Trimurti.id, Bandung – Bagi buruh seperti Indra (bukan nama sebenarnya), hari buruk memang selalu datang di saat tak terduga. Pada 6 November 2023, hari buruk itu benar-benar terjadi. Kala itu Agus Sunarto, Deffrie, dan Rizki yang mewakili pihak manajemen PT Sinar Baru Algensindo (PT SBA) mengumpulkan para buruh di kantin perusahaan. Di hadapan buruh-buruh yang berkumpul, mereka mengumumkan bahwa perusahaan tengah merugi dan berencana melakukan efisiensi. Perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 28 buruh.
Indra hanya saling melempar tatap dengan buruh-buruh lainnya, seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan pihak manajemen. Saat suasana kantin menyisakan keheningan dan tanda tanya di benak para buruh. Ketiga utusan majikan itu lantas menyebutkan satu per satu nama buruh yang akan terkena PHK. Seperti disamber gledek, nama Indra ikut tercantum di antara 28 buruh tersebut. Pihak manajemen, yang ingin segera menuntaskan pekerjaannya, lalu membagikan surat pemberitahuan PHK.
Surat itu kurang lebih berisi bahwa per-tanggal 23 November 2023 merupakan hari terakhir Indra dan kawan-kawannya bekerja. Selain itu, perhitungan pesangon hanya 0,5% dari ketentuan semestinya. Pun besaran variabel upah, yang digunakan dalam perhitungan pesangon, jumlahnya jauh di bawah UMK Kabupaten Bandung 2023. Sudah dipotong pembayaran pesangon pun dicicil pula. Perusahaan secara sepihak memutuskan akan mencicil pembayaran pesangon selama 6 hingga 14 bulan tergantung dari besaran pesangon yang dibayarkan.
Tak terima dengan keputusan tersebut, Indra dan kawan-kawan yang terkena PHK mempertanyakan dasar dari keputusan perhitungan pesangon dan memprotes kebijakan perusahaan yang membayar upah buruhnya di bawah UMK. Semestinya buruh mendapatkan upah sekitar Rp 3,492,465, namun yang diterima oleh buruh hanya sebesar Rp 3.250.000.
Bukan mawas diri, perusahaan percetakan Al-Qur’an dan buku-buku ajaran islam yang berdomisili di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung menjawab protes buruh dengan mengeluarkan sebuah dokumen yang mereka sebut surat keputusan (SK).
Sembari menunjukan SK tersebut, pihak manajemen memberi kuliah administrasi hukum bahwa berdasarkan SK perusahaan sudah berstatus Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Perusahaan tidak masalah jika mengupah para buruhnya di bawah ketentuan standar upah minimum kabupaten/kota (UMK). Indra dan kawan-kawannya merasa dibuat dongkol dengan penjelasan tersebut. Karena perusahaan dengan mudahnya membalikan nasib buruh di atas secarik dokumen administrasi. Bahkan perusahaan tak pernah memberitahukan perubahan administrasi itu kepada para buruh.
Belakangan, Indra dan para buruh korban PHK lainnya mengetahui SK yang dimaksud adalah Permenaker No.5 Tahun 2023. Permenaker itu mengatur bahwa perusahaan memang dapat membayar upah di bawah ketentuan minimum, namun dengan syarat perusahaan yang bersangkutan merupakan industri padat karya yang beorientasi ekspor serta memiliki kesepakatan dengan para pekerja.
Selain tentunya syarat itu tidak dipenuhi PT SBA. Permenaker No.5 Tahun 2023 juga melanggengkan praktek upah murah bahkan membuat pelanggaran hak buruh makin marak terjadi di mana-mana.
Satu pekan sebelum diberhentikan dari pekerjaanya, Indra dan kawan-kawannya kembali menemui pihak manajemen untuk memprotes keputusan PHK sepihak perusahaan dan pembayaran upah di bawah UMK. Lagi-lagi, perusahaan tetap bersikukuh dengan jawabannya bahwa status PT SBA adalah UMKM, dan boleh membayar upah di bawah UMK.
