Sepak bola telah lama menjadi lebih dari sekadar olahraga; ia adalah wadah bagi suporter untuk mengekspresikan kecintaan dan loyalitas mereka terhadap klub dari atas tribun. Tribun stadion bukan hanya tempat menyaksikan pertandingan, tetapi juga ruang bagi kreativitas, solidaritas, dan identitas kolektif. Namun, di tengah gairah dukungan yang membara, muncul pertanyaan: sejauh mana kebebasan berekspresi suporter masih dihargai? Apakah sepak bola masih menjadi milik suporter, ataukah telah bergeser menjadi sekadar industri yang hanya peduli pada keuntungan?
Kasus yang menimpa Fajar Bahari, seorang suporter Persebaya Surabaya, mencerminkan bagaimana relasi antara klub dan pendukungnya semakin terkikis oleh kepentingan bisnis serta regulasi yang represif. Insiden ini terjadi pada 1 Maret 2025, saat Persebaya menghadapi Persib di Stadion Gelora Bung Tomo. Dalam momen penuh gairah, Fajar menyalakan flare di tribun gate 3-4—sebuah aksi yang dalam budaya tribun kerap dianggap sebagai bentuk ekspresi dukungan dan luapan emosi.
Namun, respons manajemen Persebaya terhadap insiden ini justru menuai kontroversi. Alih-alih mengedepankan pendekatan persuasif atau dialog dengan suporter, mereka memilih langkah yang memicu polemik: menyebarluaskan identitas Fajar melalui akun media sosial resmi klub. Keputusan ini bukan hanya memperlihatkan jarak yang semakin lebar antara klub dan pendukungnya, tetapi juga mengindikasikan pergeseran dalam cara klub memperlakukan suporternya—dari mitra emosional menjadi objek kontrol dan regulasi yang ketat.
Flare telah lama menjadi bagian dari budaya tribun sepak bola, meskipun sebagian besar regulasi resmi sepak bola modern melarangnya. Di berbagai belahan dunia, kelompok suporter melihat flare sebagai simbol perjuangan dan identitas yang mengakar dalam sejarah mereka. Klub tentu memiliki hak untuk menegakkan aturan, tetapi pendekatan dalam menindak pelanggaran seharusnya tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan serta menjaga keharmonisan dengan pendukungnya.
Sebagai contoh, beberapa klub di Eropa telah mencoba mencari solusi agar penggunaan flare tetap dapat dilakukan tanpa mengganggu jalannya pertandingan. Hamburg SV, salah satu klub Bundesliga Jerman, melakukan uji coba melegalkan pyrotechnics untuk para suporternya. Klub ini sebelumnya telah menerima denda lebih dari 250.000 pound pada musim 2019 karena melanggar aturan penyalaan flare. Namun, alih-alih sekadar menindak dan menghukum suporternya, Hamburg SV mencoba mengakomodasi tradisi tribun dengan cara yang lebih terkontrol.
Dalam eksperimennya, Hamburg SV “mengizinkan” pyroshow oleh suporter sebelum dan sesudah kick-off, dengan pengawasan ketat dari para ahli serta pemadam kebakaran. Penggunaan flare sementara hanya diperbolehkan di area tribun utara, yang telah disesuaikan untuk meminimalkan risiko. Upaya serupa juga dilakukan oleh Werder Bremen, yang pada musim 2019 menguji apa yang disebut sebagai “cold pyro” di hadapan tim keamanan dan dinas pemadam kebakaran. Meskipun saat itu masih dianggap belum memenuhi standar keamanan, inovasi semacam ini membuka kemungkinan di masa depan untuk menemukan solusi yang memungkinkan flare digunakan tanpa membahayakan keselamatan.
Pendekatan seperti ini seharusnya menjadi inspirasi bagi klub-klub lain, termasuk di Indonesia, dalam menangani ekspresi dukungan suporter. Daripada menerapkan kebijakan yang semakin represif dan memperlebar jurang antara klub dan pendukungnya, sebaiknya klub mencari jalan tengah yang memungkinkan tradisi tribun tetap hidup tanpa menimbulkan risiko berlebihan. Dengan keterbukaan terhadap inovasi dan dialog dengan suporter, klub dapat menciptakan lingkungan stadion yang tetap bersemangat, aman, dan inklusif bagi semua pihak.
