Arun Kumar and Moses Rajkumar
11 October 2018
Ribuan buruh pabrik otomotif Yamaha Motor India, Royal Enfield dan Myoung Shin Automotive (MSA) minggu ini melancarkan mogok kerja di kawasan industri Oragadam-Chengalpattu. Setiap hari, ratusan ribu buruh bekerja di Kawasan industri Oragadam-Chengalpattu, yang terletak di barat daya Chennai, ibukota negara bagian Tamil Nadu. Sering dijuluki sebagai “Detroit-nya Asia,” Oragadam-Chengalpattu adalah kawasan industri yang paling dipadati oleh industri otomotif. Dari sekitar 7.6 juta buruh otomotif di seluruh India, sebagian besar bekerja di kawasan industri ini, di pabrik-pabrik yang memproduksi Ford, Daimler AG, Renault–Nissan, Komatsu, Mitsubishi dan Toyota.
Hari Minggu lalu, ratusan buruh Yamaha dan MSA membentuk “rantai manusia” untuk menyuarakan tuntutannya, termasuk memprotes tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Pabrik Yamaha dan Enfield keduanya memproduksi sepeda motor, sedangkan MSA memproduksi onderdil kendaraan. Mogok kerja sudah terjadi berulang-ulang. Mogok kali inipun adalah lanjutan dari protes sebelumnya. Berikut rangkaian kejadiaannya:
21 September 2018. Sebanyak 750 buruh meninggalkan pekerjaan dan duduk-duduk, menuntut agar dua teman mereka dipekerjakan kembali. Dua buruh yang dipecat tersebut giat merintis pendirian serikat buruh baru bernama Yamaha Motor Thozhilalar Sangham (Serikat Buruh Yamaha) yang berafiliasi dengan Pusat Serikat Buruh India (Centre of Indian Trade Unions, CITU).
Dari hampir 2,500 buruh yang bekerja di pabrik Yamaha, hanya 750 saja yang merupakan buruh tetap. Selebihnya adalah 1,500 buruh kontrak ditambah 250 buruh magang. Buruh tetap diupah sebesar 13.000-18.000 rupee (Rp 2,6 – 3,7 juta). Sebenarnya, para buruh kontrak juga ingin bergabung dalam aksi protes tersebut, namun serikat buruh melarangnya, dengan alasan buruh kontrak rawan dipecat.
Pihak perusahaan, Yamaha India, segera mengeluarkan pernyataan, dengan menyebut bahwa aksi mogok tersebut tidak sah dan membawa perkara ini ke Pengadilan Tinggi Madras. Tidak lama sesudah pengadilan mengeluarkan ketetapan, bahwa aksi mogok hanya boleh dilakukan sejauh 200 meter dari pabrik, polisi segera ikut campur. Pada 26 September, polisi menyerang buruh yang mogok dan menghalau mereka dari pabrik. Kemudian, pada 3 Oktober 2018, pada pagi buta polisi melakukan penyerbuan dan penangkapan di rumah empat orang buruh, yang dituduh memanjat tiang menara (telepon seluler) pada aksi protes seminggu sebelumnya.
24 September 2018. Sekitar 1300 buruh Royal Enfield mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah serta tuntutan lainnya. Perusahaan balik mengancam, buruh yang menolak kembali bekerja akan dipecat. Pada hari yang sama dengan penyerbuan di pabrik Yamaha, berbekal surat perintah pengadilan, polisi menyerbu masuk ke dalam pabrik dan membubarkan aksi mogok
Sesuai arahan dari serikatnya, pada 30 September buruh Royal Enfield mengakhiri mogok . Serikat menyatakan bahwa mereka berunding dengan perusahaan, dan menjamin bahwa tidak akan ada tindakan balasan terhadap buruh yang mogok. Saat itupun, terbentuklah sebuah serikat buruh baru di pabrik tersebut, yakni Serikat Buruh Royal Enfield. Serikat baru ini tidak diakui oleh perusahaan.
Belakangan perusahaan memungkiri kesepakatan. Buruh yang ikut mogok dikenai pemotongan upah (sesuai jumlah hari mogoknya); delapan orang kena hukuman, dan sisanya dipecat. Semua yang dijatuhi hukuman adalah mereka yang terlibat membentuk serikat baru. Perusahaan juga mengeluarkan satu peraturan baru: buruh dilarang membawa telepon genggam ke dalam pabrik.
Tindakan balasan dari perusahaan menyebabkan kemarahan buruh, dan menyebabkan 700 buruh kembali mogok. Aksi mogok baru dihentikan pada 5 Oktober, sesudah perusahaan berunding dengan serikat buruh. Selanjutnya, perusahaan kembali berulah. Para buruh diharuskan untuk meminta maaf (karena ikut mogok) dan berjanji untuk “berkelakuan baik.” Akibatnya buruh kembali murka, lalu kembali mogok dan menduduki pabrik. Polisi segera bergerak, melakukan penangkapan terhadap sekitar 600 orang buruh. Seluruh yang ditangkap ditahan di aula terdekat sampai petang berikutnya.
