Trimurti.id, Bandung – Acara perayaan May Day 2023 di Dome Bale Rame, Soreang, Kabupaten Bandung, ditutup pada 21 Mei 2023. Selain anggota dari enam belas serikat buruh di Kabupaten Bandung, acara itu juga dihadiri Bupati Bandung Dadang Supriatna dan pejabat pemerintah daerah. Dadang membagikan dana corporate social responsibility (CSR) dan memberikan pidato.
Dalam pidatonya, Dadang sempat menyinggung soal pungutan liar (pungli) yang terjadi dalam proses rekrutmen tenaga kerja di lingkungan perusahaan. Dadang mengatakan bahwa ia telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh perusahaan di Kabupaten Bandung, melarang pungli dalam proses rekrutmen.
Jika masih ada pungli dalam proses rekrutmen pekerja, Dadang menambahkan, laporkan ke Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) untuk segera diatasi.
**
Di Kabupaten Bandung, aktivitas pungli dalam proses rekrutmen pekerja mempunyai istilah tersendiri: Nyocok. Di daerah lain mungkin istilahnya lain lagi. Nyocok dikenal sebagai suatu praktik ketika seseorang (atau lebih) membayar sejumlah uang pelicin kepada calo agar dipermudah atau diterima bekerja di tempat kerja yang dituju.
Praktik nyocok tersebut entah dimulai sejak tahun kapan. Yang jelas, sudah menjadi semacam rahasia umum bagi para calon buruh yang ingin bekerja di pabrik yang ada di wilayah Bandung Raya.
Wujud calo dalam proses nyocok bisa bermacam-macam. Umumnya mereka adalah pejabat pemerintahan di wilayah tempat pabrik berada. Bisa berwujud pengurus rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), atau kepala desa. Bisa juga punggawa organisasi kemasyarakatan (ormas), pengurus serikat buruh, hingga aparatur sipil negara.
Kendati beraneka wujud, calo-calo itu punya beberapa kesamaan. Pertama, mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan di sebuah kawasan industri. Kedua, para calo ini menampilkan dirinya seolah-olah memperjuangkan kepentingan putra-putri daerah agar dapat bekerja di perusahaan yang membuka pabrik di wilayah mereka.
Nyocok pernah dilakukan oleh Bata (bukan nama sebenarnya) pada tahun 2022. Pemuda berusia 21 tahun itu ingin melamar ke sebuah perusahaan yang ada di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bata menceritakan, kepada kawan-kawannya ia pernah menanyakan pihak yang mesti dihubungi jika ingin bekerja di perusahaan tersebut. Mereka sontak menyebut bahwa sosok berinisial R adalah orang yang cocok dihubungi.
Singkat cerita, Bata dan R terhubung. Mereka mengatur janji temu, setelah R meminta Bata menyiapkan uang senilai Rp5 juta yang mesti dibawa saat mereka bertemu. Pertemuan berlangsung pada tanggal 5 Juli.
Satu bundel berkas lamaran dan uang tersebut diserahkan Bata kepada R. Dengan enteng, R mengatakan bahwa Bata bisa mulai kerja pada bulan depan.
Dalam pertemuan itu, Bata melihat ada dua orang yang seperti dirinya, hendak nyocok R demi mendapat pekerjaan serupa. Mereka terlihat masuk ke dalam pabrik untuk menyerahkan surat lamaran.
Di hadapan Bata, R menelepon seseorang yang diduga bekerja di urusan keamanan atau manajemen pabrik, “Kade, nya, eta nu duaan nu urang (Titip, ya, dua orang itu punya saya).”
Bata akhirnya tahu bahwa R telah “meluluskan” banyak pencari kerja. “Lulusan” R mafhum bahwa uang yang mereka serahkan, diteruskan R kepada seseorang berinisial A. Menurut Bata, A adalah sosok jelema anu boga kawasan (orang yang punya wilayah) di sekitar pabrik dan punya kedekatan dengan kepala desa setempat.
Usut punya usut, A adalah orang yang menemui manajemen pabrik untuk “menegosiasikan” nama-nama pekerja yang melamar melalui R. Para pelamar itu tidak ada yang bertemu langsung dengan A. Mereka hanya dapat berkontak dengan A melalui WhatsApp.
Buruh-buruh yang melamar pada bulan yang sama dengan Bata, seluruhnya membayarkan uang dengan nominal yang sama, Rp5 juta. Namun ada beberapa calon buruh yang dimintai lagi uang sebesar Rp500 ribu setelah menerima gaji kedua.
Jika tidak, R tidak akan mengupayakan negosiasi lanjutan dengan perusahaan dengan risiko mereka tidak naik status menjadi buruh tetap dan setelah tiga bulan akan diputus kontraknya.
