Categories
Orasi

Politik Pengatasnamaan Buruh

Kurang lebih lima jam setelah peristiwa penggebukan massa aksi berpakaian hitam di Bandung Jawa Barat, KSP Moeldoko memerintahkan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Idham Azis dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendalami keberadaan dan otak di balik ‘kelompok hitam’ .

Sementara aparat keamanan memberikan peringatan, lebih dari 600 anak muda sudah digasak. Mereka diseret, dipukul, ditendang, digunduli, badannya dicat dan peralatan pribadinya dirampas. Kesalahan mereka hanya satu: terlibat dalam peringatan Hari Buruh Sedunia dan bertekad meruntuhkan kapitalisme. Sementara negara menempuh jalan kekerasan dan serikat-serikat buruh cuci tangan.

***

Pukul 11.00 pagi, ratusan orang berpakaian kombinasi biru tua dan hitam, berjubel di pelataran Gedung Sate. Dua baris polisi wanita menjaga pagar Gedung Sate, berhadapan dengan tiga mobil komando. Di sekitar mobil komando, massa berserakan: ada yang berdiri membentangkan spanduk, mengacungkan poster, beberapa lainnya duduk di atas aspal dan yang lainnya mengelilingi pedagang. Di halaman Gasibu beberapa orang buruh berfoto ria. Barisan aksi massa yang tidak enak dipandang.

Orator memanggil-manggil massa yang tercerai-berai untuk berbaris dari mobil komando. Massa asyik dengan kelompoknya masing-masing. Seorang orator yang wajahnya tak asing meneriaki massa, “Perjuangan kita murni perjuangan pekerja. Jangan sampai ditunggangi oleh-oleh oknum tidak bertanggung jawab.” Kemudian ia berceramah tentang upah sektoral, tentang peraturan perundangan. Seolah tidak ada lagi persoalan di dunia ini kecuali tentang kenaikan upah minimum dan penegakan hukum.

Usut-punya-usut, lelaki setengah baya itu beberapa bulan ke belakang wajahnya terpampang di spanduk dan baligo di sudut-sudut Kota Bandung dan Bekasi. Ia mencalonkan diri dalam gelaran Pemilihan Legislator Daerah Pemilihan Jawa Barat. Informasi terakhir, ia tidak terpilih.

Lelaki itu mengerahkan ratusan buruh dari pabrik-pabrik di sekitar Jawa Barat. Nama organisasinya pernah populer ketika terlibat dalam pembakaran karangan bunga di Balai Kota DKI Jakarta, pada May Day 2017. Mereka marah karena karangan bunga yang memenuhi Balai Kota DKI Jakarta bukan ditujukan kepada Gubernur pilihannya.

Setelah berceramah tentang upah sektoral, ia pun memanggil orator lain dari organisasi buruh yang berbeda. Dua lelaki menaiki mobil komando dan gantian berorasi. Seperti lelaki sebelumnya, dua lelaki tersebut mewanti-wanti agar Hari Buruh Internasional tidak ditunggangi oleh ‘oknum-oknum’ yang tidak bertanggung jawab. “Karena 1 Mei merupakan hari kemenangan buruh dan murni perjuangan pekerja,” lantangnya.

Satu dari lelaki itu merasa marah karena mobilnya dicat-semprot. “Kita sudah mengumpulkan bukti dan akan melaporkan kepada kepolisian,” tantangnya.

Dua lelaki yang baru menaiki mobil komando itu pun wajahnya tidak asing. Nama dan wajahnya tidak sulit ditemukan di mesin pencari google. Per 2017, dua dari lelaki tersebut namanya tertulis jelas sebagai penandatangan upah padat karya.

Sebagai informasi, upah padat karya merupakan upah minimum dengan nilai lebih kecil dari upah minimum. Upah tersebut diberlakukan di Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor untuk industri padat karya pada 2017.

Jika upah minimum saja tidak dapat menutup kebutuhan layak buruh, apalagi upah padat karya. Tentu saja, upah padat karya bukanlah tuntutan buruh dan bertentangan dengan mekanisme dan peraturan upah minimum. Upah padat karya merupakan aspirasi para pengusaha.

