Categories
Orasi

Renungan Ramadhan: Cuci Dosa ala H&M

“H&M Group ingin melakukan yang terbaik untuk berkontribusi pada perubahan sistemik dan positif dalam industri dan oleh karena itu telah menandatangani perjanjian untuk bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk mengatasi, mencegah, dan memperbaiki kekerasan berbasis gender dan pelecehan seksual.” 

Trimurti.id, Bandung – Begitulah pernyataan H&M usai brand besar dan perusahaan pemasoknya, Eastman Export, India, menandatangani perjanjian untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, pada awal April 2022 lalu. 

Hal yang perlu dicatat, perjanjian ini terbit berbulan-bulan sesudah pengusutan kasus Jeyasre Kathiravel, buruh perempuan di pabrik pemasok H&M yang diperkosa dan dibunuh oleh supervisornya pada Januari 2021. Setelah kematian Jeyasre, alih-alih membereskan kasusnya, pihak perusahaan justru mengerahkan tukang pukul yang menggeruduk rumah keluarga korban. Untuk memaksa keluarga korban menandatangani kesepakatan damai dan melupakan kasus pembunuhan tersebut. 

Boleh dikatakan, perjanjian yang ditandatangani H&M adalah upaya cuci dosa dari kejadian kekerasan seksual yang marak terjadi di pabrik-pabrik pemasoknya. H&M seharusnya bertindak lebih maju lagi untuk mencuci dosanya, dengan membereskan berbagai persoalan yang timbul di pabrik-pabrik pemasoknya. Sebagaimana diketahui, puluhan pabrik di Indonesia juga memproduksi barang-barang untuk H&M. Masih segar dalam ingatan, semasa pandemi beberapa pabrik pemasok brand besar ramai-ramai menyunat hak buruh. Dengan dalih No Work No Pay mereka merumahkan buruh; memotong upah, mengemplang atau menyicil Tunjangan Hari Raya (THR), mengubah status kerja menjadi buruh harian lepas, hingga memecat buruh. Selama masa yang sulit itu pun pabrik-pabrik tak menghentikan produksi, membiarkan buruh tetap masuk kerja, dan menantang maut di tengah pandemi. Silahkan tengok nasib para buruh PT. Master Wovenindo, di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Sudah dua tahun buruh-buruh ini terlantar sejak pabrik tutup dan majikan kabur begitu saja dari tanggung jawab. Mereka sudah bekerja belasan tahun, memproduksi label H&M (memenuhi pesanan dari PT. Kahatex Cijerah, Majalaya, dan PT. Citra Abadi Sejati). 

Buruh sering juga ragu untuk menagih tanggung jawab brand. Pertanyaan yang sering muncul adalah: “Kan saya kerja di PT Anu, memangnya saya berhak yah meminta tanggung jawab brand?” Lebih parah lagi, buruh sering tidak terlalu memperhatikan dan tidak menyadari bahwa dia bekerja di dalam suatu jalinan rantai-pasok global industri sandang. Ketidakpahaman itu pula yang membuat brand dan pemasok terlalu mudah untuk kabur dari tanggung jawabnya. 

Sedikit menarik ke peristiwa penting sebelumnya, pada 2010 H&M sendiri pernah menerbitkan Code of Conduct; semacam pedoman perilaku untuk menjalankan bisnisnya. Pedoman ini dijejali dengan aturan, konvensi, dan rekomendasi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang upah layak, kondisi kerja layak, kepastian kerja, kebebasan berserikat, dan bebas dari kekerasan berbasiskan gender. Dapat dipastikan sedikit sekali buruh-buruh yang tahu-menahu soal itu. Paling banter, pedoman itu hanya menjadi semacam piagam penghargaan yang tertempel di dinding pabrik. Yap, sudah hampir 10 tahun semenjak piagam tersebut terbit, para buruh tetap saja tidak merasakan dampak yang menguntungkan mereka. Piagam tersebut tidak mampu mencegah pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Jeyasre. 

Rupanya piagam itu memang tidak dimaksudkan untuk melindungi hak-hak buruh, melainkan hanya modal dagangan belaka. Hanya untuk menampilkan citra sebagai perusahaan yang ramah terhadap hak-hak perburuhan. Tidak ada bedanya dengan iklan murahan brand-brand besar yang berlagak menentang rasisme, mendukung sustainable fashion, membela kesetaraan gender, dan seterusnya. Iklan itu hanya untuk membuai konsumen agar –tanpa rasa bersalah- tetap membeli produk dan dengan bangga mengenakannya. 

Perlu diingat pula, kesediaan H&M untuk mencegah kekerasan berbasis gender bukanlah hadiah yang didasarkan pada kepedulian dan belas kasihan. Perjanjian itu ditandatangani sesudah tekanan bertubi-tubi, ditambah rangkaian solidaritas serikat buruh dari berbagai negara. Untuk menekan H&M, aksi solidaritas untuk Jeyasre berlangsung serentak pada 21 April 2021 di India, Inggris, Indonesia, dan berbagai negara lainnya. Di tengah hingar-bingar pusat perbelanjaan London yang gemerlap, hingga di Kawasan Berikat Nusantara Cakung yang apek dan kumal, terbentang poster yang menuntut keadilan untuk Jeyasre. Di tengah pandemi yang masih berkecamuk, tagar #justiceforjeyasre merebak di platform media sosial. 

Terakhir, janji H&M untuk menghentikan kekerasan seksual di tempat kerja ditandatangani pada saat bulan Ramadhan. Dalam beberapa minggu ke depan kita mungkin akan kembali menyaksikan drama tahunan pencicilan THR, pemecatan sepihak oleh perusahaan, dan upah tidak layak. Sementara, bulan puasa tahun ini harus dilalui pula dengan harga minyak goreng yang melambung, kenaikan harga BBM, diikuti kenaikan bahan pokok lainnya. Teruntuk para buruh yang masih khusyuk menjalankan ibadah puasa di tahun ini, dan masih berjuang menuntut hak-haknya, “Marilah Menuju Kemenangan”

Penulis: Reza Rumakat

Editor: Rokky Rivandy, Rinaldi Fitra Riandi