Categories
Tips Murti

Lima Jurus Menghadapi Pertanyaan Ajaib Keluarga di Hari Raya

Trimurti.id – Sebagai kelas pekerja yang nyaris tidak memiliki waktu. Tradisi berkumpul dengan sanak keluarga dan saudara kala hari Idul Fitri tiba sangat mustahil untuk kita lewatkan.

Lazimnya, setiap pekerja muslim akan melakukan serangkaian kegiatan pada hari lebaran. Dimulai dengan ibadah salat ied berjamaah, bermaaf-maafan dengan keluarga inti, dan menyantap sedikit hidangan ketupat opor (Ingat! Secukupnya saja agar perut tidak begah karena ronde-ronde pertemuan berikutnya suguhan hidangan kuah santan yang sama menanti kita. Kita tak merasa malu karena dapat  menawarkan hidangan ketupat opor ayam kepada tetangga atau saudara yang berkunjung ke rumah kita).

Setelah itu, kegiatan silaturahmi baru akan dimulai. Bisa jadi kita yang menjadi tuan rumah atau kita yang bertandang ke rumah sanak saudara. Penentuan siapa yang menjadi tuan rumah kumpul lebaran di setiap keluarga biasanya berbeda-beda. Namun lumrahnya yang menjadi tuan rumah adalah anggota keluarga tertua atau anggota keluarga yang memiliki hunian luas dan sukses secara karir. 

Satu hal yang pasti: setiap tuan rumah akan mengarahkan para tamu menuju penanak nasi atau kuah opor ayam yang tengah mengepul. Sesudah satu piring ketupat opor tandas, setiap tuan rumah lalu mempersilakan tamu mencicipi kue kaleng atau rengginang dalam kaleng khong guan dan lantas membuka percakapan dengan sanak saudara lainnya. 

Tentu saja, kita akan ditanyai banyak pertanyaan dari seputar kabar hingga pertanyaan yang cukup personal seperti “Kamu kerja di mana”, “Berapa gaji kamu”, “Kapan nikah”, “Kok gendutan”, “Kok kurusan”, “Mana pacarnya” dan jika sudah menikah seseorang akan ditanya “Kapan punya anak” bahkan memberi motivasi kesuksesan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Persis kelakuan HRD perusahaan yang sedang mewawancarai calon pekerjanya. 

Memang itu hanya pertanyaan basa-basi,  tapi pertemuan antar keluarga yang seharusnya mempererat tali silaturahmi, ujung-ujungnya menjadi kompetisi siapa yang lebih hebat dan terbaik. Membuat suasana pertemuan menjadi tidak nyaman. Padahal, yang mereka tidak ketahui, mungkin sebagian dari kita tengah mengalami fase-fase hidup cukup berat seperti terkena badai pemecatan di tempat kerja, tunjangan hari raya (THR) yang tak kunjung dibayar majikan, atau sekedar kehilangan gebetan di depan mata. 

Tapi jangan khawatir, buat kamu yang seringkali merasa terusik oleh pertanyaan-pertanyan ajaib itu. Trimurti.id bakal kasih kamu lima jurus jitu menghadapi pertanyaan-pertanyaan ajaib dari keluarga di hari raya. Simak berikut ini ya! 

Nunggu kebagian saham Lippo Group

Oh kamu kerja di sana, jadi apa? Trus gajinya berapa? Inget ya, kamu harus sukses kasian bapak-ibu udah sekolahin kamu capek-capek.

Menggantikan posisi orang tua bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga memang keharusan bagi sang anak. Tapi yang harus mereka tahu, menjadi sukses seperti konglomerat macam James Riady pemilik Lippo Group sangatlah mustahil. Jika tidak memiliki privilege atau kemewahan dari segi waktu dan modal kapital besar dari keluarga yang sudah kaya tujuh turunan. 

Diktum “bekerja lebih keras agar sukses” pun gugur begitu saja. Jangankan sukses, memenuhi kebutuhan hidup saja sudah syukur. Realistis saja; lapangan kerja sulit, serta syarat kerjanya seringkali tidak masuk akal. Lagipula, pemerintah ogah menaikan upah buruh tahun 2024 agar buruh memiliki taraf hidup lebih layak. 

Jika kamu mendapat nasihat tentang kesuksesan dengan kedok pertanyaan kerja “apa”, “di mana”, “berapa kisaran upah kamu”, jawab dan katakan dengan rendah hati “Iya, terima kasih. Doakan agar saya kebagian saham Lippo Group,” sambil tak lupa tertawa tipis.

Jodohku lagi OTW dari masa depan

Sesudah pertanyaan karir, terbitlah pertanyaan soal jodoh. Pertanyaan ini hadir karena menjalani hubungan asmara menjadi tolok ukur bahwa kita dianggap memiliki daya tarik terhadap orang lain.  

