Categories
Kabar Perlawanan

Pemecatan di PT. Panarub Dwikarya

Enam tahun tanpa kejelasan

Bukan cerita baru, pemecatan sering dipakai perusahaan sebagai senjata untuk membungkam suara lirih buruh.  Itu pulalah yang dialami buruh-buruh PT Panarub Dwikarya Benoa (PDB) ketika mereka menuntut hak-haknya pada 2012 silam. Pemecatan terhadap 1300 orang buruh itu memang berbau tindakan pembungkaman, karena dilakukan sesudah terjadi mogok kerja besar-besaran pada 12-19 Juli 2012 untuk menuntut kekurangan pembayaran upah. Para buruh yang dipecat kemudian tanpa putus mempersoalkan pemecatan sewenang-wenang tersebut. Mereka sudah berupaya lebih dari enam tahun,  namun hingga hari ini mereka belum kunjung menemukan titik terang.  Kisah perlawanan buruh-buruh PDK ini dirangkum oleh  Abu Mufakhir dkk., dalam buku Dari Mana Pakaianmu Berasal (2016).

Panarub merupakan kelompok perusahaan yang menaungi Panarub Indusry, Panarub Dwikarya Cikupa dan Panarub Dwikarya Benoa yang beroperasi di Tangerang. Panarub memproduksi sepatu merk Specs, Adidas, Mizuno dan Reebok. Cikal bakal kelompok usaha ini adalah PT Pan Asia Rubber, perusahaan rubber sponge dan sandal, yang didirikan pada 1968 oleh Lucas Sasmito. Tahun 1985, Lucas Sasmito mundur dari perusahaan, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Hendrik Sasmito.Pada 2012, PDB tercatat mempekerjakan 2560 buruh; dengan 2060 operator dan kurang lebih 500 orang staff manajemen dan administrasi.

Sebenarnya bukan kali itu saja Panarub melanggar hak-hak perburuhan. Pada April 2001 lalu, Panarub memecat Ngadinah, sesudah buruh perempuan itu membeberkan kondisi di tempat kerjanya. Ngadinah dilaporkan ke polisi tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan menghasut. “Sama sekali bukan kebetulan bila PT Panarub membidik Ngadinah. Dia aktif di serikat buruh. Sebelumnya, pada 2000, Ngadinah ikut mengorganisasikan mogok kerja empat hari untuk menuntut pelaksanaan Keputusan Nomor 150 Tahun 2000, yang mengatur tentang penyelesaian PHK, pesangon, dan masa kerja. Selain itu, buruh-buruh menuntut kebebasan berserikat, cuti haid, dan kenaikan uang makan,” tulis Abu Mufakhir.

Kondisi Kerja Buruk

Pemogokan yang dilakukan buruh PDB sebenarnya tidak hanya mempermasalahkan soal upah saja. Ada beberapa pelanggaran lain, salah satunya kondisi kerja yang buruk. Mufakhir dkk., menulis bahwa manajemen PDB menerapkan line system atau one-piece flow, bentuk dari line manufacturing, untuk mengurangi waste dan memaksimalkan produksi. “Bagi buruh, semua istilah teknis manajemen tersebut hanya bermakna pengawasan dan jam kerja yang semakin ketat dan penambahan beban kerja. Tidak mengherankan bila pada pemogokan April 2012, buruh menyebut kondisi ini sebagai kerja paksa.”

Di bagian sewing untuk produksi Adidas, misalnya; sesudah penerapan system manajemen produksi itu,  jumlah tenaga operator dikurangi dari 170 menjadi 156 orang. Namun, target produksi tidak berkurang, yakni 140-150 pasang sepatu per jam. Dengan sistem kerja baru dan target produksi yang tinggi, jam kerja menjadi lebih panjang. Buruh sukar meninggalkan pekerjaan barang sejenak. Bahkan untuk minum, pergi ke toilet, maupun menjalankan ibadah. Agar target selalu tercapai, buruh harus mengikuti briefing 10-15 menit sebelum jam masuk kerja, dan 10-20 menit sesudah jam kerja.

