Trimurti.id, Bandung–Kolektif Feminis Angin Malam dan Warga Kampung Aliansi Tamansari mengadakan diskusi terbuka bertajuk ‘Sejarah International Women’s Day dan Gerakan Perempuan Hari ini’ yang digelar pada Rabu malam, 27 Februari 2019 di Kampung Aliansi Tamansari, Balubur, Kota Bandung.
Acara tersebut merupakan suatu rangkaian menuju perayaan International Women’s Day 2019 yang jatuh setiap 8 Maret. Rangkaian acara tersebut diinisiasi oleh beberapa kolektif yang ada di Bandung dengan nama Clara March Bergerak (Clamber), salah satunya Kolektif Feminis Angin Malam. Clamber memiliki makna berangsur bergerak keatas, sejalan dengan perjuangan perempuan untuk keluar dari penindasan yang jalannya tidak pernah mudah namun tidak mustahil dilakukan.
“Kami percaya keluar dari kelas tertindas adalah hasil keringat darah perempuan serta segenap kelas pekerja atas keluasan hidup umat manusia dari dulu, hari ini hingga nanti,” dikutip dari rilis di Instagram Angin Malam.
Dalam diskusi sejarah IWD tersebut, turut dihadiri oleh Sherin dari Federasi Serikat Buruh Demokratik (F-Sedar) dan Dhyta Caturani dari Purplecode Collective. Keduanya memberikan pandangan terkait sejarah penindasan perempuan, baik dari ranah produksi dan reproduksi sosial dalam sistem kapitalisme yang berwatak patriarkis, yang mana perempuan masih ditempatkan menjadi manusia nomor dua yang menghuni muka bumi.
Bagi Dhyta, gerakan feminisme tidak hanya memperjuangkan hal-hal dasar saja. Namun, mendobrak struktur kekuasaan (baca: kapitalisme dan negara). Pasalnya, penindasan perempuan memiliki kondisi yang berbeda, baik di konflik perburuhan, agraria maupun urusan rumah tangga.
“Interseksionalitas—titik temu antara relasi kelas, ras, gender, agama—perlu dipahami untuk melihat penindasan perempuan dalam selubung sistem kapitalisme serta partriarki,” ujar Dhyta.
Sherin F-Sedar memaparkan, kondisi buruh perempuan selalu berada dalam posisi yang sangat rentan. Semisal, diputus kontrak saat kedapatan hamil, sulit mengakses ruang laktasi, upah lembur tak dibayar bahkan rentan mengalami pelecehan seksual.
“Alasan pengusaha untuk memperkerjakan perempuan, khususnya sektor garmen, karena buruh perempuan [dianggap] patuh dan mudah dikontrol,” Ujar Sherin.
Karena hal itu, ia bersama kawan-kawan F-Sedar mendorong anggota perempuannya agar memiliki sikap politik di organisasi dengan cara menduduki posisi strategis, dan memutus budaya maskulinitas lelaki organisasi yang masih sangat melekat hingga kini. Mereka berdua sepakat bahwa negara dan sistem kapitalisme yang menjadi akar penindasan perempuan.
“Maka dari itu [kita] haruslah membangun kesadaran politik,” pungkas Dhyta.
Reporter : Baskara Putra
Editor: Syawahidul Haq