Trimurti.id – Untuk meredam kalangan nasionalis dan kaum buruh yang berafiliasi ke SOBSI, perusahaan-perusahaan minyak asing melakukan indonesianisasi kepada pekerja-pekerja mereka sejak tahun 1950-an. BPM, misalnya, membuka sekolah-sekolah Pendidikan Ahli Minyak (PAM) dan kursus-kursus singkat bagi orang-orang Indonesia.
Menurut Thomas Lindblad, dalam Bridge to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia (2008), para pekerja yang telah menempuh pendidikan dan dinyatakan lulus, dapat dijadikan pegawai di perusahaan. Walaupun begitu, posisi pekerjaan yang ditawarkan bagi orang-orang Indonesia dalam BPM hanya sebatas pekerjaan teknis di lapangan, bukan pada posisi manajerial.
Untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri serta meningkatkan devisa, pemerintah mendirikan perusahaan minyak nasional seperti Permina, Permigan, dan Permindo. Namun tetap saja perusahaan minyak nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan minyak nasional. Pasalnya, lebih dari 90% minyak mentah dihasilkan oleh Shell, Stanvac, dan Caltex, yang sudah menanamkan jaringan yang kuat sejak awal abad XX. Akibatnya, proses indonesianisasi tidak memiliki dampak signifikan terhadap kemampuan bangsa Indonesia menguasai sektor industri migas. Ketidakpuasan ini menjadi faktor utama kenapa Sukarno melakukan langkah yang lebih radikal: Nasionalisasi perusahaan minyak asing.
Setelah Pemilu 1955 dimenangkan PNI, perusahaan-perusahaan minyak asing mulai melakukan pergantian nama. BPM, misalnya, berganti nama menjadi Shell Indonesia. Tindakan menambahkan kata “Indonesia” dalam nama perusahaan dilakukan untuk meredam amarah golongan nasionalis serta buruh-buruh progresif yang membenci hal-hal yang masih berbau kolonial (Lindbland, 2008).
Perasaan anti Belanda karena masalah Irian Barat turut meningkatkan tensi antara pemerintah dan perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia. Tahun 1957, Presiden Sukarno berusaha melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara maupun swasta asing, khususnya perusahaan-perusahaan Belanda dengan jalan paksa.
Tindak lanjut dari upaya nasionalisasi tersebut ialah diterbitkannya Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Undang-undang tersebut ditetapkan tanggal 27 Desember 1958, tetapi berlaku surut sampai tanggal 3 Desember 1957. Undang-undang inilah yang menjadi dasar pembenaran bagi buruh-buruh minyak untuk melancarkan aksi mogok ataupun aksi lainnya, menuntut perusahaan minyak asing segera menyerahkan asetnya kepada Indonesia.
Perpindahan buruh-buruh minyak yang tidak berafiliasi dengan SOBSI dari Perbum membuat SOBSI dapat sepenuhnya mengontrol Perbum. Konsolidasi yang dilakukan semakin intens. SOBSI banyak mengirimkan kader-kader terbaik mereka yang ada di Perbum ke daerah-daerah seperti Balikpapan untuk menjaring anggota seluas-luasnya.
Banyak dari buruh-buruh minyak yang berada di Balikpapan tertarik masuk menjadi anggota Perbum karena beberapa alasan. Misalnya karena retorika para pemimpin Perbum daerah Balikpapan yang selalu mendengungkan teori-teori pertentangan kelas dan menyatakan Perbum akan selalu membela kepentingan buruh-buruh minyak yang ada di Balikpapan dari penindasan kaum kapitalis.
Selain itu, Perbum Balikpapan selalu mampu bersikap lebih progresif dibandingkan serikat-serikat buruh minyak lainnya dalam menuntut hak-hak buruh. Misalnya dalam hal kenaikan upah, syarat-syarat kerja, dan jaminan kesejahteraan sosial lainnya. Pendekatan personal yang dilancarkan oleh kader-kader Perbum untuk menarik minat buruh-buruh minyak di Balikpapan bergabung dilakukan dengan cara diskusi santai di toko-toko makanan atau minuman yang mereka dirikan. Pendekatan-pendekatan yang sangat intens ini berhasil meningkatkan jumlah simpatisan Perbum di Balikpapan (Wawancara dengan S, mantan buruh minyak, pada tahun 2011 di Balikpapan).
