Trimurti.id, Bandung, Senin, 02 Desember 2019 – Sekitar 15 organisasi
dari berbagai federasi serikat buruh tiap daerah di Jawa Barat, sebagian
di antaranya tergabung dalam Aliansi Buruh Jabar (ABJ), melakukan aksi
protes di ruas jalan di depan Gedung Sate, pusat pemerintahan Propinsi
Jawa Barat di Bandung.
Aksi tersebut semula direncanakan untuk memprotes surat edaran Gubernur
(bernomor 561/75/Yanbangsos) tentang pelaksanaan Upah Minimum
Kabupaten/Kota 2020 di Daerah Propinsi Jawa Barat, yang ditandatangani
pada 21 November 2019. Para buruh menuntut Gubernur untuk mengeluarkan
surat keputusan, yang lebih berkekuatatan hukum dari pada surat edaran.
Pada Minggu, 1 Desember 2019, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil
menandatangani surat keputusan (nomor 561/Kep. 983 Yanbangsos/2019) ,
yang membatalkan surat edaran di atas. Meskipun surat edaran sebelumnya
sudah dicabut, para buruh tetap menggalang demonstrasi. Mereka menangkap
adanya keganjilan pada SK tersebut, tepatnya pada Keputusan nomer 7
huruf (d) yang menyatakan “dalam hal pengusaha termasuk industri padat
karya tidak mampu membayar Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2020
sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA, pengusaha dapat melakukan
perundingan Bipartit bersama pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di tingkat perusahaan dalam menentukan besaran upah, dengan
persetujuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat “.
Bagi Nazar, Anggota DPK KSN Kota Bandung, diktum tersebut melegalkan
praktik politik upah murah dan melanggar UU Ketenagakerjaan No:13 tahun
2003.
“Penangguhan tersebut memperbolehkan pengusaha untuk membayar upah buruh
lebih murah. Pembayaran upah yang seharusnya menggunakan UMSK, malahan
memakai standar UMP sekitar Rp 1.800.000, “Ujar Nazar saat diwawancarai
reporter Trimurti.id
Menurut Nazar, skema penghitungan upah berdasarkan PP 78 Tahun 2015
sendiri pun menihilkan peran serikat buruh alias tidak demokratis,
karena menyisihkan survey kebutuhan hidup layak, dan membuat perhitungan
upah sepihak hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi.
Baginya, itu berarti negara melepas tanggung jawab terhadap perlindungan
hak-hak buruh.
Nining Elitos, ketua umum nasional KASBI, pun berpendapat serupa.
Seharusnya SK Gubernur tidak boleh mendiskriminasi upah buruh sektor
padat karya (garmen dan elektronik), yang sebagian besarnya buruh adalah
perempuan. Pasalnya, diktum nomor 7 huruf (d) tersebut memberi celah
bagi perusahaan nakal untuk membayar upah buruh dengan murah.
“Selama ini buruh perempuan hanya menjadi kelas nomor dua dalam
masyarakat, padahal dalam UUD 45 sudah mengatur persamaan hak baik
perempuan dan laki-laki,” tutur Nining.
Diwawancarai di sekitar lokasi demonstrasi, Riefki Zulfikar, staff
advokasi LBH Bandung, berpendapat bahwa soal penangguhan upah untuk
industri padat karya dalam diktum nomor 7 poin huruf (d), berpotensi
melanggar hak buruh.
“Terkait soal penangguhan upah itu sendiri, mekanisme hukum tersendiri
sudah tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 Pasal 90.
Gubernur tidak bisa memasukan unsur penangguhan upah dalam surat
keputusan,” ujar Riefqi
Selain menyoal SK di atas, ABJ menyerukan beberapa tuntutan lain,
yakni:segera tetapkan UMSK Tahun 2020; serta Cabut PP No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan yang merugikan buruh.
Setelah satu jam aksi berlangsung, dan hujan sempat mengguyur sekitar
Gedung Sate, beberapa perwakilan dari ABJ selesai melakukan perundingan.
Orator yang berdiri di ata mobil komando mengumumkan: “Besok dan lusa,
kita tidak ada aksi lagi. Karena aspirasinya sudah diterima oleh wakil
gubernur UU dan perwakilan dari Disnaker. Akan ada aksi lagi, Jumat.
Sembunyikan kutipan teks
Untuk mengawal beberapa keputusan yg sudah masuk.”
Reporter: Baskara Hendarto