Sayangnya, keputusan Persebaya untuk melakukan doxing terhadap suporternya sendiri menciptakan preseden berbahaya. Tindakan ini tidak hanya merusak rasa memiliki yang selama ini menjadi fondasi hubungan antara klub dan suporter, tetapi juga mengubah dinamika keterikatan emosional menjadi hubungan yang kaku dan penuh ketakutan. Suporter, yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari klub, justru diperlakukan layaknya musuh. Jika pola semacam ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin atmosfer tribun akan semakin kehilangan esensinya, bergeser dari ruang ekspresi kolektif menjadi sekadar tempat wisata yang tunduk pada kontrol berlebihan.
Lebih dari sekadar merusak ikatan emosional antara klub dan suporternya, tindakan doxing ini juga membawa dampak yang jauh lebih serius: ancaman terhadap keselamatan individu. Dengan identitas Fajar yang tersebar luas, konsekuensi yang ia hadapi pun melampaui sekadar sanksi klub. Ia menjadi sasaran intimidasi daring, mengalami berbagai bentuk teror, hingga terkena serangan berupa order fiktif ke rumahnya.
Efek domino dari persekusi digital ini tidak hanya berdampak pada Fajar secara pribadi, tetapi juga menyeret pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam polemik tersebut. Salah satu yang paling terdampak adalah para pengemudi ojek online (ojol) yang tanpa sengaja terjebak dalam skema order palsu. Berbagai pesanan fiktif dikirimkan ke rumah Fajar, membuat pengemudi ojol datang silih berganti dengan harapan mendapatkan penghasilan, hanya untuk menyadari bahwa mereka telah menjadi korban prank yang tidak mereka pahami.
Dalam situasi seperti ini, yang seharusnya menjadi fokus adalah bagaimana tindakan klub telah memicu gelombang persekusi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Di lapangan, para pengemudi ojol yang merasa dirugikan mungkin meluapkan kemarahan mereka bukan kepada pelaku sebenarnya, melainkan kepada Fajar dan keluarganya yang memperlihatkan bagaimana kasus ini telah berkembang menjadi konflik horizontal, di mana pihak-pihak yang seharusnya tidak saling berhadapan justru dipertentangkan akibat ulah pihak yang lebih berkuasa.
Konflik semacam ini semakin memperjelas bagaimana keputusan Persebaya untuk mengekspos identitas Fajar tidak hanya berdampak pada dirinya sebagai individu, tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang lebih luas. Alih-alih sekadar menjadi kasus pelanggaran regulasi stadion, insiden ini berubah menjadi potret bagaimana klub, dengan kewenangannya yang besar, dapat memicu dinamika yang merugikan berbagai pihak tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
Di tengah polemik yang semakin meluas, Fajar Bahari akhirnya mendatangi Kantor Persebaya pada 11 Maret 2025 untuk menyampaikan permintaan maaf. Didampingi oleh Cak Conk, Cak Bojes, dan sejumlah personel Green Nord lainnya, ia bertemu dengan perwakilan manajemen Persebaya, Alex Tualeka dan Nanang Prianto. Dalam pertemuan itu, Fajar mengakui kesalahannya dan menerima konsekuensi berupa larangan menonton di stadion. Manajemen Persebaya pun menerima permintaan maafnya, seraya menegaskan harapan agar tidak ada lagi penyalaan flare atau tindakan lain yang berpotensi merugikan klub di masa mendatang.
Sebagai respons atas pertemuan tersebut, manajemen Persebaya akhirnya menghapus unggahan yang berisi identitas Fajar dari akun media sosial mereka. Mereka juga menyatakan tidak akan lagi mempublikasikan foto dan identitas pelaku pelanggaran yang menyebabkan denda bagi klub. Namun, alih-alih merefleksikan ulang pendekatan mereka terhadap suporter, Persebaya justru menerapkan kebijakan baru yang lebih represif: siapa pun yang melakukan pelanggaran di tribun Gelora Bung Tomo—baik itu penyulut flare, pelempar, atau pelanggar lainnya—akan diwajibkan menanggung sendiri denda yang dijatuhkan kepada klub.
Yang patut disoroti dari kebijakan ini adalah absennya permintaan maaf dari pihak klub atas tindakan doxing yang telah mereka lakukan. Persebaya seolah merasa tidak bersalah meskipun mereka telah mengekspos identitas suporter sendiri, membiarkannya menjadi sasaran persekusi digital, dan menciptakan dampak yang jauh lebih luas dari sekadar hukuman administratif. Keputusan untuk menghapus unggahan bukanlah bentuk tanggung jawab, melainkan lebih sebagai upaya meredam kritik yang semakin keras dari publik. Bahkan, dengan kebijakan baru yang memaksa suporter menanggung sendiri denda yang seharusnya menjadi tanggung jawab klub, Persebaya semakin menegaskan eksploitasi terhadap pendukung setianya.