Menjelang G30S atau Gestapu tahun 1965, Perbum berhasil memperoleh lebih dari 44% buruh minyak yang ada di Indonesia berkat propaganda yang intens. Indonesia yang kala itu sedang berkonfrontasi dengan Belanda karena masalah Irian Barat, semakin meningkatkan aksi-aksi Perbum—yang diorganisasi SOBSI—dalam menentang aksi tindakan Belanda dan negara-negara imperialis lainnya.
Perbum Balikpapan melakukan aksi corat-coret di semua objek bangunan (termasuk rumah-rumah) atau kendaraan milik Shell. Mereka menuliskan slogan-slogan anti imperialis seperti, “ganyang Malaysia”, “sita modal asing”, dan “singkirkan imperialisme”. Mereka juga melakukan aksi tidak bicara kepada orang asing atau staf-staf Shell yang berkebangsaan Inggris dan Belanda.
Perbum menghimbau kepada para pekerja asing untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari dan menghimbau para buruh Indonesia untuk tidak menjawab percakapan pekerja asing bila tidak menggunakan bahasa Indonesia. Bagi orang Indonesia terdapat risiko masuk penjara apabila tetap nekat menggunakan bahasa asing untuk berkomunikasi dengan rekan kerjanya yang orang asing.
Akhir tahun 1963, aksi yang dilakukan Perbum Balikpapan semakin agresif. Akibatnya, kantor produksi kilang minyak Shell di Balikpapan ditutup sementara. Aksi tersebut mendapat dukungan dari salah seorang komandan militer wilayah Kalimantan Timur, Jenderal Soeharjo, yang sangat bersimpati kepada gerakan buruh.
Jenderal Soeharjo dan Perbum juga mendirikan sistem komisar. Sistem ini membolehkan orang luar perusahaan yang ditunjuk Perbum masuk ke dalam sistem kerja Shell dan melakukan pengawasan serta memiliki hak untuk berkomunikasi kepada para pekerja dan pihak manajemen perusahaan.
Upaya intervensi tersebut membuat manajemen pusat Shell khawatir bahwa sewaktu-waktu kegiatan produksi di kilang minyak Balikpapan akan berhenti. Untuk mencegah hal tersebut, manajemen pusat Shell meminta Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali situasi keamanan di Balikpapan yang menurut Shell tidak kondusif.
Permintaan tersebut ditolak oleh presiden Soekarno. Karena pada masa itu Indonesia juga sedang melakukan konfrontasi dengan Malaysia dan kesolidan militer di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharjo untuk wilayah Kalimantan Timur masih dibutuhkan untuk menghadapi ancaman apabila timbul potensi perang dengan Malaysia.
Manajemen pusat Shell akhirnya meminta bantuan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani. Ahmad Yani kemudian mengeluarkan surat perintah pemindahan Jenderal Soeharjo. Namun surat perintah tersebut belum disetujui Presiden Soekarno. Akhirnya manajemen pusat Shell, dengan didampingi perwakilan dari Kedutaan Amerika dan Perancis, mengadakan kunjungan resmi ke Balikpapan.
Kunjungan tersebut bertujuan membangun perundingan dengan Jenderal Soeharjo dan perwakilan Perbum. Perundingan tersebut berhasil mengurangi ketegangan. Walau dengan agresivitas yang berkurang, Perbum tetap melancarkan aksi, sehingga berhasil mengganggu operasional Shell di Balikpapan.
Setelah G30S meletus dan pemerintah Soeharto berhasil menumpasnya, gerakan-gerakan rakyat yang dianggap berafiliasi dengan PKI mulai dibersihkan. Walaupun dampak G30S di Balikpapan tidak sedahsyat di Jawa, sempat terjadi pembakaran rumah-rumah di kampung baru serta sabotase di beberapa instalasi perminyakan yang diduga dilakukan oleh oknum-oknum PKI.
