Trimurti.id, Bandung—Eva mengernyitkan dahinya ketika mendengar nama perusahaan itu disebutkan.
“PT Sartonia Agung,” lafal Eva, warga RW 11 Tamansari. Eva menengadah ke atas, memutar balik ingatannya.
Sejak awal, nama PT Sartonia Agung selalu membangkitkan kesan dan memori buruk dalam benak Eva dan warga lain RW 11 Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, yang digusur akibat proyek Rumah Deret Tamansari, proyek gagasan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Bagi Eva, Sartonia Agung mengingatkannya pada sejumlah kekerasan, pada malam-malam warga Tamansari dipaksa angkat kaki dari tanah mereka oleh tangan-tangan preman dan ormas. Pria-pria yang mengawal perusahaan kontraktor malam itu datang, berteriak, memaki-maki warga, sembari mengayunkan sebilah kayu besar di tangannya. Dari mulut para preman tersebut, ancaman-ancaman kekerasan tak henti melayang, mengarah pada warga yang teguh menghalangi laju alat berat.
Bagi Eva, Sartonia Agung juga mengingatkannya pada hari saat alat berat dan para pekerja kontraktor, lengkap dengan jaket dan helm mereka, datang dikawal ormas untuk merubuhkan bangunan warga dan memagari lahan. Eva dicakar dan didorong oleh pekerja PT Sartonia Agung ketika hendak bernegosiasi.
“Saya nanya kenapa jalan masuk ke rumah juga dipagerin,” ujar Eva, mengenang malam itu. “Tiba-tiba saya didorong dan dicakar sama mereka.”
Eva juga melihat kuasa hukum warga dari PBHI, Deti Sopandi, didorong dan ditarik rambutnya oleh para preman malam itu. Deti terjatuh dan terluka di bagian kepala.
Yanto, bagian dari massa yang bersolidaritas bersama warga RW 11 Tamansari yang menolak penggusuran, Sartonia Agung juga membangkitkan ingatan traumatis.
“Kafir!”
“Maling!”
Keduanya adalah kata-kata yang keluar dari mulut para preman saat Yanto dikejar dan dilempari batu. Malam itu, Yanto mengalami luka sobek di pelipis akibat kelakuan para preman.
Yanto juga tak bisa berbuat banyak ketika Sofyan, kawannya yang juga bagian dari massa solidaritas, diringkus tiga orang preman berperawakan tambun. Malam itu, tak hanya Sofyan yang menerima hadiah bogem mentah di sekujur tubuhnya–puluhan orang lain juga mengalami luka-luka di bagian kepala karena lemparan batu dari para preman.
Kejadian kekerasan terhadap warga yang bertahan tidak terjadi sekali itu saja. Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun-tahun penuh kekerasan bagi Eva dan warga Tamansari lainnya, yang memilih mempertahankan ruang hidup mereka dari penggusuran.
Korban dari warga dan solidaritas, didampingi LBH Bandung, telah melaporkan dugaan tindak pidana kekerasan ini ke Polrestabes Bandung pada malam hari, 6 Maret 2018. Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai laporan tersebut.
Rilis LBH Bandung selaku kuasa hukum warga saat 6 Maret 2018, pengembang disebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan aktivitas pembangunan yang disertai kekerasan.
Di balik semua tindak kekerasan yang para warga dan massa solidaritas terima, ada satu nama yang mereka ingat, nama di balik mobilisasi kekerasan aktivitas pembangunan malam itu: PT Sartonia Agung.
***
Berita busuk itu merebak pada pertengahan Desember 2019. Aan Andi Purnama, anggota Komisi A DPRD Kota Bandung, mengungkapkan bahwa PT Sartonia Agung, kontraktor pemenang tender proyek Rumah Deret Tamansari di Kota Bandung, tercantum dalam daftar hitam yang diterbitkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Sesuai dengan ketentuan, perusahaan yang kena black-list tidak boleh ikut dalam lelang proyek LKPP selama masa sanksi yang diberikan. Sanksi untuk PT Sartonia Agung berlaku sejak 31 Juli 2018 hingga 31 Juli 2020.