Sepak bola seharusnya menjadi ruang bagi ekspresi dan kebebasan, tempat di mana gairah suporter bisa hidup tanpa ketakutan. Namun, dengan menyebarluaskan identitas suporter secara terbuka dan memperkenalkan kebijakan represif yang semakin mengekang, Persebaya justru menghilangkan hak suporter untuk berekspresi dan menciptakan atmosfer ketakutan di tribun stadion. Jika setiap bentuk dukungan yang tidak sesuai dengan kebijakan klub dibalas dengan tindakan represif, maka tribun stadion akan kehilangan jiwa dan semangatnya. Sejarah telah mencatat bagaimana di Italia, kemunculan ultras berangkat dari niat mengokupasi sudut stadion sebagai ruang otonom bagi mereka yang hasrat berpolitiknya diredam oleh fasisme sayap kanan. Namun, kini, kebebasan di tribun semakin direnggut dari tangan suporter.
Stadion bukan lagi menjadi ruang kreativitas dan solidaritas, melainkan berubah menjadi tempat yang sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan bisnis dan regulasi yang kaku. Ironi terbesar dalam kasus ini terletak pada bagaimana klub memperlakukan suporternya. Di satu sisi, mereka menggantungkan kelangsungan finansial pada loyalitas suporter—melalui penjualan tiket, merchandise, dan hak siar. Namun, di sisi lain, mereka tidak ragu menekan suporter dengan hukuman yang berlebihan jika tindakan mereka dianggap merugikan klub atau melanggar aturan yang disusun demi kelancaran industrialisasi sepak bola.
Keputusan manajemen Persebaya untuk mewajibkan suporter menanggung sendiri denda akibat pelanggaran di tribun adalah bukti nyata dari ketimpangan ini. Kebijakan yang absurd ini semakin menegaskan bahwa bagi klub, suporter bukan lagi bagian dari komunitas yang harus dirangkul, melainkan sekadar sumber pendapatan yang bisa diperah tanpa ampun. Seolah-olah suporter hanya berperan sebagai sapi perah—diharapkan selalu setia dan royal dalam mendukung klub secara finansial, tetapi dihukum tanpa kompromi ketika mengekspresikan dukungan mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan standar industri sepak bola modern.
Doxing Bukan Solusi, tetapi Tindakan Bodoh
Jika klub benar-benar ingin menegakkan aturan, ada cara yang lebih etis dan manusiawi. Doxing bukan hanya tindakan tidak bertanggung jawab, tetapi juga ancaman serius terhadap keselamatan individu. Dengan menyebarluaskan identitas suporter, klub membuka ruang bagi aksi persekusi yang bisa berujung pada ancaman nyata di dunia fisik, mulai dari intimidasi daring hingga potensi kekerasan langsung.
Suporter bukanlah musuh klub; mereka adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem sepak bola. Tanpa mereka, stadion akan menjadi ruang hampa tanpa nyawa.
Sepak bola seharusnya menjadi ruang di mana semua pihak bisa merasa aman dan dihargai. Namun, kebijakan seperti ini justru menampilkan wajah kelam dari industrialisasi sepak bola—di mana suporter hanya dianggap sebagai mesin uang bagi klub, tanpa diberikan hak untuk bersuara atau mengekspresikan dukungannya dengan cara yang mereka yakini. Jika tren ini terus berlanjut, sepak bola tidak lagi menjadi milik kita semua, melainkan sekadar bisnis yang mengorbankan mereka yang paling mencintainya.
Lebih ironis lagi, bentuk selebrasi yang dijadikan alasan untuk melarang seseorang masuk ke dalam stadion. Hanya karena menyalakan flare—sebuah aksi yang di banyak belahan dunia dianggap sebagai simbol dukungan—seseorang bisa kehilangan haknya untuk menyaksikan “klub kebanggaannya” secara langsung. Dan yang lebih menyakitkan, pelarangan itu dilakukan oleh “klub yang ia banggakan” sendiri.
Jika ada yang seharusnya dilarang untuk masuk ke stadion, itu bukan suporter yang mengekspresikan dukungannya, tetapi aparat keamanan arogan yang bertindak represif terhadap suporter. Karena tribun bukan hanya sekadar tempat duduk; ia adalah ruang hidup yang seharusnya tetap menjadi milik supporter.
Penulis: Cici Hartono
Editor: Rokky Rivandy