Demonstrasi segera diakhiri dan akan ditutup di Monumen Perjuangan Rakyat Jabar. Sebelum bubar, muncul orator lain. “Kami akan menyampaikan tuntutan kawan-kawan kepada Gubernur Jabar. Tapi beliau bisa ditemui di Kantor Disnakertrans Jabar,” katanya, sembari berapi-api dan dengan dibalut kalimat yang tampak heroik.

Tampaknya para anggota serikat buruh lain tidak begitu memerhatikan. Sebenarnya, Pemda Jabar jauh-jauh hari telah merangkai acara Demo Creation of Labour dengan tema May Day is Creative Day di Kantor Disnakertrans Jabar pada waktu yang sama. Jadi, kedatangan para pemimpin serikat buruh merupakan kegiatan rutin tahunan: dalam rangka pesta pora 1 Mei.

Sejak ditetapkan sebagai hari libur, Pemda Jabar ikut sibuk merayakan 1 Mei. Membuat acara jalan santai, kerja bakti, konser musik dangdut, mancing mania, dan bagi-bagi doorprize. Beberapa pimpinan serikat buruh terlibat dalam acara-acara seremonial tersebut. Kegiatan demikian merata hampir di seluruh daerah.

Pada kesempatan lain, para pimpinan serikat buruh tersebut tidak sulit ditemukan namanya dalam ajang dukung-mendukung Pilpres, Pilgub dan Pilkada lainnya. Mereka membuat kontrak politik. Calon pemimpinnya terpilih dan kontrak politik diabaikan. Sudah biasa. Tahun berikutnya, langkah yang sama dipilih kembali. Semuanya atas nama buruh, atas nama anggota.

***

Di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, di Jalan Singaperbangsa, keadaan tidak karuan. Beberapa perempuan dan anak-anak berkumpul di mulut gang rumah penduduk. Pandangannya mencari-cari. Beberapa lelaki berkaos, celana jins dan sepatu hitam serta menenteng handy-talky berdiri gusar dan berkerumun di samping Sekolah Luar Biasa Asih Manunggal.

Tidak lama kemudian, dari arah yang tidak diketahui, dua lelaki menyeret seorang anak muda ke gerbang SLB. Lelaki lain mendekat dan melayangkan tonjokan tepat di muka anak muda itu. Anak muda itu menahan langkah dan menutupi wajahnya. Meringis kesakitan. Selang sepuluh menit, anak muda lainnya diseret, ditendang dan dimasukan ke SLB. Entah berapa yang sudah berada di dalam SLB dan entah apa yang terjadi.

Dari arah Monumen Perjuangan muncul barisan massa aksi berseragam merah mengikuti arah mobil komando. Mereka bernyanyi melewati SLB. Seolah tidak terjadi apapun.

Tak lama kemudian anak-anak muda dari SLB dikeluarkan. Disuruh berbaris. Jumlahnya sekitar lima puluh orang. Baju mereka sudah ditanggalkan dan punggungnya dicat-semprot. Mereka diperintahkan berjalan kaki menuju Monumen Perjuangan.

Di Monumen Perjuangan, mereka jongkok dan dilewati oleh barisan peserta aksi. “Tangkap saja mereka, Pak Polisi,” teriak sang orator yang baru tiba dari Gedung Sate.

Sebenarnya, anak-anak muda tersebut adalah massa aksi yang berencana untuk ikut bergabung dan bersolidaritas kepada Gerakan Rakyat Anti Kapitalisme (Gerak) yang berseragam merah. Massanya ratusan. Sebagian besar adalah anak-anak muda. Mereka berasal dari beragam latar belakang: buruh toko, buruh harian lepas, buruh konveksi, pelajar, dan sebagainya.

Pastinya, jenis-jenis buruh yang selalu diabaikan untuk diorganisasikan oleh serikat-serikat buruh tua.

Hari itu mereka akan melakukan pawai. Mereka akan mengampanyekan banyak hal: dari menolak penggusuran, perampasan tanah, pelecehan seksual, kebebasan berorganisasi hingga kenaikan upah, menolak buruh kontrak dan outsourcing. Pawai mereka tidak berlangsung lama. Aparat kepolisian lebih dahulu membubarkan paksa barisan massa.

