Hubungan antara sepak bola dan buruh memang tidak bisa dilepaskan satu sama lain, mereka saling berhubungan erat. Bukan hanya tentang hubungan sejarah sepak bola, beberapa klub nyatanya turut dibesarkan oleh para buruh yang memiliki basis pendukung dari kelas pekerja merupakan embrio dari serikat buruh, seperti di Eropa. Sebut saja klub Union Berlin yang didirikan oleh persatuan pekerja (FDGB) di distrik Koepenick, Jerman Timur. Pada pendiriannya saat itu, mereka menjadi platform kelas pekerja untuk menyuarakan hak dan pandangan politiknya. Begitu juga di Eropa Selatan, Amerika Selatan, dan Afrika, sepak bola biasanya masuk dan populer lewat kaum buruh di pelabuhan-pelabuhan. Beberapa arsip dan artikel yang saya temui, Indonesia memiliki cerita yang berbeda, sepak bola yang dimainkan oleh kaum pribumi justru dipopulerkan oleh anak-anak sekolahan.
Di Indonesia sendiri tidak terlalu banyak arsip yang bisa dibaca mengenai ‘sepak bola dan buruh’, namun ada satu buku yang bisa dibaca dan menjadi referensi melihat sepak bola dalam sisi yang lain. Buku yang berjudul “Simulakra Sepakbola” yang ditulis oleh Zen RS, kita bisa membaca sepak bola, sejarah, sekaligus kehidupan politik.
Sepak bola adalah olahraga yang paling digandrungi di manapun. Dari anak-anak sampai orang Dewasa, dinikmati semua kalangan. Semua bisa terlibat di dalamnya tanpa mengenal gender, entah menjadi pemain atau menjadi penonton. Setiap orang pastinya memiliki sejarahnya masing-masing dengan olahraga satu ini.
Ruang pertemuan untuk melepas lelah
Satu bulan yang lalu, seorang teman mengundang saya melalui Whatsapp untuk hadir ke pertandingan yang diadakan di desanya. Tanpa panjang lebar, saya sanggupi langsung. Selain ingin melihat seorang teman bertanding dengan tim kesebelasan di kampungnya, alasan saya berikutnya adalah karena ingin merasakan kembali atmosfer melihat pertandingan sepak bola antar kampung.
Pertandingan-pertandingan antar kampung ini biasanya dihadiri oleh ibu-ibu, anak-anak, hingga lansia. Tidak tertinggal penjual jajanan yang membuka stand dadakan di belakang gawang atau mangkal tidak jauh dari garis lapangan. Benar saja, ketika saya datang, saya menemukan hal yang saya dapat beberapa puluh tahun lalu ketika masih kecil. Anak-anak bermain dengan asyik di pinggir lapangan tidak peduli dengan hasil pertandingan, ibu-ibu menonton sambil menyuapi anaknya, bapak-bapak sedang fokus menjadi komentator untuk tim kesebelasannya, dan kadang mendadak menjadi pelatih untuk mengatur pemain yang sedang bertanding.
Situasi dan pengalaman semacam itu mungkin akan sulit ditemui hari ini. Karena di beberapa tempat, lapangan sepak bola kampung semakin hari semakin sulit ditemukan keberadaannya. Terlebih di kota-kota besar seperti JABODETABEK, lapangan-lapangan berubah wujud jadi kavling perumahan, perkantoran, atau pabrik-pabrik. Lapangan sepak bola yang tadinya bisa dipakai setiap hari, untuk bermain bola tarkam (antar kampung -red), atau pertandingan antara tongkrongan, kini terancam hilang. Bisa jadi semua itu tinggal cerita, kita hanya bisa menemukan relevansi hilangnya ruang untuk bermain bola pada lagu-lagu seperti band Silampukau pada liriknya “Tanah lapang kami berganti gedung”, yang berjudul Bola Raya atau lagu Iwan fals “Tiang gawang puing-puing, Sisa bangunan yang tergusur” potongan lirik dari judul lagu Mereka Ada Dijalanan dan Bola Raya.
Kita tidak hanya merasakan kehilangan lapangan dalam bentuk fisik, tapi kita juga kehilangan aktivitas harian yang pelan-pelan mengikis memori kita. Dan ruang tersebut berganti menjadi sesuatu yang baru.
***
Sepanjang pertandingan saya tidak terlalu memperhatikan jalannya permainan akibat terbawa suasana yang membawa saya nostalgia pada masa kecil. Pertandingan tersebut pun berakhir dengan kemenangan tim lawan. Penonton dan penjual jajanan berangsur meninggalkan lapangan, sementara saya menghampiri teman yang masih berkumpul dengan temannya. Ada yang terlihat masih kesal karena tim nya mengalami kekalahan, ada yang merebahkan badan saja di tanah untuk melepas lelah. Ada juga yang masih menertawakan kejadian saat pertandingan berlangsung karena permainannya tidak maksimal. Saya hanya menertawai seorang teman yang mengalami kekalahan.
