Pemogokan berlangsung di gudang PT Fajar Mitra Indah (FMI), perusahaan yang mengoperasikan gerai toko Family Mart. Sebanyak 26 buruh, tergabung dalam Pengurus Tingkat Perusahaan Asosiasi Karyawan Untuk Solidaritas Indonesia (PTP AKSI), menggalang aksi sepanjang 18 hari sejak, Jumat, tanggal 21 September hingga 8 Oktober 2018.
Aksi mogok ini merupakan lanjutan dari perundingan bipartit pada 15 Agustus 2018. Perundingan menemui jalan buntu, sesudah PT FMI menolak tuntutan untuk mengangkat 26 orang sebagai buruh tetap. Bukan hanya mengabaikan tuntutan buruh, pada 20 September 2018 PT FMI memecat tiga orang perempuan yang berstatus buruh harian lepas.
Pihak manajemen juga memaksa ketiga buruh perempuan tersebut untuk menerima pesangon sekedarnya, di bawah tekanan petugas keamanan. Salah seorang buruh perempuan yang menolak dipecat dan hendak meninggalkan pabrik, mendapatkan perlakuan kasar dari petugas keamanan.
“…tangannya sempat ditelikung oleh petugas keamanan saat hendak keluar pabrik,” kata seorang buruh yang menyaksikan kejadian tersebut.
Kejadian tersebut sontak membuat buruh-buruh lain mengerumuni tempat kejadian dan menanyakan alasan pelarangan ketiga buruh perempuan tersebut untuk meninggalkan tempat kerja.
Ketiga buruh perempuan tersebut adalah Buruh Harian Lepas yang diupah Rp. 13.000,-/jam. Pengupahan ini sendiri sudah merupakan pelanggaran. Berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum (Nomor 561/Kep-1065-Yanbangsos/2017), buruh seharusnya dibayar Rp. 22.000/jam.
“Jadi, perusahaan itu semakin menindas saja,” tutur Sarinah dari Komite Solidaritas untuk Perjuangan Buruh (KSPB), komite yang selama ini mendukung perjuangan para buruh tersebut.
Pelanggaran lain dilakukan oleh Family Mart
Saat 26 buruh Family Mart melakukan pemogokan, perusahaan mengganti buruh yang mogok dengan buruh dari luar perusahaan. Lagi-lagi hal ini merupakan pelanggaran (bertentangan dengan pasal 144 dan 187 Undang-undang No. 13/2003).
“Ini bisa terkena pidana dengan sanksi penjara 1 sampai 12 bulan dan/atau denda minimal Rp. 10.000.000 sampai Rp. 100.000.000”, terang Sarinah.
Penggunaan TNI dalam pengamanan mogok dan seruan boikot
Pemogokan buruh gudang Family Mart, berlokasi di Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi; ternyata juga masih diimbuhi suatu kejanggalan. Pada saat pemogokan, terlihat sekitar 10 personil TNI selain 10 personel polisi. Pelibatan TNI dalam menangani pemogokan adalah berlebihan, karena buruh menggalang pemogokan dengan masih mematuhi prosedur hukum. Pengamanan oleh pihak kepolisian, seharusnya cukup. Itupun harus dilakukan dengan mematuhi Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2005 tentang kehadiran polisi sebagai pihak yang netral dan memiliki jarak 25 meter dari pemogok.
“Penggunaan TNI di lokasi pemogokan telah memperlihatkan penggunaan kekuatan TNI secara serampangan”, terang Sarinah.
Sarinah kemudian menjelaskan bahwa pengerahan TNI seharusnya merujuk pada UU No. 34/2004 tentang ancaman bersenjata dan pertaruhan wibawa institusi militer yang profesional; bukan militerisme gaya ‘Orde Baru’.
Aksi mogok tersebut mengeluarkan seruan kepada masyarakat untuk berhenti belanja di semua toko Family Mart, sampai pihak perusahaan memenuhi tuntutan buruh, juga sebagai bentuk protes tentang penggunaan TNI yang berlebihan. (Rehza – 21/09/18 )