“… Sanksinya jelas, pelarangan keterlibatan di seluruh lelang elektronik secara nasional hingga 31 Juli 2020,” kata Aan, seperti dikutip Kompas.com pada 14 Desember 2019. Politisi muda ini mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk mengevaluasi kontrak kerjasama proyek Rumah Deret Tamansari.
Tanggapan resmi kemudian meluncur dari mulut Dadang Darmawan, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung. Dadang membenarkan, PT Sartonia Agung memang masuk dalam daftar hitam aktif LKPP.
Namun, saat memenangkan lelang pekerjaan pada 2017, perusahaan itu belum masuk daftar hitam LKPP. Artinya, meskipun sedang kena sanksi, PT Sartonia Agung tetap boleh mengerjakan proyek Rumah Deret Tamansari.
Pendapat Dadang Darmawan dibenarkan oleh atasannya, Oded Danial, Walikota Bandung saat ini. “Ini kontrak dengan mereka sudah dari 2017. Karena persoalan-persoalan tadi, teknis di lapangan, sehingga molor kan,” ujar Oded, seperti diberitakan oleh tirto.id pada 20 Desember 2019.
“Mereka memang katanya sekarang di-blacklist, tapi kan itu sekarang. Karena kontrak ini sudah terjadi dulu, mereka punya kewajiban moral untuk menyelesaikan tetap,” dalih Oded.
Penjelasan Dadang dan Oded ada dasarnya. Seperti tertera di portal Lelang Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Bandung, PT Sartonia Agung sudah mengajukan anggaran sekitar Rp. 66 Milyar dan dinyatakan sebagai pemenang tender Rancang Bangun Pembangunan Rumah Deret Tamansari. Proses tender berkode 4245260 ini sudah dinyatakan selesai. Sudah ditunaikan pada 13 Juni 2017, saat H. Mochamad Ridwan Kamil masih menjabat sebagai Walikota Bandung.
PT Sartonia Agung, kontraktor serampangan pengembang Rumah Deret Tamansari
PT Sartonia Agung masuk dalam daftar hitam LKPP sesudah terbit surat dari Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (No.617/KPA/BRSDM/VII/2018).
Ceritanya, pada 2017 PT Sartonia Agung menggarap proyek Pembangunan Politeknik Kelautan dan Perikanan di Jembrana, Bali. Pekerjaan senilai Rp. 44 Miliar ini dananya bersumber dari APBN, dan harus diselesaikan dalam tiga bulan (September-Desember 2017). Meskipun masa pengerjaan diperpanjang hingga Maret 2018, PT Sartonia Agung gagal memenuhi kewajibannya. Tidak ada yang aneh jika Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian memutus kontrak.
Sudah mangkrak, proyek ini meninggalkan banyak masalah. PT Sartonia Agung meninggalkan hutang pada beberapa perusahaan sub-kontrak pemasok bahan bangunan dan buruh bangunan. Sempat pula ada pemogokan kerja karena upah buruh-buruhnya, sebagian besar didatangkan dari Jawa Tengah, belum dibayar penuh. Puluhan taruna politeknik urung menikmati fasilitas baru ini dan terpaksa dititipkan belajar di politeknik serupa di Sidoarjo, Jawa Timur.
Jauh sebelumnya, PT Sartonia Agung punya riwayat pengerjaan proyek yang carut-marut. Sebuah berita kecil yang dimuat dalam Koran Transaksi (edisi Senin, 21 Desember 2009-10 Januari 2010) menengarai perusahaan ini bermain kotor untuk memenangkan tender pekerjaan pematangan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper dan Bulak Turi di Jakarta Utara.
