Trimurti.id, Malang– Dua minggu lagi, tepat setahun Tragedi Kanjuruhan terjadi. Peristiwa yang menewaskan ratusan orang tersebut, bukan hanya tragedi sepakbola Indonesia saja, melainkan juga tragedi bangsa Indonesia. Hilangnya ratusan nyawa dalam pertandingan sepak bola akibat tembakan Gas Air Mata di Stadion Kanjuruhan, bukan hanya berarti kehilangan ratusan suporter sepakbola, melainkan juga kehilangan ratusan anak-anak bangsa yang masih memiliki masa depan.
1 Oktober 2022 adalah hari yang mengukir sejarah dan menjadi catatan kelam bagi wajah sepak bola Indonesia dan Hak Asasi Manusia. Sejak peristiwa berdarah tersebut, sepak bola Indonesia tidak pernah lagi sama. Baik di mata para keluarga korban, pula di mata masyarakat. Pencapaian atas kejuaraan, gelar, maupun predikat terbaik apapun tidaklah sebanding dan tidak akan mampu menggantikan jumlah ratusan korban atas bobroknya institusi sepak bola nasional. Laga 90 menit tidaklah pantas apabila dijalankan di atas tumpukan nisan para korban yang tewas tanpa adanya keadilan.
Kurangnya pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait, baik induk sepak bola nasional yakni PSSI, operator liga, aparat kepolisian, hingga jajaran direksi klub bahkan Aremania, seolah menunjukkan pada kami kelola bahwa sepak bola indonesia tidaklah dibangun atas rasa keamanan dan keselamatan bersama, melainkan atas keuntungan dan kepentingan pribadi. Terbukti, seluruh otoritas terkait seharusnya bertanggung jawab atas meninggalnya para korban hingga detik ini belum mendapatkan proses hukum yang tegas dan setimpal. Liga tetap berjalan, klub yang bersalah tetap bermain, federasi acuh terhadap regulasi, menguatnya Impunitas dan para korban tetap tanpa keadilan.
Langkah hukum yang ditempuh keluarga korban melalui Laporan Model B di Polres Kabupaten Malang sebagai harapan dalam mencari keadilan atas Tragedi Kanjuruhan, harus mengalami proses penyelidikan yang berlarut-larut hingga akhirnya dihentikan dengan alasan tidak memenuhi unsur. Vonis Mahkamah Agung terhadap anggota polisi yang dibebaskan dalam peradilan Laporan Model A juga belum memenuhi rasa keadilan keluarga korban. Hal ini karena dakwaan yang disangkakan kepada terdakwa polisi tersebut adalah pasal tentang kealpaan (359 & 360 KUHP) yang mana, jelas tidak sesuai dengan fakta sebenarnya di lapangan.
Selain itu, keluarga korban yang masih mencari keadilan dihadapkan pada represifitas aparat gabungan TNI/Polri saat ingin menjumpai Presiden RI, Joko Widodo di Pasar Bululawang 24 Juli 2023 silam. Hal ini memantik trauma kami sebagai keluarga korban yang kehilangan putra-putrinya akibat represifitas aparat. Negara, lagi-lagi belum juga mengubah perilakunya kepada masyarakat yang berupaya menyuarakan aspirasinya.
Negara melihat Tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa semacam bencana alam atau kecelakaan, yang mana, hal tersebut justru menghilangkan aspek dan fakta hukum sebenarnya yang terdapat dalam Tragedi Kanjuruhan. Sebagai contohnya, Pemerintah Pusat dan Kementerian PUPR mencanangkan proyek renovasi Stadion Kanjuruhan. Yang mana, stadion tersebut merupakan tempat kejadian perkara dan mengandung banyak fakta hukum. Seolah-olah penyebab utama meninggalnya putra-putri kami adalah minimnya infrastruktur yang memadai dan mengesampingkan fakta adanya kesalahan regulasi serta kelola keamanan pertandingan sepak bola di tingkat kekuasaan yang lebih tinggi. Penembakan Gas Air Mata bukanlah bencana, melainkan tindak pidana.
Luka, trauma, hingga kematian penonton dalam pertandingan sepak bola akibat perlakuan aparat keamanan bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pada faktanya, peristiwa tewasnya 135 nyawa di Stadion Kanjuruhan adalah puncak dari akumulasi kekerasan aparat keamanan dalam pertandingan sepak bola yang tidak mendapatkan proses penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Buntut absennya penegakan hukum ini nampak pada tanggal 17 Februari 2023, saat aparat keamanan masih tetap membawa dan menggunakan Gas Air Mata dalam pertandingan PSIS Semarang vs PERSIS Solo–tepat sehari setelah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dilaksanakan.
Apabila tidak dilakukan perubahan dan perbaikan regulasi terkait keselamatan dan keamanan pertandingan sepak bola serta tidak pernah diadakan proses penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap para pelaku, maka peristiwa kekerasan yang sama akan terjadi di tempat lain, yang dimana akan menewaskan anak bangsa lainnya. Penggunaan Gas Air Mata tanpa pertanggungjawaban oleh aparat kepolisian belakangan di sejumlah tempat; Stadion Jatidiri Semarang, Dago Elos Bandung, Rempang-Galang Batam, telah menunjukkan batas maksimal dimana Presiden selaku pemegang otoritas tertinggi harus mengambil langkah tegas.
Oleh karena itu, kami, Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK) bersama dengan Tim Hukum TATAK, Sekber Aremania Menggugat, LBH Malang, LBH Surabaya, KontraS, LPBH-NU Kota Malang, dan seluruh pihak yang bersolidaritas, menyatakan sikap sebagai berikut:
- Hentikan Renovasi atau perombakan Stadion Kanjuruhan.
- Menuntut Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Republik Indonesia (Kompolnas) untuk melakukan peninjauan kembali terkait penggunaan dan efek Gas Air Mata sebagai alat pengendali massa, termasuk dalam pertandingan sepak bola.
- Menuntut dilakukannya proses pengawalan dan komitmen serius dari PSSI selaku induk federasi sepak bola nasional, terhadap penegakan hukum Tragedi Kanjuruhan.
- Menuntut diadakannya perubahan dan perbaikan dalam pengelolaan sepak bola nasional, terutama dalam bidang keselamatan dan keamanan terkait keterlibatan personil aparat keamanan dan penggunaan Gas Air Mata dalam pengamanan pertandingan sepak bola. Agar tragedi kemanusiaan yang sama tak terulang kembali di lain hari.
- Menuntut induk federasi sepak bola nasional, PSSI, untuk menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari duka sepak bola nasional dengan ditiadakannya jadwal pertandingan sepak bola pada tanggal tersebut, baik di liga profesional hingga amatir, untuk mengingat, mengenang, dan menghargai para korban Tragedi Kanjuruhan.
JSKK (Jaringan Solidaritas Korban Kanjuruhan) bersama Tim Hukum TATAK, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – LBH Pos Malang, KontraS, LPBH NU Kota Malang dan seluruh pihak yang bersolidaritas terhadap korban Tragedi Kanjuruhan.