Trimurti.id, Bandung—Angga, seorang driver Go-Jek, ditemui dan berbincang dengan Trimurti.id tahun lalu, 15 April, 2018. Angga tinggal di Bandung di rumah orang-tuanya. Sementara anak dan istrinya tinggal di Tasikmalaya, kota kecil berjarak sekitar 125 kilometer dari Bandung. Dalam satu atau dua bulan sekali, dia menyempatkan pulang menjumpai keluarga di Tasikmalaya.
“Saya belum mampu untuk keluarga saya tinggal di Bandung,” katanya. “Kalau di Tasik, pengen kerja harus pake ini [uang] terus.”
Selain alasan ekonomi, dia menilai lingkungan Bandung tidak sehat bagi kedua anaknya. Sehingga, Angga bersepakat dengan istrinya, untuk bekerja di Bandung dan tinggal terpisah dari keluarga.
Angga mendaftarkan diri sebagai “mitra” Go-Jek pada 2015, berbekal sepeda motor Honda Supra 125. Ketika baru memulai sebagai pengemudi Go-Jek, menurut Angga, pendapatannya dapat mencapai Rp. 1 Juta per minggu, bahkan bisa lebih. “[Karena] subsidi dari kantor Go-Jeknya masih gede.”
Dengan pendapatan sebesar itu, dia bisa mengirimkan uang ke istrinya antara Rp. 350 Ribu hingga Rp. 500 Ribu per minggu, sesudah dipotong berbagai pengeluaran. “Sehari saya ngeluarin makan sama bensin itu lima puluh ribu. Ada sekitar delapan ratus lima puluh ribu lah,” katanya.
Namun, ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan pendapatan sebesar itu. Dalam sehari dia harus bekerja hingga 14 jam lebih.
Ketika dijumpai Trimurti.id, Angga masih berkeliaran di luar rumah pada malam yang cukup larut, di sebuah pangkalan ojek di kolong jembatan layang Pasupati. Pada malam selarut itu dia masih berharap mendapatkan penumpang.
Secara sederhana, jam kerjanya adalah sejak pagi hingga larut malam. Keluar rumah jam tujuh pagi, dan kembali ke rumah pada jam yang sukar ditentukan. Kadang pulang pada jam satu pagi, kadang lebih lambat lagi, hingga jam tiga pagi.
Kian hari, jam kerja semakin bertambah panjang. Semakin banyak orang mendaftarkan diri sebagai pengemudi Go-Jek. Persaingan untuk mendapatkan order juga menjadi semakin ketat. “Lewat dari 2016 [keadaan] mulai rada memanas,” katanya.
Di tengah persaingan yang semakin sengit, kemudian terjadi pemangkasan tarif minimal dari Rp. 15 Ribu menjadi Rp 8 Ribu. Untuk mengantarkan penumpang sejauh kurang dari lima kilometer, pengemudi hanya menerima pendapatan Rp 8 Ribu saja. Seingat Angga, itulah awal dari carut-marutnya sistem pada Go-Jek.
Pendapatan Angga dan pengemudi Go-Jek semakin tergerus lagi, karena Go-Jek juga memungut potongan 20% dari setiap order yang diberikan. Jika ongkos perjalanan ditetapkan Rp. 10 Ribu, pengemudi hanya menerima pendapatan Rp 8 Ribu saja. “Kalau narik sepuluh kali, berarti motong 20% sebanyak sepuluh kali,” ungkap Angga.
Hidup Angga semakin berat karena Go-Jek juga menerapkan semacam sistem penilaian yang disebut performa atau kinerja terhadap pengemudi, dengan menghitung prosentase order yang ditunaikan pengemudi. Menurut aturan sebelumnya, pengemudi diharuskan memenuhi paling sedikit 40% order mengantarkan penumpang. Belakangan, batas minimal tersebut diubah menjadi 55%, dan kemudian 65%. Kalau gagal memenuhi kinerja minimal, pengemudi tidak dapat mencairkan bonus awal sebesar Rp. 15 Ribu.
“Misalkan performa awal 100% nih. Orderan yang masuk 10, yang di ambil cuma 5, berarti kan cuma 50%. Sedangkan targetnya 65%. Jadi kan kita harus naik, nambah lagi nambah lagi, jangan sampe ada [order] yang dilewat,” katanya menjelaskan. “Kalau misalnya banyak orderan yang dilewat atau dicancel, otomatis performa pun ikut turun.”
“Hari ini sudah narik 11 order dari 15 order yang masuk. Berarti saya ngelewatin empat. Dari tadi pagi, jam tujuh. [performa saya] 74%, sudah aman,” tutur Angga.
Namun, nilai performa yang aman pun belum cukup untuk mendapatkan bonus uang. Pengemudi juga diharuskan untuk mengumpulkan sejumlah poin. Untuk mendapatkan uang, pengemudi harus mengumpulkan 14 poin. Misalnya, untuk bisa menyambar bonus uang Rp 150 Ribu, Angga harus mengumpulkan sebanyak 30 poin. Dia akan mendapatkan satu poin kalau berhasil menyelesaikan satu order Go-Ride atau Go-Send. Untuk satu order Go-Food, mereka akan mendapatkan dua poin. Jadi, untuk mendapatkan 30 poin, sekurangnya Angga harus menyelesaikan 30 order Go-Ride, atau 15 perjalanan Go-Food.
“Hari ini long trip terus. Tadi pagi-pagi ke Padalarang. Terus dari Padalarang ke Dago. Terus dari Cikutra ke Dago Giri, ke atas. Sambil macet-macetan. Saya capek,” keluhnya.
Tak seperti diceritakan perusahaan penyedia aplikasi, pengemudi Go-Jek bukanlah “mitra.” Pada kenyataannya, mereka adalah buruh biasa. Buruh yang bekerja dengan mematuhi berbagai ketentuan penghitungan performa dan poin. Semua aturan, seperti aturan penentuan tarif, seluruhnya ditentukan secara sepihak oleh pihak perusahaan aplikasi. Itulah alasannya, sehingga Angga menyebut dirinya adalah buruh biasa.
“Kan kita mah tau-tau ada [kebijakan] aja. Dan harus disetujui. Kalau tidak disetujui, ngga bisa narik,” ujarnya.
Bagi Angga, lama kelamaan pihak Go-Jek seakan-akan hanya mengejar untung. Ia menilai, Go-Jek tidak seperti dahulu, yang memiliki visi untuk menyejahterakan masyarakat ekonomi rendah. Tetapi, semata-mata hanya menjadi perusahaan pencari laba sebanyak-banyaknya.
“Sebetulnya kalau diliat oleh saya yang awam, Go-Jek tidak rugi. Seperti download-download, kuota, kerjasama, dan lainnya kan udah jadi keuntungan. Selain ngambil bagian tarif dua puluh persen,” jelasnya.
Reporter: Syawahidul Haq