Trimurti.id, Bandung– Namanya, Roni (25). Ibarat Valentino Rossi, laki-laki muda ini biasa meliuk-liuk di atas sepeda motor. Melewati kemacetan panjang, didera asap knalpot dan dan bising klakson. Dari rumah kontrakan di Cijerah, daerah pinggiran Bandung, ke tempat kerjanya, sebuah gerai Indomaret di bilangan Sarijadi, Bandung.
Memperhitungkan kemacetan yang sering tak terduga sepanjang ruas jalan menuju Bandung, Roni harus meninggalkan rumah cukup pagi, agar tiba di tempat kerja tepat waktu. Hari-harinya biasanya dimulai pukul lima pagi. Agar cukup waktu untuk mandi, berpakaian dan mematut diri seperlunya, lalu segera bergegas ke tempat kerja.
Demikian pula dengan istrinya, Yuni (26), buruh di pabrik tekstil PT SSJ di Cimahi. Jika kena giliran shift pagi, Yuni pun harus bergegas bangun pagi dan segera berangkat kerja.
Dengan jam kerja yang tidak selalu sama, pasangan muda ini sulit untuk mendapatkan waktu untuk bersama-sama di rumah. Kadang-kadang mereka dapat melewatkan waktu bersama-sama dalam perjalanan ke tempat kerja, menunggang sepeda motor automatic 100cc mereka. Itupun kalau keduanya kebetulan sama-sama masuk kerja pada shift pagi.
Sebagai buruh Indomaret, sehari-hari Roni bisa menghabiskan waktu seharian, lebih dari sepuluh jam, di luar rumah. Toko barang eceran Indomaret beroperasi dari jam enam pagi hingga jam sepuluh malam, dan membagi waktu kerja dalam dua shift. Selain waktu kerja normal, ada saja tambahan-tambahan pekerjaan yang tidak dihitung sebagai kerja lembur, yang membuatnya pulang lebih lambat. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk perjalanan dari rumah ke tempat kerja, dan sebaliknya.
Roni sangat jarang menikmati waktu kerja, sesuai ketentuan, delapan jam sehari. Dia juga tidak paham cara menyampaikan kegelisahannya, apalagi menggugat dan menuntut pengurangan jam kerja. Dia juga enggan dan takut untuk memprotes, karena takut dipecat.
Yang melelahkan bagi Roni adalah full-day shift! Bekerja 16 jam dan melakukan banyak jenis pekerjaan. Dari mulai melayani pembeli dari balik meja kasir, mengangkut barang, memeriksa barang, hingga mengepel lantai.
“Masuk dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam, itu belum dihitung saya berangkat kerja dan perjalanan pulang,” kata Roni.
Jam kerja Yuni pun sama menyiksanya. Bisa mencapai sepuluh jam. Yuni bekerja di bagian pengemasan dan pengangkutan barang. Meskipun jenis pekerjaannya terhitung berat dan melelahkan, Yuni bertahan di tempat kerjanya. Untuk membiayai hidup dan demi bayi yang dikandungnya.
Pasangan Roni-Yuni sedang menantikan kelahiran anak mereka. Yuni sangat mengandalkan pekerjaannya sebagai sumber pendapatan. Sejak kehamilannya menginjak umur tiga bulan, Yuni mengambil banyak lembur, untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai persalinannya kelak.
Sebagai suami-istri yang sama-sama sibuk bekerja, Roni dan Yuni sukar menemukan waktu untuk saling bercakap-cakap. Padahal mereka berdua sangat ingin meluangkan waktu, agar dapat dengan tenang membicarakan dan merencanakan persalinan dengan sebaik-baiknya.
“Kalau diingat-ingat, saya dan Yuni lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dari pada di rumah. Chatting juga sangat sulit. Yuni hampir tidak bisa memegang ponsel selama bekerja.”
Hingga pada suatu hari, kemalangan itu datang. Sepulang dari kerja yang panjang dan melelahkan, Yuni terpeleset di kamar mandi. Dia keguguran. Roni dan Yuni kehilangan bayi mereka. Dirundung kepiluan, masih ada kesusahan lain. PT SSJ, tempat Yuni bekerja, tidak bersedia memberikan tunjangan sedikitpun. Semua biaya pengobatan dan penyembuhan ditanggung oleh pasangan ini.
“Waktu saya dan Yuni sudah hilang oleh pekerjaan. Sekarang, bayi kami yang hilang,” ujar Roni.
Catatan Redaksi: Hingga kisah ini diterbitkan, Roni dan Yuni masih tetap bekerja di tempat kerja mereka masing-masing. Demi menjaga kerahasiaan identitas dan keamanan narasumber di tempat kerja, Roni dan Yuni bukanlah nama yang sebenarnya.
Reporter: Rehza Pratama