Categories
Kabar Perlawanan

Buruh Family Mart Bekasi Diupah Murah

Kemalangan menimpa Buruh-buruh gudang toko Waralaba Family Mart, di Kabupaten Bekasi. Toko waralaba terbesar kedua di Jepang setelah 7-Eleven, yang juga beroperasi di Taiwan, China, Filipina, Vietnam dan Malaysia ini mengupah murah buruhnya.

Buruh gudang Family Mart tersebut hanya diupah Rp. 13.000, per-jam, jauh dari ketentuan upah minimum berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 561/Kep-1065-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Permenaker No. 100/2004 tentang Upah Buruh tahun 2018 seharusnya dibayarkan sebesar Rp. 22.800, per-jam atau Rp. 114.000, per-hari.

Juru Bicara F-SEDAR (Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan), Sarinah, menegaskan bahwa pengusaha harus membayarkan kekurangan sebesar Rp. 9.800, per-jam atau Rp. 49.000, per-lima jam.

“Artinya, dalam satu bulan, seorang Buruh Harian Lepas menderita kerugian sedikitnya sebesar Rp. 1.029.000,- dengan asumsi 21 hari kerja x 5 jam,” katanya.

Sarinah juga menambahkan bahwa tindakan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum digolongkan sebagai tindakan pidana dengan ancaman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) merujuk pada ketentuan Pasal 185 UU No. 13/2003.

Penyimpangan lain dari manajemen gudang Family Mart yang dikelola PT. FMI (Fajar Mitra Indah) adalah penggunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan mempekerjakan buruh kontrak tanpa surat perjanjian kerja, juga di bagian produksi yang menggunakan buruh harian secara terus-menerus.

Menurut Sarinah hal ini melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf (i), Pasal 57 ayat (1) dan (2), Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 (UUK No.13/2003) dan Kepmen No. 100/2004 tentang Pelaksanaan PKWT, juga melanggar  Pasal 58 UU No. 13/2003 karena  memberlakukan masa percobaan pada buruh kontrak PKWT.

HK (29), salah seorang buruh gudang Family Mart, juga mengisahkan tentang buruh-buruh perempuan lainnya yang melakukan pekerjaan tidak sesuai perjanjian.

“Ibu-ibu buruh harian lepas yang dalam perjanjian hanya membereskan kardus dan menyapu, sekarang disuruh untuk membereskan box container dan mencucinya untuk tempat barang,” terang HK.

Pelanggaran lain adalah tentang upah lembur hari besar nasional yang tidak dibayarkan namun hanya diganti dengan hari libur hari kerja biasa yang bertentangan dengan Kepmenaker No. KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur dan Pasal 33 PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.

Tidak berhenti di situ, kata Sarinah, beberapa masalah pembayaran upah lain juga dilakukan oleh pengusaha, mulai dari pemotongan upah secara sewenang-wenang sebagai denda akibat barang hilang saat stock opname dan tidak ada rincian tentangnya,  juga pembayaran upah lembur yang dirapel pada bulan berikutnya.

“Mengenai pemotongan upah karena denda itu bertentangan dengan Pasal 54 ayat (2) PP No. 78/2015, sedangkan upah yang dirapel ke bulan berikutnya juga bertentangan dnegan Pasal 20 PP No. 78/2015” terang Sarinah.

Perlakuan merugikan lain dari pengusaha kepada HK dan kawan buruh lainnya adalah tentang rincian upah buruh yang tidak diberikan dalam bentuk slip gaji.

“Saya pernah lembur selama 5 jam sampai pukul 21.30, tapi yang dihitung hanya satu jam,” ungkap HK.

Menurut HK, hal itu juga menyangkut tentang tidak adanya uang makan dan transportasi dari pengusaha tanpa alasan yang jelas.

Sarinah menambahkan bahwa perlakuan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Perda Kab. Bekasi No. 6/2001 tentang Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja di Perusahaan Swasta.

Hal lain juga dialami oleh DG, salah seorang buruh PKWT PT. FMI, yang menolak mengundurkan diri dan mengalihkan hubungan kerja buruh ke perusahaan outsourcing bernama PT. Alian Global Service. DG diancam akan dilaporkan pada polisi karena manajemen mempersoalkan keabsahan surat sakit DG yang terbukti merupakan surat keterangan sakit asli dari dokter di klinik resmi.

“Salah satu staf manajemen menelepon seseorang yang diklaim anggota polisi di Polda Metro Jaya. Dalam percakapan itu DG akan dibawa ke kantor polisi,” terang Sarinah.

DG terpaksa menandatangani surat pengunduran diri karena kurang memahami perkara hukum dengan perasaan takut.

Menurut HK, buruh dan pihak pengusaha sudah mencapai proses bipartit. Namun pihak pengusaha mengundurkan tanggal perundingan dari tanggal 25 Juli 2018 sampai tanggal 1 Agustus 2018 tanpa kejelasan lebih rinci.

Triurti.id telah mencoba menghubungi PT Fajar Mitra Indah selaku pemegang merek waralaba Family Mart di Indonesia. Namun hingga berita ini diterbitkan, perusahaan tersebut belum merespon permintaan konfirmasi daari Trimurti.id. (Rehza)