Trimurti.id, Bandung—Hari-hari bersejarah, tentu sangat layak untuk diperingati dan diingat kembali sebagai refleksi. Misalnya International Women’s Day (IWD) yang selalu dirayakan setiap 8 Maret. International Women’s Day merupakan tonggak sejarah yang mana perempuan telah berperan sebagai pelopor bagi perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia.
Di Bandung, International Women’s Day tidak hanya dirayakan oleh individu atau beragam komunitas perempuan, tetapi diikuti pula oleh Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi). International Women’s Day kali ini, dirayakan dengan menggalang aksi kampanye di depan kantor pemerintah provinsi jawa Barat, Gedung Sate, kota Bandung, Minggu 8 Maret.
Nampaknya peringatan hari bersejarah tersebut masih sangat relevan untuk direfleksikan kembali bagi perjuangan segenap kelas pekerja perempuan. Pasalnya, setelah merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, alih-alih mensejahterakan rakyat, pemerintah malah memberi karpet merah untuk para investor berupa paket kebijakan bernama Omnibuslaw RUU Cipta Lapangan Kerja—meski namanya berubah menjadi RUU Cipta Kerja, tetapi isinya tetap tidak berubah.
Omnibus Law akan merevisi 1.244 pasal pada 79 Undang-Undang yang mencakup 11 klaster mencakup penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri.
Di antara perubahan tersebut, salah satu yang merugikan buruh perempuan adalah menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 huruf a.
Selain itu, RUU Cilaka ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, ibadah, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b) juga merugikan buruh perempuan. Artinya, negara melepas penuh tanggung jawabnya sebagai penjamin hukum bagi pemenuhan hak-hak buruh.
Sri Hartati, anggota dari F-Sebumi Kota Bandung, menceritakan pengalamannya sulit mengakses haknya tekait cuti haid di tempat ia bekerja. Menurutnya, meski secara prosedur perusahaan memberikan hak cuti haid, akan tetapi dalam pengambilan cuti haid tersebut ia harus mendapatkan surat rujukan dari rumah sakit yang ditunjuk oleh perusahaan.
Menurutnya, untuk mendapatkan surat rujukan, buruh perempuan harus melalui beberapa tahap terlebih dahulu. Sialnya, yang selalu menjadi permasalahann adalah birokrasi rumah sakit yang sangat berbelit. Bayangkan saja, Sri harus menunggu satu hari suntuk untuk mendapatkan surat rujukan cuti haid. Setelah mendapatkan surat tersebut, pihak rumah sakit hanya memberikan satu hari saja. Pihak rumah sakit berdalih bahwa pemberian cuti haid hanya diberikan untuk buruh perempuan yang mengalami kelainan pada organ reproduksinya.
Padahal, dalam undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, buruh perempuan harus mendapatkan cuti haid selama dua hari.
“Karena dipersulit oleh rumah sakit, buruh perempuan jadi males buat ngurusin hak cuti haidnya. Jadi, buruh perempuan memaksakan diri untuk bekerja,” kata Sri, ketika ditemui di depan Kantor Pemprov Jabar, Minggu 8 Maret 2020.
Dengan birokrasi rumah sakit yang berbelit, tentu hal ini akan menjadi celah bagi perusahaan untuk sama sekali tidak memberi buruh perempuan untuk mengambil cuti haid. Sri pun mengecam wacana pemerintah soal Omnibus-Law Cilaka yang akan menghilangkan cuti haid, dan pemotongan upah ketika mengalami sakit. Sebab, hal ini akan membuat buruh terus menerus bekerja tanpa mempedulikan kesehatannya.
“Perlu diingat buruh juga butuh istirahat. Karena buruh sendiri bukan robot!” Tutup Sri Hartati.
Pada peringatan International Women’s Day 2020 ini, F-Sebumi menyerukan kepada segenap buruh perempuan dan seluruh buruh untuk bersama-sama berjuang menuntut untuk: menghentikan pelecehan terhadap buruh perempuan; menghentikan diskriminasi terhadap buruh perempuan; menghetikan pemecatan tanpa sebab terhadap buruh perempuan; menghapus sistem kerja kontrak dan outsourching; memberikan perlindungan hak kesehatan reproduksi perempuan (cuti haid, cuti melahirkan dan pojok asi); memberikan jaminan keaman terhadap buruh perempuan di tempat kerja maupun tempat umum; menghentikan politik upah murah; berikan upah layak nasional.
Reporter : Rendra Soejono