Categories
Telusur

Tutur Batin Yura di Hari Perempuan Sedunia

Trimurti.id,  Bandung – Tak mudah bagi Yura untuk mencapai di depan Gedung Sate, titik aksi Hari Perempuan Sedunia (HPS) 2024. Ia mesti lihai meloloskan diri dari pertanyaan  majikan di tempat kerja dan sanak keluarga di rumahnya: mencari alasan untuk bolos kerja. 

“Aku bilang aja mau ke dokter hari ini. Periksa Mata,” tuturnya sambil terkekeh. Alibi itu ia gunakan untuk melunakan pertanyaan majikan dan sanak keluarganya. 

Yura tak mau ambil resiko untuk berterus terang, karena jarang—-bahkan tak mungkin–ada perusahaan atau sanak keluarga yang mengizinkannya mengikuti aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia.   

Yura mafhum peringatan Hari Perempuan Sedunia hanyalah satu tahun sekali. Ketika hari itu datang, ia tak akan lewatkan begitu saja. Tentu, bagi Yura maupun kaum perempuan dan minoritas gender lainnya, HPS adalah momen yang tepat untuk mengekspresikan diri dan menggaungkan ketidakadilan yang mereka alami sehari-hari dengan lebih kencang. 

Setelah izin sakit didapat, pertanyaan dari majikan dan sanak keluarga tandas terjawab. Yura lantas menjawil tas kecil miliknya. Ia bergegas memacu sepeda motor matic-nya sejauh 7,8 kilometer–dari kediamannya di wilayah selatan Bandung–menuju Gedung Sate tempat titik aksi berlangsung. Membawa segala keresahan tentang tempat kerja dan lingkungan rumahnya, yang telah tertambat di sanubari sejak lama. 

Tepat Agustus nanti, Yura genap dua tahun bekerja sebagai social media specialist di sebuah kantor agensi digital marketing di wilayah Bandung Timur. Bisa dibilang, bidang kerja industri kreatif seperti dilakoni Yura merupakan salah satu pekerjaan yang cukup digandrungi oleh anak muda. Pekerjaan yang lahir dan tumbuh akibat kemajuan teknologi, menawarkan ‘kebebasan’ yang cukup menarik: tak ada seragam kantor dan jam kerja yang fleksibel. Kamu bebas memakai setelan pakaian, bahkan tato, yang penting kamu bisa bekerja.

Sebuah kemewahan yang akan sulit diperoleh bila anak muda menjual tenaga kerjanya  ke instansi pemerintahan atau pabrik garmen. Namun, saking mewahnya nilai kebebasan itu, Yura sampai saat ini masih bekerja sebagai buruh agensi berstatus kontrak.

“Iya gitu terus, kontrak tiap per empat bulan. Abis itu diperpanjang,” beber Yura sambil menyalakan pemantik api pada rokok sigaret yang menancap pada bibirnya.

Bekerja menjadi social media specialist memang terdengar cukup keren. Tetapi mendengar rincian pekerjaan yang dilakoni Yura, rupanya cukup rumit. Ia harus mencatat laporan mingguan performa Instagram dan TikTok milik klien yang dipegangnya, mempelajari performa algoritma, dan berkoordinasi dengan divisi marketing strategi, admin media, serta mendengar keluhan-keluhan klien.

Dengan seabrek daftar pekerjaan tersebut, majikan mengupah Yura sebesar Rp4.209.309 sesuai dengan ketentuan upah minimum kota Bandung 2024. Tunjangan kesehatan, bonus performa, dan lain-lain diberikan. Bekerja di waktu lembur hampir tak ada, karena beruntungnya segala divisi yang dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan produksi tersedia.

Tetapi Yura heran masih ada teman kantornya yang masih menerima upah dibawah ketentuan minimum. Saat ditanyakan kepada staf HRD, pihaknya berdalih bahwa teman Yura masih bekerja dalam masa percobaan. 

“Kan dia udah enam bulan kerja, kenapa masih (masa) percobaan?” ujar Yura meniru percakapannya dengan HRD. 

Namun, Yura hanya mendapat jawaban normatif soal mekanisme kontrak kerja. Jawaban yang sangat tidak yang memuaskan.   