Waktu kerja tambahan ini tidak diperhitungkan sebagai lembur. Jika pun buruh diminta untuk kerja lembur, jumlah jam lembur yang dicatat selalu lebih kecil dari kenyataannya. Jika target produksi tidak tercapai, supervisor akan marah sambil membanting-banting barang dan dari mulutnya terucap kata-kata kasar yang menghinakan.

“Sebenarnya perlakuan buruk semacam juga terjadi pada buruh yang bekerja di bagian manajemen (staf, unit head, section head).  Jika target produksi tidak tercapai staf bagian manajemen harus mengikuti 1-2 jam rapat. Izin cuti sukar diperoleh, dengan alasan tidak tenaga kerja pengganti. Karena target produksi yang tinggi, buruh tidak diharapkan mengambil cuti, karena itu akan menambah beban sesama buruh lain di regu kerjanya. Izin untuk cuti tetap sukar diperoleh, pun pada situasi darurat.”

Pemberangusan Serikat

Kondisi kerja buruk di tempat kerja ditambah upah yang tidak kunjung naik adalah sumber kekecewaan besar, yang mendorong Kokom Komalawati dan kawan-kawan untuk mendirikan serikat buruh baru: Serikat Buruh Garment, Tekstil, dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) di PT PDB. Sebelum itu di perusahaan ini sudah ada dua serikat (SPN dan SPSI). Begitu terdengar kabar bahwa beberapa buruh hendak mendirikan serikat, manajemen segera bertindak untuk mencegahnya.Kokom Komalawati, salah seorang pendiri serikat baru itu, menceritakan sulitnya mendirikan serikat. Pada 10 Februari 2012, ia dihubungi Guan An (dari bagian produksi), untuk bertemu dengan manajemen yang diiwakili seorang bernama Bernard. Pada pertemuan tersebut, manajemen menawarkan jabatan yang lebih baik dengan syarat, Kokom harus membatalkan rencana mendirikan serikat baru. Bernard adalah bekas orang bagian Human Resources yang kemudian menjadi Hakim Adhoc di Mahkamah Agung, sejak 6 Maret 2006. Bernard menyarankan Kokom untuk bergabung saja dengan serikat yang sudah ada.

“Aku sempat bertanya: ‘Memang kenapa Pak, kalau ada GSBI di sini?’ Dia menjawab, ‘Karena SBGTS-GSBI berpolitik, tetapi SP-X dan SPSI tidak masalah karena kebijakan SP-X dan SPSI dipusatnya pun perusahaan mengerti,’” tutur Kokom.

Sore harinya, pada 23 Februari 2012, sepulang kerja, Kokom dan kawan-kawan buruh mendeklarasikan GSBI. Namun, pada hari deklarasi itu, lima orang yang namanya tercantum sebagai pengurus dipanggil oleh HRD. Masing-masing dipanggil di ruang terpisah. Esok paginya, lima orang yang dipanggil langsung kena pecat.

“Karena menolak pemecatan, maka untuk sementara mereka diskorsing. Setelah makan siang, giliranku dipanggil. Nasibku sama dengan mereka, diskorsing. Dalam minggu yang sama, berturut-turut Sembilan pimpinan di-PHK,” ujar Kokom.

Kasus pemecatan brutal ini telah disidangkan dalam Sidang Komisi Kebebasan Berserikat ILO (International Labour Organization). Pada November 2016 ILO merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia melakukan investigasi independen atas perampasan hak berserikat dan berunding. ILO pun meminta Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus ini dengan memulihkan seluruh hak buruh.

Menanggapi perkembangan ini, Kokom berkomentar. ”Apa upaya Pemerintah Indonesia merespons Rekomendasi ILO? Tidak ada! Dengan berdalih tidak ada mekanisme hukum, Pemerintah Indonesia sengaja mengabaikan rekomendasi ILO, sekaligus turut menyengsarakan buruh PDB.”

 

Syawahidul Haq – 20/09/18