang akademisi dengan bidang keahlian jurnalistik-fotografi dan film disalah satu universitas negeri terkenal di Jatinangor dengan argumentasi prematur bolong-bolong bahwa buku ini hanya menyajikan foto sebagai medium representasi, dalam konteks ini sebagai medium advokasi semata termasuk “tuduhan” terhadap hiruk pikuk menara gading fotografi termasuk yang mendapatkan “panggung” dari kemunculan buku ini, tanpa menyebutkan dengan clear and clean sebagai sebuah argumentasi faktual berintegritas dari seorang akademika. Tidak perlu disebutkan namanya, apalagi NIP dan NIDN/NIDK-nya, publik khususnya warga Tamansari tahu siapa itu. 

Fotografi menara gading itu mitos, yang ada ekosistem dan laku lampah fotografernya yang membuatnya demikian. Fotografi seperti banyak pekerjaan lainnya yang dilakukan banyak orang, namun fotografi memang segmentif dalam formasi kelas tapi ada upaya tanpa henti untuk membuatnya menjadi egaliter dan itu signifikan. Fotografi telah menyebar ke pelbagai lini setidaknya melalui produksi perangkat foto di telepon seluler dan distribusi media sosial. 

Beberapa fotografer profesional kelas dunia yang bertahun-tahun memotret tiba-tiba bisa hancur lebur oleh situasi ini. Hasil fotografi sudah tidak menjadi penting lagi, tapi bagaimana fotografi diproduksi dengan proses dan latar belakang dibaliknya itu menjadi hal utama. Dari sini, mulai anak SD hingga driver ojol pun dapat memotret bahkan bisa lebih baik dari pelbagai hal tertentu dari fotografer profesional dan itu tidak ada range angka diferensial kalkulus yang pasti, ini seperti limit dari 0 sampai tak terhingga. Jika ada hiruk pikuk menara gading dalam fotografi, masa iya ada hiruk pikuk menara gading dalam ngaduk semen. Jadi, jangan-jangan menara gading itu dirinya sendiri atau merasa ingin jadi menara gading. 

Mempertanyakan atau melakukan tuduhan terhadap Tamansari ini panggung (siapa)? itu hal yang keji yang muncul dari seorang cerdik pandai, seolah-olah apa yang dilakukan warga Tamansari atau banyak orang lainya dalam pelbagai solidaritas diatas selama 7 tahun itu hanya untuk sebuah panggung. Ini mengkerdilkan perjuangan, melucuti perjuangan semua orang untuk mendapatkan hak dan bentuk keadilan. 

Seyogyanya, publik apalagi akademisi sadar dan mahfum bahwa kemunculan buku ini sebagai niat kolektif kolegial sebagai upaya komunal untuk mengarsipkan sebuah pameran fotografi yang telah berlangsung tahun 2020 lalu daripada menguap begitu saja dan yang paling utama menyediakan ruang memori kolektif warga kota Bandung khususnya bagi warga Tamansari akan ruang hidupnya, kampungnya, tanah kelahirannya yang telah hilang digusur Pemkot.

Buku ini kemudian mendapatkan atensi publik yang beragam, mulai dari masyarakat umum, fotografer dan tentu saja akademika. Salah satu respon terbaik dari sebuah buku ketika buku tersebut di-review oleh orang yang berkapasitas dan mengerti secara keilmuan praktis maupun teoritis, tentu dengan sudut pandang tertentu yang disertai dengan kritik tajam membangun. Salah satu review-nya dilakukan oleh Tata Karta Sudjana, seorang akademisi bidang komunikasi visual dalam artikelnya yang bertajuk Syair Lirih Dari Kampung Yang Hilang. Begitulah seharusnya akademisi bertindak dengan penuh hormat dan tanggung jawab.  Respon tajam dalam review tersebut dikaitkan dengan novel Animal Farm karya George Orwell, di mana terdapat ambisi dan janji yang mempersuasi dan mempropaganda untuk menggulingkan kekuasaan pemilik peternakan dan berhasil mengusirnya, lalu menjadi diktator baru. 

Merespon review tersebut, bagi penulis peternakan ini seperti wajah Tamansari yang dihuni warganya yang terusir oleh ambisi dan janji Ridwan Kamil dengan mempersuasi dan mempropaganda warga lainnya untuk menerima proyek rumah deret dan yang menolaknya terusir dan digusur. Pembangunan rumah deret memperlihatkan wajah asli kediktatoran atas nama creative city dan smart city. Namun, sayangnya hal tersebut tidak muncul dalam tangkapan visual fotografi dalam buku ini yang terbatas timelinenya secara intinya yang hanya dalam rentang 2019-2020, termasuk kendala lain terkait terbatasnya karya, fotografer hingga halaman. 

Selama 7 tahun, wajah visual termasuk fotografi yang tersedia di Tamansari bukan hanya sekedar representasi dan advokasi belaka, banyak hal yang tersaji secara etnografis dalam keseharian warga, dinamika politik akar rumput, serangan dan intimidasi dari polisi, militer dan ormas termasuk bentrok sesama warga yang dulunya bertetangga tapi kini berseberangan hingga kombinasi akut dari beban emosional, sosial dan ekonomi yang berkelindan diujung sekarat, terlebih dalam situasi covid-19 di pengungsian lantai dua masjid Al Islam. Membayangkannya pun tidak ingin apalagi menjalaninya. Namun warga Tamansari menjalaninya dengan kepantasan dan kehormatan sebagai manusia, dan buku ini salah satu upaya dari 47 fotografer ini untuk menyajikan dan menceritakan itu walau tidak lengkap tentang bagaimana warga bertahan mempertahankan rumah, lahan dan tanah kelahirannya. Tabik!

 

**

 

Penulis: Frans Ari Prasetyo

Editor: Engkos Kosasih