Dari keterangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) diperoleh informasi mengenai penangkapan sewenang-wenang dan perendahan martabat kemanusiaan kepada peserta massa aksi.

Jumlah orang yang ditangkap mencapai 619 orang. Mereka terdiri dari 326 orang dewasa, 293 anak di bawah umur, 14 perempuan dan dua orang jurnalis. Mereka ditangkap di tempat berbeda. Saat ditangkap aparat kepolisian melakukan kekerasan verbal dan nonverbal: menghardik, memukul, menelanjangi, mengecat badan, mengguyur dengan lem, menyiram dengan air mineral dan merobek celana, menggunduli, dan menendang.

***

Sejak 1 Mei diresmikan sebagai hari libur nasional pada 2014 lalu, semua orang menikmati hasil tersebut. Konsekuensinya, jika perusahaan beroperasi pada hari tersebut, mereka wajib membayar upah lembur.

Di Indonesia, perjuangan menuntut 1 Mei sebagai hari libur nasional berlangsung sejak 2000. Sepanjang perjuangan itu, sebenarnya, terdapat beberapa serikat buruh yang yang tidak pernah bahkan menolak menjadikan 1 Mei sebagai libur nasional. Alasan yang mengemuka adalah, Indonesia sudah memiliki hari pekerja Indonesia, 20 Februari; dan 1 Mei merupakan hari libur orang-orang komunis.

Sejauh diketahui, organisasi-organisasi buruh yang menyebut ‘Hari Buruh Internasional sebagai murni perjuangan pekerja’ tidak tercatat pernah menuntut 1 Mei sebagai hari libur nasional.

Menjelang May Day, seperti tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah dipastikan mengundang dan menemui pimpinan-pimpinan serikat buruh. Di Jakarta, Presiden Joko Widodo bertemu dengan pimpinan-pimpinan konfederasi, pimpinan federasi dan konfederasi serikat buruh lainnya bertemu dengan Kapolda Metro Jaya. Di Jawa Barat pun para pimpinan serikat buruh bertemu Kapolda Jabar.

Tentu saja untuk membicarakan tentang persiapan peringatan hari buruh sedunia. Acaranya disebut dengan silaturahmi. Jika pengertian silaturahmi adalah mengikat tali persaudaraan atau kasih sayang, mungkin para pemimpin serikat buruh tersebut merasa bersaudara dan menyayangi aparatus negara. Aparat-aparat negara itulah yang setia menjaga modal dan merampas hak buruh.

Berdasarkan rutinitas dan politik pengatasnamaan buruh tersebut, saya bertanya pada diri sendiri: sebenarnya apa yang mereka maksud dengan ‘Hari Buruh Internasional sebagai murni perjuangan pekerja’, ‘Mengapa mereka selalu mengatakan bahwa 1 Mei sebagai kemenangan pekerja?’. Karena 1 Mei adalah hari solidaritas internasional, sebagai penghormatan terhadap para martir kelas pekerja yang menuntut pengurangan jam kerja, perubahan syarat-syarat kerja dan penghancuran sistem yang menindas.

Para pengkritik kapitalisme telah menjadikan 1 Mei 1886 sebagai peristiwa penting. Pada hari tersebut, ribuan buruh dibantai oleh aparat negara. Setelah peristiwa tersebut, ratusan pekerja ditangkap. Saat itu pun media massa menyebut para organisator pemogokan sebagai perusuh. Delapan orang organistor buruh ditangkap, empat diantaranya dihukum mati. Siapakah para pemogok? Mereka adalah kaum imigran dari Jerman dan Cekoslowakia. Mereka diorganisasikan oleh Knights of Labor, sebuah kelompok yang bertendesi Anarkis.

Kurang lebih lima hari sejak pemberangusan peserta May Day di Bandung, perdebatan fana nan tak berguna Cebong versus Kampret di media sosial terhenti. Keduanya sama-sama memaki dan mencibir keterlibatan anak-anak muda berpakaian hitam dengan sebutan; vandalis, perusuh, penyusup, dan perusak fasilitas umum. Mungkin sebagian dari mereka sedang menikmati dan mengisi libur 1 Mei untuk melupakan penindasan dengan memperbanyak menghujat sesama buruh.

Penulis: M. Ali Al-Qurni