Membeku adalah respons pertama saya saat membaca surat pemberitahuan di grup WhatsApp Program Studi (18/9). Jantung saya berdetak lebih cepat dan dahi saya berkerut ketika mengeja diksi-diksi yang tertera pada surat pemberitahuan yang menyebutkan “dipinjamkan”, “wajib mengembalikan”, dan “dikenakan denda”.
Setelah saya baca ulang pemberitahuan tersebut secara hati-hati, rupanya semua diksi tersebut merupakan keterangan untuk menekankan bahwa toga wisuda, topi wisuda, dan slayer wisuda hanya dipinjamkan kampus kepada mahasiwa.
Semua keterangan tersebut memantik tanya di benak saya, “Kenapa toga wisuda, topi wisuda, dan slayer wisuda hanya dipinjamkan kampus kepada mahasiswa?”
Sontak, saya teringat dengan percakapan kawan-kawan yang telah wisuda pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka bilang, toga wisuda mereka gratis. Bahkan masih ada di lemari-lemari baju mereka; menjadi suatu kenang-kenangan bahwa dirinya pernah mengemban pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Mengingat cerita mereka, dan membandingkannya dengan pengalaman yang saya hadapi rupanya membuat saya murung.
Saya kembali bertanya-tanya dengan lebih panjang kali ini. “Kenapa pada tahun ini, toga wisuda dll sifatnya hanya dipinjamkan kepada mahasiswa? Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, kampus memberikan secara gratis sehingga mahasiswa bisa menyimpannya sebagai kenang-kenangan dan hak milik”.
Lagi-lagi, saya belum tahu pasti apa jawabannya. Sejak surat itu saya terima (11:35), tidak lama dari itu saya langsung bertanya kepada akun @unj_official melalui instastory instagram. Selang berapa menit, saya juga menghubungi @unj_official di twitter. Namun, memang belum ada jawabannya sampai saat ini (12.33).
Sambil menunggu jawaban pihak kampus, saya menuliskan kegelisahan saya.
Perampasan Hak Mahasiswa
Jujur saja. Saya pikir ini adalah bentuk perampasan hak mahasiswa atas perlengkapan wisudanya, yang dilakukan secara halus tentunya. Pikiran ini sebenarnya telah muncul sejak beberapa waktu lalu saat mengisi laman pemberkasan wisuda pada SIAKAD (4/9). Dalam laman tersebut, mahasiswa diminta mencantumkan nomor rekening agar kelak bisa melakukan deposit atas perlengkapan wisudanya.
Saya lihat di beberapa platform media sosial, banyak mahasiswa yang protes dengan rencana kampus ini. Lalu, kampus membatalkannya pada pukul 15.00 WIB di hari yang sama. Pikirku, ini sudah selesai. Namun, nyatanya kampus tidak mengurungkan niatnya untuk merampas hak mahasiswa atas perlengkapan wisudanya. Kampus hanya mengganti strategi saja. Mulanya menggunakan sistem deposit, lalu diganti menjadi sistem denda.
Saya pikir, kampus cerdik dalam mencari celah. Kenapa? Karena sangat mungkin, di antara ribuan mahasiswa UNJ yang diwisuda itu, entah puluhan atau ratusan mahasiswa akan ada yang perlengkapan wisudanya rusak atau bahkan hilang. Pun ada juga mahasiswa yang merasa ingin memiliki perlengkapan wisuda tersebut, sehingga terpaksa membayar Rp550.000,- demi memiliki kenang-kenangan masa kuliah, layaknya teman-teman lulusan UNJ yang wisuda lebih dulu.
Pada akhirnya, mahasiswa menengah ke bawah–seperti saya–mungkin hanya bisa merelakan perlengkapan wisudanya dikembalikan ke kampus, tanpa memiliki kenang-kenangan toga, jubah, dan slayer wisuda yang bisa kami banggakan. Sebab Rp550.000,- bukan nominal yang sedikit, khususnya buat saya dan keluarga. Pun, uang dengan nominal tersebut dapat saya gunakan untuk kebutuhan primer kami di rumah.
Sebenarnya, saya pun memiliki kekhawatiran lain terkait toga wisuda yang pada tahun ini sifatnya hanya dipinjamkan. Asumsi saya, bisa saja tahun ini hanyalah permulaan. Entah melalui sistem deposit ataupun sistem denda. Lalu, karena melihat sistem deposit/denda ini cukup efektif dalam menyumbang dana untuk kampus tanpa ada potensi resiko besar (dan mahasiswa tidak ada pergerakan untuk menolak secara besar-besaran), maka bisa saja kampus menerapkan pembayaran secara penuh atas perlengkapan wisuda pada beberapa tahun ke depan.
Tidak ada jaminan bahwa kampus ke depannya tidak akan menginstruksikan bahwa mahasiswa wajib membeli perlengkapan wisudanya, kan?
Strategi Individu Bukan Solusi Utama
Saat ini, saya masih menunggu jawaban pihak kampus sambil memikirkan cara lain agar kampus mengakomodasi kegelisahan saya, dan bagaimana strategi saya apabila kegelisahan saya sebagai mahasiswa tidak diakomodasi oleh kampus.
Dalam percakapan yang beredar di antara kawan-kawan saya, beberapa menyarankan untuk meminjam perlengkapan wisuda kawan-kawan yang telah lulus. Namun, ini tidak bisa dijadikan solusi, sebab terdapat informasi yang diterima kawan saya dari BAKHUM, yang menyatakan bahwa mahasiswa dilarang meminjam toga/jubah/slayer lulusan tahun lalu sebab terdapat perbedaan desain antara toga wisuda tahun ini dengan tahun sebelumnya. Sungguh terlaloe~
Jika yang terjadi nantinya adalah kampus tidak mengakomodasi kegelisahan saya, terdapat salah satu hal yang terbesit untuk menyiasati perlengkapan wisuda kalau-kalau nanti dianggap rusak. Mungkin saya bisa membuat “video unboxing” di waktu yang sama saat baru saja menerima toga, dll.
Mengingat, testimoni dari beberapa mahasiswa UNJ di tahun-tahun sebelumnya, bahwa kualitas bahan toga, jubah, dan slayer wisuda itu cukup buruk, sehingga bisa saja mudah rusak. Akan menjadi hal yang menyulitkan saya nantinya, kalau nanti saya harus dibebankan lagi oleh denda yang tak murah. (Ya, semoga saja kualitas toga, slayer, dan jubah wisuda pada tahun ini pun lebih baik).
Intinya perasaan saya sekarang mirip-mirip dengan lirik lagunya Nadin Amizah “Bukan apa, hanya bersiap. Tak ada yang tahu, aku takut”. Begitu.
Di sisi lain, saya sangat menyadari bahwa strategi ini jauh dari solutif, karena persoalan toga bukan persoalan individu semata, melainkan persoalan struktural. Yakni berakar dari kebijakan kampus, sang pemegang otoritas. Maka dari itu, tidak bisa jika hanya mengandalkan solusi masing-masing individu, alias tidak akan menyentuh akar masalahnya.
Hanya kampus yang dapat menghapus atau membuat suatu kebijakan, maka kampus menjadi aktor kunci untuk menyelesaikan persoalan toga secara adil (atau tidak).
Jadi bagaimana? Akan dihapus kan kebijakannya, Pak? Bu? Hohoho..
Annisa Nurul H.S (Mahasiswi yang mudah-mudahan bisa ikut wisuda tahun ini.)