Saya pun ikut nimbrung dalam lingkaran timnya yang baru saja mengalami kekalahan telak, 3-0 tanpa balas. Menurut Valdo, wajar saja timnya mengalami kekalahan karena jarang berlatih serius.
“Wajarlah nafas kuli semua, ada buat lari tidak ada buat nendang”, ujar Valdo.
“Kegiatan kami bermain bola antar kampung diadakan hanya satu bulan sekali, dan satu minggu sekali untuk bermain biasa. Sekedar latihan, dan itupun kadang tidak full tim pemain karena tergantung jadwal libur kerja masing-masing pemain”, salah seorang teman Valdo menimpali.
Dari obrolan itu, saya tahu semua pemain yang ada di kesebelasannya bekerja pada hari-hari biasa. Ada yang menjadi buruh pabrik, ada yang menjadi buruh ritel, buruh formal sampai informal. Mereka menyisihkan waktu untuk bermain bola pada seminggu sekali atau satu bulan sekali. Bermain bola menjadi ruang bertemu mereka untuk melampiaskan hobi dan sekaligus berolahraga setelah sibuk bekerja.
Biasanya setelah bermain bola mereka tidak langsung pulang. Mereka berkumpul terlebih dahulu sambil menunggu adzan maghrib yang menjadi penanda untuk pulang. Dalam perbincangan itu, mereka membicarakan banyak hal. Bukan hanya membicarakan teknik permainan, kekalahan, atau kemenangan, tapi juga membicarakan perihal di luar konteks permainan bola itu sendiri. Ada yang saling bertukar kabar karena mungkin sudah lama tidak bertemu, ada juga yang membicarakan pemilihan presiden. Bahkan saya mendengar ada yang meminta diajak bekerja pada seorang temannya. Latar belakang yang beragam ini bisa menyatu dan bermain dalam satu tim.
“Bermain bola, selain hobi, karena bosan juga kerja terus. Di sini kan selain dapet olahraganya dapet juga guyonan kayak begininya setelah bermain”, ujar seorang pemain yang berbincang dengan saya sembari bergegas meninggalkan lapangan.
Rebut kembali bola
Namun hari-hari ini, sepak bola sangat mudah dikooptasi oleh modal yang besar dan dijadikan industri. Dalam hal ini, sepak bola bukan lagi olahraga rakyat, namun hanya sebatas kepentingan bisnis, yang mungkin tidak semua orang bisa menikmatinya.
Industri sepak bola hari ini hanya dijalankan untuk keuntungan para pemodal saja. Sebagai contoh kecil, untuk melihat klub-klub kesayangan di kota masing-masing saja, kita harus menguras isi saku untuk membeli tiket yang semakin mahal. Belum lagi harga sewa lapangan sepak bola yang tidak murah. Untuk bermain 5 jam saja kita harus mengeluarkan jutaan rupiah.
Beberapa teman yang bekerja di pabrik, seperti Valdo, untuk menonton sekali pertandingan di stadion saja ia harus mengirit pengeluaran untuk makan setelah menonton tim kesayangannya. Itu juga menjadi alasan ia jarang datang ke stadion. Ia lebih banyak menonton di TV dan bermain bola di kampung bersama timnya, yang kini sedang was-was karena tanah lapangannya akan dijual oleh pemilik lapangan di kampungnya.
Sepak bola yang menjadi industri, bukan lagi ruang untuk berkumpulnya para kelas pekerja. Sepak bola berubah menjadi tontonan yang ekslusif di kursi-kursi VIP dan jaringan televisi. Para fans sulit untuk menyuarakan permasalahan yang ada di klub atau sekadar memberi masukan kepada klub. Pada akhirnya, klub hanya melihat fans sebagai pelanggan dan pasar pecinta sepak bola saja. Kita bisa melihat konteks sepak bola yang lebih besar dalam gambaran kecil seperti itu.
Nampaknya sepak bola hari ini tidak hanya dimanfaatkan oleh para pemodal yang berinvestasi di industri lapangan hijau tersebut untuk mengakumulasi keuntungannya, namun dimanfaatkan juga oleh pemerintah untuk dijadikan alat penundukan. Ketika buruh akan melakukan aksi setiap Hari Buruh (1 Mei), selalu ada liga-liga yang diadakan oleh perusahaan atau instansi negara agar buruh tidak melakukan aksi ke jalan.