Sumber Koran Transaksi mengatakan pekerjaan pematangan lahan dilakukan secara asal-asalan. Lahan pemakaman hanya ditimbun sekedarnya tanpa dipadatkan. Meskipun pekerjaannya buruk, PT Sartonia Agung tetap dibayar penuh untuk pekerjaan itu oleh pemerintah DKI Jakarta. Jika berita ini benar, PT Sartonia Agung secara keterlaluan mencari untung dari orang-orang yang sudah meninggal dan keluarganya yang masih hidup.
Reputasi busuk PT Sartonia Agung juga tercium pada Laporan Keuangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2014. Perusahaan ini rupanya pernah memenangkan pekerjaan Rehabilitasi dan Perluasan Gedung Pelayanan Publik Balai Besar POM di Bandung pada tahun anggaran 2010.
Melalui surat bertanggal 24 Mei 2011 Balai Besar POM di Bandung meminta PT Santonia Agung membayar denda sekurang-kurangnya Rp 487 Juta ke Kas Negara atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Tiga kali surat peringatan dilayangkan, PT Sartonia menyewa pembela hukum dan bersikeras tak mau membayar denda. Untuk mengetahui ujung dari kerunyaman ini, tak ada cara selain menyisir dokumen pengadilan.
PT Sartonia Agung lagi-lagi bekerja serampangan ketika mereka pada 2014 menggarap proyek seharga Rp. 24 milyar berjudul peremajaan Gedung Perpustakaan dan Gedung Arsip Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Salah satu pekerjaan yang harus mereka tunaikan adalah membangun jembatan sepanjang 12 meter yang menghubungkan kedua gedung tersebut. Pada Kamis, 30 Oktober 2014, tiang jembatan roboh dan menimpa buruh-buruhnya. Lima orang buruh mengalami luka-luka, empat tewas.
Proyek itu terpaksa dihentikan sementara.
Di depan wartawan, Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip DKI Jakarta Agus Suradika mengatakan, “…kami yakin peristiwa ini memang terjadi karena kecelakaan. Saat ini sedang diperiksa juga secara keseluruhan.”
Figur-figur di balik pelindung kepentingan PT Sartonia Agung
PT Sartonia Agung pertama kalinya dicatatkan di Kementerian Hukum dan HAM pada 1983. Sepanjang 38 tahun beroperasi, mereka merambah ke banyak bidang usaha. Ada petunjuk bahwa, bersamaan waktu dengan pengerjaan proyek Rumah Deret Tamansari, mereka menjadi salah satu rekanan Dinas Lingkungan Hidup Propinsi DKI Jakarta. Bidang usahanya adalah jasa angkutan sampah. Bermodalkan lima buah truk angkut, entah milik sendiri maupun pinjaman dari perusahaan lain.
Pada 1983, nama yang tercantum dalam akta perusahaan adalah Jefferson Saul Simanungkalit dan Tiarma Simanungkalit. Keduanya menyetor saham Rp. 5 Juta, dan masing-masing menduduki posisi sebagai direktur dan komisaris perusahaan.
Berikutnya, PT Sartonia Agung mengalami berkali-kali perubahan direksi dan komisaris, selain perubahan kepemilikan saham.
Sejak 2017, direktur perusahaan adalah Ridwan Saut Manumpak Siagian. Namun, dua nama yang sejak 1998 selalu muncul dalam dokumen perusahaan adalah Tonggo Uly Simanjuntak dan Bresman Siagian.
Mengikuti pencatatan paling mutakhir (11 Januari 2017), Tonggo Uly Simanjuntak menjabat sebagai komisaris, dan Bresman Siagian merupakan direktur utama. Tiga nama tersebut menanam saham di perusahaan dan ketiganya tercatat beralamat di Komplek Billy & Moon Blok L No. 13, RT. 003 RW 010, Jakarta Timur. Apakah mereka bertiga memiliki hubungan keluarga?