Dalam kesaksiannya, almarhum Sofyan Asnawi, mantan buruh minyak anggota Perbum, pernah mengatakan bahwa Perbum berencana membakar kilang minyak dengan menyediakan mobil pemadam kebakaran yang isi tangkinya diganti dengan bahan bakar minyak. Sehingga bila nanti terjadi kebakaran, maka kebakaran tersebut akan semakin meluas. Namun sabotase ini berhasil digagalkan oleh pihak militer (Kompas, 27 Oktober 1965; lihat juga Bambang Hartoyo, dkk, Sejarah Singkat Kodam IX/Mulawarman [1973]).
Pada tanggal 27 Oktober 1965, dengan surat No. Kep/40/1965, Penguasa Perang Daerah (Paperda) Jaya menetapkan penghentian semua kegiatan SOBSI dan semua organisasi yang tergabung atau bernaung di dalamnya. Terjadi gelombang protes dari serikat-serikat buruh minyak lain yang dahulu merupakan oposisi Perbum. Mereka menuntut agar dilakukan pembersihan terhadap unsur-unsur Perbum di lingkungan kerja industri minyak Indonesia.
Setelah PKI dibubarkan tanggal 12 Maret 1966 dan muncul instruksi presiden No. Instr.09/KOGAM/5/1966 tentang pembubaran PKI dan ormas-ormas yang memiliki ideologis yang sama atau bernaung dan berlindung di bawah PKI. Perbum dinyatakan termasuk di dalamnya. Pemerintah pun menginstruksikan pembersihan aparatur negara dari sisa-sisa anasir PKI dan ormas-ormasnya dalam perusahaan minyak melalui surat keputusan Direktur Jenderal Migas No. 237/D.D/Migas/1967 (Kompas, 1 November 1965).
Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan produktivitas perusahaan minyak negara menurun. Itu terjadi karena banyaknya jumlah karyawan yang berkurang akibat terlibat dengan Perbum. Kilang minyak Balikpapan bahkan tidak dapat beroperasi secara optimal. Kebijakan pembersihan anasir-anasir Perbum sering kali tidak berjalan dengan proses peradilan yang jujur dan adil. Banyak buruh-buruh minyak dituduh sebagai anggota Perbum hanya karena pernah bersosialisasi dengan pengurus PERBUM tanpa pernah terlibat dalam aksi-aksi yang dilancarkan oleh Perbum. Namun mereka tetap saja mendapatkan hukuman selayaknya pengurus Perbum (Wawancara dengan S, tahun 2011).
Dengan aksi-aksi boikot, Perbum menuntut pemerintah segera mengambil alih perusahaan minyak asing seperti Shell. Aksi-aksi itu juga membuat kinerja produksi minyak Shell menurun. Walau Shell terus menerus mengalami kerugian di Indonesia, secara finansial Shell tetap aman karena induk perusahaannya merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia. G30S serta situasi politik yang tidak menentu di Indonesia akhirnya membuat Shell terpaksa menghentikan kegiatannya di Indonesia dan menjual aset-asetnya demi menghindari kerugian yang terus menerus.
Tiga bulan setelah G30S tepatnya pada tanggal 31 Desember 1965, akhirnya dilakukan penandatanganan penjualan dan serta serah terima aset-aset Shell Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia. Shell Indonesia menunjuk Van Reeven sebagai delegasinya, sementara dari pihak Pemerintah Indonesia diwakili Ibnu Sutowo. Prosesi serah terima tersebut menandakan berakhirnya operasi Shell di Indonesia yang sudah beroperasi lebih dari enam dekade (Kompas, 31 Desember 1965). Sebelum menyaksikan keberhasilan perjuangan nasionalisasi, Perbum keburu bubar.
Penulis : AR Pratama, Staf Pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Jember
Editor : Dachlan Bekti