Pada tahun 2018 sebanyak 544 klub bola yang berasal dari kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan perusahaan akan memperebutkan Piala Presiden Joko Widodo. Piala bergilir ini akan diperebutkan dalam kompetisi Liga Pekerja Indonesia (LPI) yang merupakan rangkaian kegiatan Hari Buruh 2018. Kurang lebih di gelar 34 provinsi. Liga ini digagas oleh M. Hanif Dhakiri, yang saat itu masih menjabat Menteri Ketenagakerjaan (Menaker).
“Diharapkan melalui berbagai kegiatan positif seperti LPI, buruh tidak hanya berdemo saat memperingati Hari Buruh Internasional. Untuk itu, Kemnaker mendukung berbagai kegiatan positif yang dilakukan untuk merayakan Hari Buruh, baik sebelum dan setelah Hari Buruh,” ujar Hanif Dhakiri saat diwawancarai oleh awak media.
Walaupun di sisi yang lain, masih banyak serikat yang memperdebatkan dan tetap melakukan aksi di jalanan saat itu.
Jika Hanif Dhakiri memiliki LPI, Ida Fauziah memiliki Liga Futsal Pekerja yang beberapa tahun terakhir diadakan. Yang terbaru pada Hari Buruh di Jakarta, kick off pertandingan dibuka langsung olehnya. Sayangnya masih banyak serikat yang ikut dalam liga-liga yang diadakan oleh perusahaan maupun pemerintah yang tujuan politiknya kita sudah sama-sama ketahui.
Bukan tidak mungkin buruh dan serikat membuat liga yang dilakukan mandiri dan memang benar-benar untuk menggalang solidaritas yang sesungguhnya. Menjadikan liga tersebut sebagai platform perjuangan bersama.
Hal ini bisa dilakukan karena beberapa tahun terakhir pun mulai muncul berbagai klub sepak bola alternatif di Indonesia yang dibentuk oleh kolektif-kolektif kecil. Mereka hendak menjadikan ruang alternatif tersebut untuk menjalankan ide dan gagasan yang mereka punya. Hal tersebut sekaligus menjadi antitesis sepak bola yang telah di industrialisasi atas kekecewaan mereka pada industri sepak bola yang ada di Indonesia.
Beberapa tim sepak bola alternatif ini pun berhasil menggagas pertandingan sepak bola kolektif pada 1 Mei 2023. Mungkin ini pertama bagi klub-klub akar rumput. Kendati dilaksanakan bertepatan pada hari aksi Hari Buruh di jalanan. Namun ini bisa menjadi langkah bersama menjadi ruang alternatif merebut bola itu kembali. Menggiring bolanya kembali untuk menuju politik jalanan bersama. Seperti yang dilakukan oleh Tribun Kultur FC saat Hari Buruh 2023. Mereka ikut aksi ke jalan bersama-sama serikat buruh lalu bermain bola di jalanan.
Peluit akhir
Sepak bola selain menjadi platform perjuangan bersama, bisa juga menjadi media pengorganisasian untuk anak-anak muda yang memiliki hobi bermain bola atau menonton bola. Seperti yang dijelaskan oleh seorang kawan yang sedang mengembangkan tim sepak bola di serikat pekerjanya, di salah satu perusahaan pembuat sepatu di Jawa Barat. Ia bersama teman-teman yang lainnya, menjadikan sepakbola menjadi ruang-ruang bertemu dan berjuang bersama. Walaupun ia tidak pernah memakai sepatu yang diproduksinya untuk dipakai berlaga di lapangan seperti Messi atau Cristiano Ronaldo.
Mengikuti turnamen antara klub atau hanya sekedar sparing dengan klub lain mereka lakukan. Jika pun memenangkan hadiah turnamen, semua hadiahnya diberikan kepada pemain, yang mana pemainnya adalah anggota serikat itu sendiri.
“Bukan cuma kita bermain bola ‘tok, tapi ‘gimana kita bisa menjalankan hobi tapi tidak lupa terus mengkritik perusahaan yang suka membuat peraturan yang merugikan”, ujarnya.
**
Penulis: Lukman Ainul Hakim
Editor: Dedi Muis
Catatan:
Liga Pekerja Indonesia Diikuti 544 Klub Sepakbola. Tersedia: https://www.liputan6.com/news/read/3250367/liga-pekerja-indonesia-diikuti-544-klub-sepak-bola diakses pada tanggal 10 Maret 2024
Menaker Resmikan Liga Futsal Pekerja sambut peringatan May Day 2023. Tersedia: https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/3472437/menaker-resmikan-liga-futsal-pekerja-sambut-peringatan-may-day-2023 diakses pada tanggal 10 Maret 2024