Sedikit sekali yang diketahui tentang Ny. Tonggo Uly Simanjuntak, pemegang 54.000 lembar saham (senilai Rp. 5,4 Milyar) PT Sartonia Agung. Mungkin karena beliau tidak benar-benar aktif berbisnis. Salah satu dari sangat sedikit jejak digitalnya tertinggal di sebuah situs peribadatan. Di laman itu, sekitar empat bulan yang lalu dia meninggalkan pesan pendek, “Tolong doain proyek suami biar Tuhan berkati.”
Tidak terlampau sulit untuk menelusuri jejak Ridwan Saut Manumpak Siagian. Dia lahir di Jakarta, 25 November 1989. Pada 2008 dia menamatkan pendidikan Teknik Sipil di Universitas Bina Nusantara. Namanya kemudian tercantum sebagai pimpinan PT Parhaen Jaya, perusahaan yang beralamat di Jl. Taman Jatibaru Timur, Komplek Rukan Graha Jatibaru Blok A No. 1, Jakarta. Alamat ini pernah juga digunakan oleh PT Sartonia Agung.
Dia masih berusia sekitar 23 tahun saat berpose di depan Katedral Frankfurt di Jerman, di sebuah foto yang ia unggah di laman Facebook-nya sendiri pada 18 Juni 2012. Lima tahun kemudian, Ridwan tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham PT Sartonia Agung.
Orang terpenting di PT Sartonia Agung tak lain tak bukan adalah Bresman Siagian, pemilik 36.000 lembar saham senilai Rp. 3,6 Miliar, sekaligus direktur utama perusahaan. Bresman lahir di Tapanuli tahun 1959 dan paling tidak sudah dua puluh tahun lebih terjun ke dunia usaha.
Selain mengurus perusahaan, pernah juga dia masuk dunia politik. Sebagai tim pemenang untuk salah satu kandidat dalam pemilihan Bupati Kabupaten Toba tahun 2020, Bresman tergabung dalam tim pemenangan untuk pasangan Darwin Siagian dan Hulman Sitorus (disingkat WINMAN) yang didukung Nasdem, Golkar, dan PKB.
Sebagai anggota tim pemenangan, dia muncul dalam pengukuhan pasangan calon Bupati tersebut, yang berlangsung 25 September 2020 di Desa Tambunan, Medan. Tim sukses yang dihuni Bresman tidak sukses mengantarkan pasangan WINMAN dalam pemilihan Bupati tersebut.
Sebagai perusahaan yang berkedudukan di Jakarta, PT Sartonia Agung hampir mustahil bekerja sendiri membangun Rumah Deret Tamansari.
Rupanya, PT Sartonia menggarap proyek Rumah Deret Tamansari bersama tiga perusahaan lain, yakni: PT Sangkuriang, PT Agro Bio Organik, PT Yudaprahasta Mandiri Perkasa. Hal ini terlihat dalam surat DPKP3 Kota Bandung tanggal 29 November 2017.
Komunikasi atau surat menyurat antara DPKP3 Kota Bandung dengan PT Sartonia Agung rupanya dilakukan melalui PT Sangkuriang, yang beralamat di Jalan Karang Tinggal 23, Bandung. Tentu tak ada sulitnya bagi Pemerintah Kota Bandung untuk menghubungi PT Sartonia. Sementara, dengan rentetan kekerasan selama 2017-sekarang, warga Tamansari selalu mengalami kesulitan untuk menemukan alamat dan menjumpai PT Sartonia Agung.
Tiga perusahaan yang bekerja bersama PT Sartonia Agung, seluruhnya berkedudukan di Bandung dan sekitarnya. Sebenarnya, ketiganya adalah juga peserta tender proyek Rumah Deret Tamansari. Dokumen tender memperlihatkan, berbeda dengan pemenang tender, tiga perusahaan ini tidak dinyatakan memenuhi syarat administrasi dan teknis, serta kualifikasinya pun tidak dinilai cukup.