Cuti Haid dan Mulut-Mulut Toksik yang Tak Pernah Usai

Sebenarnya kantor agensi digital marketing—tempat Yura bekerja–cukup taat memenuhi hak cuti haid buruh perempuan. Dengan syarat mengajukan pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak begitu sulit. Sesudah memberitahukan hari datang bulan datang, Yura maupun teman-teman buruh perempuan lainnya dapat beristirahat memulihkan kondisi tubuhnya.

Pengajuan cuti haid terasa menjadi sulit, kala laki-laki mulai julid. Menimpali komentar tak penting atas pengajuan cuti haid para buruh perempuan. 

Suatu waktu, seorang rekan kerja laki-laki menanyakan pertanyaan tak penting itu pada kawan perempuan Yura yang baru saja mengambil cuti haid. Pertanyaan, yang sekali lagi tidak penting untuk ditanyakan.

“Gara-gara haid sia mah teu asup gawe. Emang sakumaha sih nyeurina (Haid) teh? (Gara-gara haid kamu mah gak masuk kerja? Emang segimana sih sakitnya (Haid)?”  

Dengan penuh amarah, salah satu kawan perempuan Yura langsung membalas dengan nada yang cukup tinggi. 

“Sia weh atuh sok cobaan haid, daek teu? Sia mah teu ngarasakeun nyeurina haid teh kumaha? (Kamu aja cobain haid, mau gak? Kamu gak ngerasain sakitnya haid gimana?!)”

Yura yang menyaksikan cekcok itu hanya tertawa dan mengelus dada. Membenarkan apa yang telah dilakukan oleh kawan perempuannya: memberi pelajaran pada kaum lelaki bahwa menjadi perempuan tidaklah mudah. Apalagi jika masa haid tiba. Seluruh anggota tubuh terasa nyeri, dan kondisi psikis menjadi tidak stabil.

Bukan hanya peristiwa ini saja, Yura mengatakan akibat runyamnya cuti haid di tempat kerja membuat seorang kawannya dipecat secara sepihak oleh majikan. Kala itu kawannya bernama Lola meminta izin cuti haid pada majikan. Majikan memberinya cuti selama tiga hari. Namun, karena Lola mengidap penyakit kista, ia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memulihkan diri.  

Saat kembali masuk kerja. Sang HRD–tangan kanan majikan–tanpa basa-basi mengeluarkan Lola akibat cuti melebihi waktu yang ditentukan Lola dituduh sebagai pekerja yang malas, tidak profesional, dan memanfaatkan cuti untuk berlibur. Meski coba menjelaskan tentang penyakitnya tapi sang HRD tetap tak mau mendengarkannya 

Tak mau berpasrah diri di posisi ujung tanduk, Lola menghubungi kenalannya seorang pengacara dan berniat membawa perkara ini ke ranah meja hijau. Keesokan hari saat Lola datang bersama pengacaranya, sang HRD kelabakan bukan kepalang. Berbagai jurus peredam konflik ia keluarkan. Mulai dari berdalih berkas cuti yang lupa disimpan, hingga kesepakatan damai dengan membayar sejumlah uang belasan juta agar konflik cepat terselesaikan.

“Kasus itu beres gitu aja dan sempet bikin kantor heboh kemarin teh,” ujar Yura. 

Setelah kasus cuti haid Lola selesai, Lola tak pernah lagi menampakan batang hidungnya di kantor tersebut.

Sesudah cuti haid, pergaulan sehari-hari di lingkungan turut membuatnya Yura resah. Meski peraturan tempat kerjanya membebaskan buruh memakai pakaian apa saja. Tetapi pikiran mesum kaum pekerja lelaki tak bisa dibendung, dan masih memandang tubuh perempuan sebagai objek fantasi seksual.

Bayangkan saja oleh para pembaca, tiba-tiba ada seorang teman mengatakan hal yang tidak senonoh di depan Anda. 

“Liat tuh si A mah pakaiannya seksi mulu, kayanya bisa deh dipake,”

“Jangan terlalu terbuka pakaianya, nanti kamu hamil loh.”

