Bandung, trimuti.id—Siapa tak kenal biscuit Goodtime, Nyam Nyam, dan Tim Tam. Biskuit coklat merek ternama ini tersedia di banyak warung dan toko, harganya cukup terjangkau dan digemari anak-anak dan orang dewasa. Asal tahu saja, merek-merek itu di produksi oleh Arnott’s, anak dari perusahaan makanan dan minuman multinasional AS, Campbell Soup Company (berdiri sejak 1869). Arnott’s beroperasi di Indonesia sejak 1998 dengan membuka pabrik di Bekasi, Jawa Barat.
Di balik kelezatannya yang “dicintai semua orang”- bunyi slogan biskuit Goodtime- ada cerita pahit yang sedang dialami oleh para buruhnya. Sampai Selasa 5 Juni, buruh PT Arnott’s Indonesia melakukan aksi untuk menolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak di depan kantor pusat perusahaan di Plaza Oleos, di jalan T.B Simatupang, Jakarta.
Pangkal masalah terjadinya PHK sepihak yang dilakukan PT Arnott’s Indonesia, itu bermula sejak 3 Mei lalu. Saat itu tiga serikat buruh yang ada di perusahaan tersebut diundang untuk menghadiri pertemuan dengan pihak perusahaan diwakili oleh manajemen pada Jumat 4 Mei, bertempat di Hotel Fave, Kemang, Jakarta. Tiga serikat buruh tersebut antara lain: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Pekerja Mandiri Arnott’s Indonesia (SPMAI) dan Federasi Persatuan Buruh Indonesia (FPBI).
Sukanti, Sekretaris Jenderal Federasi Persatuan Buruh Indonesia (FPBI) menjelaskan, tiga serikat buruh yang diundang tidak tahu-menahu apa yang akan dibahas dalam pertemuan pada Jumat 4 Mei yang diinisiasi oleh perusahaan. Sebab dalam undangannya tidak tercantum catatan “perihal”.
“Ternyata pas datang, membicarakan masalah keadaan perusahaan. Sampai di sana, pihak perusahaan menyampaikan tentang penurunan penjualan selama 4 tahun dan itu (datanya) menurut data dari perusahaan, bukan data hasil audit (sesuai dengan pasal 164 ayat 2 UU nomor 13 tahun 2013),” jelasnya pada trimurti.id ketika diwawancarai via telpon pada, Senin (4/6).
Atas hal itu, kata Sukanti menjelaskan, pada 7 Mei, pihak perusahaan kembali mengadakan pertemuan dengan pengurus serikat buruh untuk membahas tentang kondisi perusahaan yang berlebihan muatan dan harus mengurangi buruh level 2-4—dari buruh operator hingga kepala regu—dengan dalih efisiensi.
“Lalu menawarkan program Pensiun Dini Sukarela (PDS). PDS itu ditawarkan kompensasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku, ditambah tiga bulan upah,” lanjut Sukanti.
Pada hari yang sama pihak perusahaan mengeluarkan memo menyoal program PDS yang akan dilakukan dengan rincian: Perusahaan telah membuka Pensiun Dini Sukarela dengan ketentuan dua kali pasal 156 ditambah 3 bulan upah dengan bertahap sebagai berikut; Gelombang I (08 – 15 Mei 2018); Gelombang II (16 – 21 Mei 2018).
“Karena mayoritas pekerja masih mau bekerja, anggota serikat masih mau bekerja, tapi program PDS tidak mencapai target, pada titik itu diajukan sepihak. Pencopotan langsung menurut perusahaan yang harus dikeluarkan,” ucap Sukanti.
Dalam keterangannya itu, tiga serikat buruh sebetulnya tidak terlalu mempersoalkan kebijakan PDS yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan. Namun, kata Sukanti, yang menjadi masalah adalah ketika perusahaan menetapkan target 300 orang buruh yang harus mengikuti program PDS. FPBI adalah serikat buruh yang menolak untuk di-PHK secara sepihak.
Penolakan yang dilakukan oleh FPBI, terkait dengan tidak sesuainya pasal 164 Undang-undang nomor 13 tahun 2013 yang menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa (force majeur)”
Pun ketika para buruh yang lain menanyakan apa kriteria PHK dan mengapa mesti ada PHK yang dilakukan perusahaan, kata Sukanti, itu semua adalah kemauan dari bos semata.
“(Malah, red) yang paling rajin itu juga kena, yang loyalitasnya tinggi itu kena, padahal masih produktif,” tandasnya.
Reporter : Syawahidul Haq
Redaktur : Dachlan Bekti