Jika pemenang tender PT Sartonia Agung mengajukan penawaran senilai Rp. 66 Miliar lebih, dokumen tender tidak menyebutkan anggaran pembangunan yang dikehendaki tiga perusahaan di atas. Lebih tepatnya lagi, dari 67 perusahaan peserta tender, hanya PT Sartonia Agung sajalah yang mengajukan penawaran harga.
Dari sekian nama yang sudah disebutkan di atas, untuk menjalankan proyek Rumah Deret, orang yang diandalkan PT Sartonia Agung adalah Dasep Setiadi. Di depan warga Tamansari, Dasep jelas-jelas mendudukan dirinya sebagai orang PT Sartonia Agung. Pada kejadian 6 Desember 2017, Dasep bersedia berdebat panas dengan Sambas Sadikin, yang mempersoalkan ijin pengeboran.
Dalam rekaman video milik Forum Juang Tamansari, tampak Dasep bersikukuh bahwa pengeboran harus tetap di jalankan pada hari itu. Tidak mau dia ambil pusing dengan penolakan yang dilakukan oleh warga. “Begini lah, bukan tanggung jawab saya untuk dengan perizininan ya. Saya di sini posisinya hanya bekerja untuk PT. Sartonia Agung. Jadi jika bapak keberatan silahkan protes ke pihak pemerintah,” ujar Dasep.
Dasep adalah veteran untuk urusan proyek pembangunan, terutama proyek pemerintah.
Namanya terhubung dengan berbagai proyek dan perusahaan. Laman facebook pria lulusan STM Pembangunan memperlihatkan keterlibatannya dalam proyek pembangunan Bandung Creative Hub dan Skywalk Cihampelas. Dua proyek kebanggaan Ridwan Kamil, Walikota Bandung saat itu.
Pada pembangunan Bandung Creative Hub, dia terhubung dengan PT Anugerah Bangun Kencana. Melihat kaitan dia dengan proyek Skywalk Cihampelas (nilainya Rp. 49,8 Miliar), besar kemungkinan Dasep adalah orang PT Likatama Graha Mandiri, salah satu peserta tender proyek Rumah Deret Tamansari.
Dasep adalah juga direktur operasi di PT Tahta Jaga Internasional, perusahaan pengembang, jasa konstruksi dan perdagangan umum. Meskipun namanya agak menggelikan, ini bukan perusahaan sembarangan. PT Tahta Jaga Internasional adalah salah satu perusahaan yang diusulkan menjadi vendor bansos sembako semasa pandemi Covid-19. Pengusulnya bukan orang sembarangan, Hartono Laras, Sekretaris Jenderal Kementrian Sosial.
Seperti diberitakan banyak media, program bantuan sosial ini penuh dengan korupsi hingga menjerat mantan menteri sosial Juliari Batubara. Dalam sidang pengadilan kasus korupsi itu terungkap bahwa PT Tahta Jaga Internasional, PT Anugerah Bangun Kencana, dan belasan lainnya beramai-ramai menyuap Juliari Batubara.
Koneksi Dasep dengan Ridwan Kamil bukanlah sesuatu yang sulit ditelusuri. Dasep sendiri kerap membagikan foto-foto menarik tentang kegiatannya bersama Barka, Baraya Ridwan Kamil.
Tutup mata Pemerintah Kota Bandung terhadap PT Sartonia Agung
Sartonia telah meninggalkan jejak hitam di sejumlah proyek. Perusahaan ini juga telah dilaporkan melakukan pelanggaran hukum pada proyek pembangunan Rumah Deret di Tamansari. Nasi sudah menjadi bubur, Pemerintah Kota Bandung terlanjur sudah berkontrak dengan PT Sartonia Agung. Pemkot Bandung sebenarnya bisa menghindari kerumitan yang tidak perlu ini, andaikata mau sedikit bersusah payah mencari informasi tentang PT Sartonia Agung.
Namun, Pemerintah Kota Bandung seolah abai. Mereka berdalih, kontrak dengan perusahaan ini telah belangsung sejak 2017.