Sementara pengusaha dan polisi mengatur penyerbuan di pabrik Yamaha dan Royal Enfield, para pemimpin serikat buruh tingkat pusat CITU bertindak laksana polisi industri, malah “menasehati” buruh untuk “menghormati perintah pengadilan.”
5 September. Lebih dari 500 buruh tetap di MSA (pemasok untuk Hyundai) menggalang aksi mogok menuntut kenaikan upah yang lama tertunda.
27 September. Polisi menangkap beberapa buruh MSA yang berencana menyatroni Kedutaan Besar Korea yang berkantor di Chennai. Semua yang ditangkap baru dibebaskan sore harinya.
Kalangan pengusaha di negara bagian Tamil Nadu sudah tentu segera bersuara. Mereka melontarkan kecaman dan meminta pemerintah turun tangan memadamkan gelombang protes ini. Ar Rm Arun, ketua Kamar Dagang Perdagangan dan Industri cabang Tamil Nadu (salah satu organisasi pengusaha terpenting) menyatakan dalam sebuah wawancara dengan media, “walau bagaimanapun, perusahaan multi-nasional janganlah diganggu dengan urusan-urusan seperti ini. Kalau lingkungan usaha tidak kondusif bagi dunia usaha, mereka bisa mengambil tindakan lain….”
Arun menganjurkan pemerintah India untuk “mencontoh tindakan perdana menteri Singapura…” Maksud dari ucapan ini adalah tindakan diktator Singapura, Lee Kwan Yew, yang pada tahun 1980 menekuk pemogokan pilot Singapore Airlines dengan tangan besi.
Sudah sudah banyak diketahui, organisasi pengusaha, pemodal global, pemerintah pusat maupun pemerintah negara-negara bagian di India, dan pengadilan, dibantu serikat buruh busuk, seluruhnya bekerjasama untuk membendung kebangkitan serikat buruh independen. Tindakan represif serupa juga pernah terjadi di pabrik Maruti Suzuki.
Pada 2012, buruh Maruti Suzuki beramai-ramai meninggalkan serikat lama yang cuma jadi boneka pengusaha, untuk membentuk serikat buruh yang baru. Sesudahnya, pengusaha bekerjasama dengan polisi dan pemerintah melancarkan berbagai macam tekanan. Kasus ini berujung pada hukuman penjara seumur hidup terhadap 13 buruh yang dikenai dakwaan palsu melakukan pembunuhan. Pada kasus Maruti Suzuki pun, pengurus serikat besar CITU semuanya cuci tangan, menolak untuk terlibat aksi protes dan mengabaikan buruh yang dijatuhi hukuman penjara.
Meskipun jelas bahwa buruh-buruh Yamaha, Enfield, dan MSA sudah bertekad untuk melawan, serikat CITU berkali-kali berupaya mencegah buruh melakukan aksi protes bersama tiga pabrik tersebut. Agar protes tidak membesar, pengurus CITU mengundang organisasi masyarakat (ormas) bernama All India Anna Dravida Munnetra Kazhagam (AIADMK) untuk ikut mencari “pemecahan yang sebaik-baiknya.”
Saat meliput pemogokan ini, sambil membagikan selebaran yang menyoroti melempemnya peran serikat CITU dan menganjurkan aksi bersama seluruh pabrik, wartawan WSWS mendengar banyak keluh-kesah dari para buruh. Buruh-buruh Yamaha kecewa karena serikat menghalangi buruh kontrak, buruh magang, dan buruh lainnya untuk terlibat dalam aksi mogok. Para pengurus serikat menghalangi dan mengusir wartawan. Minggu sebelumnya, mereka melarang para buruh untuk memberikan keterangan kepada wartawan. Pemimpin CITU, Muthu Kumar dan S. Kannan bahkan melayangkan ancaman fisik kepada wartawan, menuduh wartawan sebagai antek-antek pengusaha, sambil berkata “…lo orang mau mampus?”
Seluruh ancaman sia-sia ini hanya menandakan bahwa para pemimpin serikat busuk tersebut dilanda panik yang luar biasa dengan kebangkitan militansi buruh-buruh otomotif. Mereka takut ketahuan belangnya karena selama ini selalu membela pengusaha; meskipun mulutnya berkata lain. Tidak hanya di Tamil Nadu, di negara bagian lain pun (Benggala Barat, Tripura, Kerala), serikat ini mengkhianati kaum buruh, dan bersedia melakukan apa saja untuk membikin senang hati investor dan elit kapitalis India.
Sumber: World Socialist Web Site. http://www.wsws.org/en/articles/2018/10/11/tnwr-o11.html
Reporter: Rehza Pratama