Kejadian ini persis terjadi di tempat kerja Yura, lagi-lagi kawan perempuan kerja Yura yang menjadi korban. Ria saking tidak tahannya, mendengar perkataan-perkataan cabul itu. Ia langsung meninggalkan kantor dan memilih tidak bekerja selama dua hari. Singkat cerita, Ria mau kembali bekerja dengan syarat kawan-kawan lelakinya meminta maaf. Alhasil, mereka meminta maaf kepada Ria dengan terpaksa.

“Ah males bercanda sama dia, nanti pundung (merajuk) lagi,” ucap Yura menirukan perkataan teman laki-lakinya.

Mitos Tentang Pernikahan dan Keturunan 

Hari kian gelap saat angin petang mulai merambat perlahan, tapi tak ada tanda-tanda langit akan memuntahkan hujan ke muka bumi. Para peserta aksi Hari Perempuan Sedunia masih duduk melingkar di depan pelataran Gedung Sate. Terlihat masing-masing peserta aksi membawa balon dan cat warna merah di tangannya.

Balon-balon itu ditiup oleh mereka, gelembung udara mengisi karet elastis itu. Sang orator perempuan dengan megafonnya terlhat bersiap memberi aba-aba kepada para peserta aksi untuk menyiapkan jarum.

“Satu, dua, tiga. Pecahin balonnya, pecahin balonnya!”

Darrr Darr Darrr Darrr ……….

Sekitar puluhan balon meletus begitu saja. Lalu sang orator memberi aba-aba kembali kepada peserta aksi untuk mengeluarkan cat warna merah yang terbungkus plastik bening.

“Temen-temen semua, kita tempelin tangan ke jalan. Karena ini tanda penindasan dan kekerasan perempuan masih terjadi di sekitar kita.

Ketika peserta aksi mulai sibuk bermain dengan cat merahnya. Yura kembali bercerita kepada saya. Sebagai perempuan muda dan berkarier, tuntutan untuk segera menikah masih terus membayangi. Bahkan satu hari sebelum peringatan Hari Perempuan Sedunia, sanak keluarga di rumahnya masih memburu Yura dengan pertanyaan tentang pernikahan.

‘Kapan kamu nikah?’ 

‘Jangan ketuaan ah, nanti kamu susah punya anak.’ begitu ucap sang ibu dan kakak kepada Yura.

“Aku teh setiap hari ditanya itu (kapan) nikah. Padahal perempuan udah tua susah punya punya anak,” ketus Yura.

Karena ia paham jika kondisi masyarakat masih cukup konservatif dalam menghadapi perempuan. Yura memilih untuk bungkam, dan mengalihkan pembicaraan tentang pernikahan dan rencana memiliki keturunan. Agar tidak stress, ia memusatkan perhatiannya pada kegiatan bermusik dan berjejaring dengan kolektif perempuan yang ada di kota Bandung.

“Kegiatan ini semacam terapi buat aku dari (tuntutan) pekerjaan sama lingkungan rumah yang cukup menguras energi,” ujar Yura.

Dalam kolektif perempuan yang diikutinya, Yura dapat melakukan berbagai kegiatan seperti menulis zine, berdiskusi hingga saling menguatkan. Seperti yang ia lakukan pada Hari Perempuan Sedunia, ia sangat antusias karena dapat bertemu kawan-kawan baru untuk bersama menjaga api perjuangan kaum pekerja perempuan dan minoritas gender lainnya.

“Harapan aku di IWD 2024 ini, gak muluk-muluk, yang penting kita bisa terus jalan menjawab persoalan harian yang dihadapi perempuan.”

Apa yang dikatakan Yura di ujung pertemuan sangat benar, memulai perjuangan dengan menghadapi persoalan harian. Tentu, Yura tahu betul rasanya tidak nyaman berada di lingkungan kerja toxic dengan majikan yang setengah hati saat memberi cuti haid serta mulut-mulut cabul rekan kerja yang malas memahami rekan kerja perempuanya. Juga, lingkungan rumah yang selalu menututnya segera beranak-pinak.

 

Reporter: Baskara Hendarto

Fotografer: Alexandra 

Editor: Dedi Muis

 

*Redaksi menyamarkan identitas narasumber sesuai permintaan dan keamanan narasumber