Namun, menjalin asmara bukanlah perkara mudah. Selain harus cakap berkomunikasi dan membaca tiap tanda dari pujaan hati. Tanpa kesiapan mental dan finansial yang mumpuni, itu hanya mimpi di siang bolong belaka. Dalam asmara, kita harus siap menghadapi dinamika asmara harian yang menguras tenaga dan waktu. Belum lagi, jika kita menerapkan split bill alias bayar ongkos kencan masing-masing. Bersiaplah kejulidan netizen memburumu dari berbagai penjuru.

Memutuskan untuk tidak menjalin asmara bukanlah masalah yang berarti. Tetapi seringkali pertanyaan-pertanyaan ajaib keluarga di hari raya membuat kita terpogoh-pogoh. Jika kamu terlanjur mendengar pertanyaan, “Pacar kamu mana?

Jangan berkecil hati, bilang saja “Jodohku lagi otewe dari masa depan.

Mungkin Sabtu atau Minggu

Tentu tak lengkap dalam suatu pertemuan keluarga di hari raya, jika tak ada yang bertanya “Kapan nikah?

Kebutuhan menikah seolah-olah menjadi keharusan untuk kita agar dapat memperpanjang keturunan keluarga. Konon, ketika kita sudah menikah, rezeki akan dilancarkan. Betul sekali, jika kita hidup di zaman sebelum konsep negara, bangsa, dan agama hadir. Ketika tanah, hunian, dan pekerjaan tak sesulit sekarang.

Anggapan itu makin tak relevan, karena zaman sekarang harga sebuah pernikahan tidaklah murah. Kamu harus mengurus katering, baju, sewa gedung, kartu undangan, dan tetek bengek lainnya yang menguras semua isi rekening kita. Belum lagi, keluarga atau calon mertua ingin ina-inu yang harus dipenuhi. Tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mau-tidak mau kita harus mengambil lembur kerja lebih panjang atau mencari penghasilan sampingan hingga berdarah-darah.

Jadi, ketika pertanyaan basa-basi “Kapan nikah” itu terlontar. Jawab pula dengan basa-basi, “Mungkin Sabtu atau Minggu, Om/Tante.

Menunggu Karunia Sang Pencipta

Persis seperti “Kapan nikah” yang memburu seorang lajang atau seorang yang sudah memiliki hubungan asmara. Pertanyaan “Kapan punya anak” akan menghantui seseorang yang sudah menikah.  

Di dalam masyarakat, mitos “banyak anak banyak rezeki” rupanya masih bertebaran dan diyakini banyak keluarga. Di tengah situasi dunia yang muram, banyak pasangan hidup menghitung ulang rencana memiliki keturunan. Alasannya bermacam-macam  seperti harga persalinan dan pendidikan mahal, bencana krisis iklim yang kian mengkhawatirkan, dan lapangan pekerjaan yang kian sulit; menyebabkan seseorang takut merengkuh ketidakpastian di masa depan. 

Langkah yang sangat masuk akal jika satu pasangan menunda memiliki momongan. Agaknya kita tak perlu hiraukan pertanyaan “kapan punya anak”, karena kita memiliki jawabannya: “Menunggu karunia sang pencipta yang maha tahu atas rencana hidup kita.”

Lagi ikut seleksi Timnas 

Perhatian pada bentuk fisik pula tak luput dari pertanyaan dari sanak keluarga. Pertanyaan seperti “Kok gendutan?” atau “Kok kurusan?” pasti akan selalu muncul dalam perbincangan. 

Saat mendengar pertanyaan itu kita hanya bisa mematung. Bingung harus menjawab apa dan menjawab seperti apa. Pertanyaan tentang perubahan bentuk fisik tak bisa dianggap remeh. Karena, bisa jadi, perubahan bentuk fisik— menjadi lebih gemuk atau kurus—seseorang dipengaruhi oleh tingkat stress yang dialami oleh seseorang. Penyebab stresnya pun sangat beragam mulai dari faktor ekonomi, biologis, hingga sosial. 

Apa yang sedang kita alami, mungkin akan sulit dipahami oleh orang lain atau keluarga. Kamu tak perlu risau dengan pertanyaan itu, kamu bilang saja “Iya nih Om/Tante, saya lagi mau ikut seleksi Timnas U-23. Makanya jadi kurusan/gendutan dikit.”   

Untuk kamu yang mengalami fase-fase hidup yang sulit. Memang dunia di bawah kapitalisme tidaklah adil untuk kelas pekerja seperti kita. Banyak hal sulit yang telah kita lewati: pemecatan, THR ditunggak, lembur tidak dibayar, bahkan tak jarang martabat hidup kita direndahkan oleh majikan maupun negara.

Tentu di esok nanti, kita harus merebut hak kita yang telah dicuri oleh majikan. Tapi percayalah, kamu berhak untuk berbahagia di Hari Kemenangan nan suci ini. Tanpa perlu merasa terintimidasi oleh pertanyaan basa-basi meluncur ke telinga kita.

Kalau kata Vino G Bastian di film Radit dan Jani (2008), “Bahagia itu kita yang ciptain, bukan mereka.”       

***

Penulis: Baskara Hendarto

Editor: Dedi Muis

Grafis: Djarwo Edhie