Hari pertama bekerja, status Bata memang tidak langsung menjadi buruh tetap. Statusnya adalah buruh yang dalam masa percobaan selama tiga bulan. Ia tetap menerima upah sesuai standar upah minimum kabupaten (UMK) Bandung, Rp3,2 juta, tetapi tiga hari pertama Bata bekerja tidak dimasukkan dalam penghitungan upah sehingga gaji bulan pertamanya hanya sekitar Rp2,8 juta.
Setelah tiga bulan bekerja, sekitar bulan November 2022, Bata mendapat kabar bahwa ia dan para pekerja yang melamar berbarengan dengan Bata tidak akan menjadi buruh tetap dan akan diputus kontraknya. Sontak mereka langsung mendatangi R dan berusaha menghubungi A untuk menanyakan kejelasan nasib dan meminta pertanggungjawaban.
Akan tetapi, hingga tulisan ini dibuat, R dan A hanya mengatakan kepada Bata dan kawan-kawan untuk tetap sabar. Dua orang itu mengaku sedang memperjuangkan nasib mereka agar dapat kembali bekerja, tetapi belum memberi kejelasan apa pun.
Bata dan kawan-kawannya merasa kecewa. Mereka merasa sudah mengorbankan banyak hal agar dapat nyocok R dan A. Bata sendiri mengaku mendapatkan uang untuk nyocok dari hasil meminjam ke aplikasi pinjaman uang online (pinjol) Shoope Pinjam sebesar Rp5 juta dengan masal cicilan selama tiga bulan. Ia mendapatkan tagihan dari aplikasi tersebut sebesar Rp1.960.000,00/bulan, sehingga uang yang ia kembalikan ke aplikasi itu adalah Rp5.880.000,00.
Bahkan, menurut Bata, kawan-kawannya yang lain ada yang harus melepas aset pribadi dan keluarga. Ada yang menjual ponselnya atau menggadaikan motor terlebih dahulu agar dapat uang untuk nyocok.
Cerita yang sama terdengar di Kabupaten Sumedang pada tahun 2019. Dikutip dari Jabar Ekspres, Muhammad Kamal, 24 tahun, warga Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, mengaku pernah ditawari untuk bekerja di pabrik Kahatex, tapi harus bayar uang pelicin sebesar Rp15 juta hingga Rp18 juta.
Menurut Kamal, tindakan perekrutan tenaga kerja dengan uang sogokan seperti ini sebetulnya merugikan warga setempat dan menguntungkan sejumlah pihak saja. Warga setempat yang tidak punya uang untuk nyocok belum tentu bisa mendapat kerja di sana.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat Mochamad Ade Afriandi mengaku mengetahui mengenai praktik percaloan tenaga kerja yang ingin ditempatkan di pabrik-pabrik. Menurutnya, praktik percaloan perekrutan tenaga kerja tidak hanya terjadi di PT Kahatex, tetapi juga di pabrik-pabrik lain yang ada di Jawa Barat.
Ade mengaku, ketika ingin mengadakan pelatihan sertifikasi di pabrik, ternyata ada oknum yang mengharuskan berkoordinasi dulu dengan oknum itu. Kemudian organisasi si oknum itu yang akan memasukkan ke perusahaan.
“Ini yang ternyata menjadi modus di setiap daerah untuk masuk ke perusahaan industri atau garmen,” katanya. Praktik percaloan, lanjut Ade, ini bisa saja dilakukan bekerja sama dengan sekelompok orang atau ormas.
**
Kisah Bata hanya menggambarkan sebagian kecil dari masifnya industri percaloan tenaga kerja. Tidak terjadi di semua perusahaan, tetapi cerita pekerja yang ingin melamar pekerjaan harus berhadapan dengan calo terdengar di seluruh kawasan industri manufaktur yang ada di wilayah Bandung Raya. Detail setiap cerita bisa berbeda-beda, tetapi satu hal yang jelas: ada banyak keluarga pekerja yang harus rela melepas harta bendanya hanya demi anggota keluarganya dapat bekerja di sebuah perusahaan.
Perlu diingat, kisah Bata hanya kisah satu orang dan keluarganya. Sayangnya tidak ada yang mencatat berapa banyak keluarga pekerja yang mengalami hal serupa. Berapa banyak keluarga pekerja yang jatuh miskin atau setidaknya menambah pengeluaran keluarganya karena berusaha untuk memasukkan anggota keluarganya ke sebuah perusahaan melalui calo? Berapa banyak calo rekrutmen pekerja ini? Di perusahaan mana saja kah mereka beraksi? Berapa banyak keuntungan yang mereka akumulasikan dari percaloan ini?
Untuk pertanyaan terakhir, kita bisa membuat sebuah skenario berdasarkan kisah Bata. Misalnya, ada sebuah perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan untuk 1000 orang. Kemudian tentu saja akan ada satu atau dua calo yang datang dan “bernegosiasi” dengan perusahaan agar para pekerja yang ingin melamar kerja bisa melalui mereka.