Kali ini, pihak manajemen mengeluarkan dokumen yang berbeda. Surat bertajuk Perizinan Usaha Berbasis Risiko Modal itu diterbitkan di Jakarta pada 30 Mei 2022 dan lengkap dengan tanda tangan daring Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal menyatakan bahwa PT SBA merupakan usaha berskala mikro. Dokumen itu jelas sengaja ditunjukan untuk membungkam protes Indra dan kawan-kawannya.
Singkat cerita, usai pertemuan itu para buruh mulai berguguran. Dari 28 buruh yang terkena PHK, hanya tersisa sembilan buruh-termasuk Indra- yang tetap memprotes keputusan perusahaan yang mencicil pembayaran pesangon. Mereka kemudian mendatangi sekretariat Dewan Pimpinan Kabupaten Bandung – Konfederasi Serikat Nasional (DPK – KSN Kab. Bandung) untuk melakukan konsultasi terkait kasus PHK yang menimpa mereka. Setelah konsultasi, para buruh bersepakat untuk maju ke perundingan bipartite dengan pihak manajemen PT SBA.
Perundingan bipartite pertama dilakukan pada awal Desember 2023. Hasilnya jauh dari kata memuaskan. Pihak manajemen masih bersikukuh melakukan PHK karena perusahaan tengah merugi, dan untuk lebih meyakinkan buruh yang masih terus protes. Pihak manajemen menunjukan laporan keuangan selama satu tahun terakhir, yang menunjukan kerugian mereka.
Pada pertemuan bipartit berikutnya, dalih perusahaan tengah merugi terus didengungkan kepada para buruh. Hingga tulisan ini diturunkan, perusahaan masih ogah membayar pesangon secara penuh.
***
Kasus PHK yang menimpa Indra dan kawan-kawannya bukanlah yang pertama terjadi. Tahun 2020, saat pandemi mewabah dunia dan membuat kantong kelas buruh cekak, PT SBA mengupah buruhnya di bawah UMK dan menunggak pembayaran THR. Saat itu para buruh merespons pelanggaran hak itu dengan aksi dan mogok kerja di pabrik. Tak banyak cerita yang diketahui sesudah itu, menguap tanpa ada kejelasan apapun dari perusahaan.
Tiga tahun berselang, PT SBA kembali berulah. Mereka memanfaatkan celah-celah dari turunan regulasi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Celah pertama adalah PP No.7 tahun 2021, aturan ini memungkinkan sebuah perusahaan untuk mengubah jenis usahanya dari usaha makro menjadi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ketika status usaha berubah, perusahaan otomatis dapat membayar upah buruh-buruhnya di bawah ketentuan UMK.
Lalu, ketiadaan aturan yang secara jelas melarang dan dapat memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang mencicil pesangon buruh yang terkena PHK. Sialnya, pemerintah malah mengembalikan sepenuhnya kebijakan pembayaran pesangon kepada perusahaan. Hal ini selalu menjadi celah bagi perusahaan untuk menghindari tanggung jawab membayar pesangon.
Dari cerita Indra dan kawan-kawannya, kita dapat melihat bagaimana perusahaan mengelabui buruhnya dengan menggunakan Permenaker No.5 Tahun 2023. Sebuah aturan yang seharusnya tidak diberlakukan tetapi digunakan oleh manajemen PT SBA untuk melanggengkan praktek upah murah yang sudah terjadi bertahun-tahun di PT SBA.
***
PT Sinar baru Algensindo telah berproduksi sejak tahun 1990-an, dan dapat bertahan hingga zaman terus berganti berkat kerja para buruh-buruhnya. Begitulah nasib buruh, bagai habis manis sepah dibuang. Ketika perusahaan mendulang untung berlimpah, tak pernah sekalipun buruh mengetahuinya.
Namun kala perusahaan mengalami kerugian, perusahaan akan terus menceritakan hal itu kepada buruhnya. Kemudian, ketika perusahaan melakukan pemotongan upah, THR, dan mencicil pesangon; perusahaan akan meminta buruh untuk ikhlas menerima keputusan tersebut.
Di tengah kesemerawutan itu, pemerintah bukan hadir memberikan perlindungan bagi buruh. Pemerintah malah mengeluarkan regulasi-regluasi anti-buruh yang melegitimasi keculasan-keculasan yang dilakukan oleh perusahaan.
Reporter: Arifin Arianto
Editor: Aleyah Putri Chanzia