Menanggapi hal tersebut, Deti Sopandi dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Jawa Barat selaku kuasa hukum warga RW 11 Tamansari yang menolak pembangunan, mengatakan bahwa seharusnya sebelum penunjukan tender itu terjadi, Pemerintah Kota perlu terlebih dahulu membuktikan bahwa apakah betul tanah yang kini disengketakan adalah aset daerah atau bukan.
“Kalau Pemkot Bandung bikin tender terhadap barang yang bukan miliknya, apa itu masuk akal?” ungkap Deti Sopandi kepada Trimurti, 14 April 2021.
Tak hanya itu, menurut Deti yang selama ini terjadi di Tamansari adalah aksi premanisme yang melibatkan kontraktor dan Pemerintah Kota Bandung. Sejak 2017 hingga 2021, telah terjadi beberapa kali tindakan intimidasi dan premanisme yang melibatkan mereka.
Dalam proyek Tamansari, keserampangan PT Sartonia Agung tidak berhenti pada perbuatan melawan hukum dengan melakukan aktivitas pembangunan yang disertai kekerasan. Menurut Heri selaku Staf Riset dan Kampanye LBH Bandung yang kini berposisi sebagai pendamping hukum warga, PT. Sartonia Agung juga belum mengantongi AMDAL dan Izin Lingkungan.
Pada Desember 2017, LBH Bandung telah melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh pengembang terkait aktifitas pembangunan di Tamansari tanpa AMDAL dan Izin Lingkungan.
“Pengembang telah melanggar Pasal 36 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 dan seharusnya dipidana atas tindakan tersebut,” jelas Heri saat ditemui Trimurti di kantornya pada Sabtu, 9 April 2021.
Heri menambahkan, menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa suatu usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL wajib memiliki Izin Lingkungan. Tanpa adanya AMDAL dan Izin Lingkungan, penyelenggara pembangunan terancam dengan pidana.
Pasca disahkanya UU Cipta Kerja, pasal pidana ini dihapus dan diganti dengan sanksi administratif. Meskipun demikian, cacat hukumnya proyek rumah deret ini sejak awal sudah terlihat jelas bagi para warga.
Setelah hampir tiga tahun ditolak oleh para warga RW 11 Tamansari, bangunan yang menjulang dan terlihat dari flyover Pasupati itu nampaknya sudah 50% persen jadi. Sementara pembangunan Proyek Rumah Deret Tamansari terus dikebut–oleh tangan PT Sartonia Agung, di bawah instruksi Pemkot Bandung–warga tergusur kini terus berupaya bertahan di Masjid Al-Islam, yang berdiri persis beberapa meter dari area reruntuhan dan konstruksi rumah deret.
Ingatan-ingatan para warga tentang kekerasan yang mereka alami masih nyata. Sementara, pertanyaan-pertanyaan terkait perusahaan kontraktor di balik pembangunan proyek tersebut, masih belum terjawab.
Bagi warga, Pemkot bukan hanya tutup mata. Memenangkan perusahaan seperti PT Sartonia Agung sebagai pengembang Proyek Rumah Deret ini, sejak awal, justru menunjukkan kosongnya klaim-klaim Pemkot Bandung soal menyejahterakan warga atau memerhatikan kebutuhan hidup mereka.
Hidup juga terus berjalan. Setelah kehilangan rumah dan sumber penghasilan, warga kini berupaya menutup kebutuhan sehari-hari dengan berdagang di sekitar area Masjid Al-Islam.
Enjo, salah satu warga yang masih bertahan, berdiri di samping sebuah masjid, menunjuk area-area gerobak dan tempat duduk kayu, dilengkapi terpal buatan, tempat para warga berjualan. “Ya, katanya ini juga bakal digusur sih, tapi gatau kapan,” ungkap Enjo, yang tak tahu harus beristirahat dimana lagi jika masjid digusur.
Reporter: Ilyas Gautama