Setelah mencapai kesepakatan, para calo ini akan menentukan harga yang harus dibayar pelamar. Kisarannya sekitar Rp1,5 juta hingga Rp7 juta, bahkan untuk perusahaan besar ada yang Rp15 juta hingga Rp20 juta.
Dalam skenario ini, mari kita tetapkan angkanya di Rp5 juta. Jika seluruh pelamar kerja ini membayar Rp5 juta, berarti sang calo mendapatkan uang sebesar Rp5 miliar dari modal mengobrol dengan pihak perusahaan.
Pihak yang tidak boleh dilewatkan adalah aplikasi pinjol. Jika 1000 pelamar itu meminjam uang dari pinjol sebesar Rp5 juta dan total bunga pinjamannya sebesar Rp880 ribu seperti Bata, maka aplikasi pinjol bisa mendapat Rp880 juta, diuntungkan dari praktik percaloan. Kemudian kita bisa kalikan angka-angka itu dengan 10, 20, atau 30 perusahaan, calo, dan aplikasi pinjol lain di kawasan industri manufaktur yang lain.
**
Mengapa praktik percaloan ini ada? Pertanyaan yang cukup sulit. Belum ada perusahaan ataupun calo yang mau menjadi narasumber untuk tulisan ini. Tetapi kita dapat saja mengasumsikan jawabannya, berangkat dari beberapa dampak yang ditimbulkan praktik ini.
Pertama, dampak terhadap kondisi perekonomian keluarga buruh. Kita tahu bahwa mayoritas keluarga buruh mendapatkan pemasukan dari berapa banyak anggota keluarganya yang bekerja. Jika anggota keluarganya bekerja sebagai buruh tetap di sebuah perusahaan maka mereka memiliki pendapatan tetap.
Sebaliknya, jika anggota keluarganya tidak memiliki pekerjaan tetap maka jumlah pendapatan keluarga yang mereka terima juga tidak menentu. Ditambah dengan kenyataan bahwa tidak semua keluarga pekerja memiliki tabungan.
Akibat faktor-faktor tersebut, mengumpulkan uang untuk membayar calo akan menjadi sesuatu yang sulit. Jalan alternatif yang bisa ditempuh mereka adalah menjual aset keluarga atau meminjam uang dari pinjol, rentenir, tetangga, atau saudara.
Kedua, pihak perusahaan turut diuntungkan oleh praktik ini. Perusahaan mungkin tidak mendapat uang dari praktik ini, tetapi mereka jadi punya alat untuk mengontrol para pekerjanya. Buruh-buruh akan enggan memprotes peraturan perusahaan yang merugikan pekerja seperti jam kerja panjang, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang minim, pemotongan upah, dan lain-lain, karena mereka takut kontrak mereka tidak akan diperpanjang.
Buruh-buruh sadar akan adanya peraturan perusahaan yang merugikan mereka, tetapi mereka lebih memikirkan cara agar kontrak mereka diperpanjang oleh perusahaan. Mereka akan lebih memikirkan kondisi keluarga yang telah melepaskan banyak aset dan meminjam uang.
Ketiga, efek domino dari dampak kedua, menurunnya jumlah anggota serikat buruh. Pada akhirnya, buruh-buruh sendiri yang akan memilih. Jika perusahaan tidak menginginkan ada serikat di dalam perusahaan, maka kebanyakan buruh pun tidak akan bergabung atau membuat serikat.
Berserikat jadi sama dengan mempertaruhkan kontrak kerja. Karena itu, kita akan semakin sering melihat pengurus dan anggota serikat buruh di sebuah perusahaan melakukan demonstrasi di depan perusahaan atau kantor pemerintah dengan jumlah peserta aksi sekitar 10-15 orang saja, sementara buruh-buruh yang satu tempat dengan mereka tetap bekerja di dalam pabrik.
**
Hak-hak buruh telah banyak dirampas, di dalam pun di luar pabrik. Jalan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga ternyata tidak hanya terjal, tapi juga penuh dengan ancaman hewan buas bernama calo. Calo-calo itu bahkan tidak berusaha untuk menutupi perbuatannya, jika pun mereka berusaha menutupinya, mereka tidak pintar melakukannya.
Selain itu, buruh-buruh telah jadi korban dari ketidakbecusan pemerintah dalam melindungi hak-hak buruh. Apakah betul jika Bupati Dadang Supriatna, yang baru-baru ini dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus dugaan gratifikasi telah memerintahkan Satgas Saber Pungli untuk mengatasi percaloan dalam rekrutmen tenaga kerja? Jika betul, mengapa kita belum melihat penangkapan massal para calo itu di kawasan-kawasan industri?
Penulis : Nazer
Editor: Dachlan Bekti