Trimurti.id, Bandung—Sabtu sore, 15 Agustus 2020, Gedung Sate Bandung yang biasanya dilintiasi oleh kendaraan, ditutup. Ada puluhan orang yang duduk-duduk di sepanjang jalan Dipenogoro. Sebagian menyaksikan penampilan musik, sebagian lagi berkerumun di lapak-lapak gratis dan sebagian yang lain bertanding futsal di ruas jalan dekat pos polisi. Mereka datang dengan semangat yang sama; bersolidaritas dalam Anti-Omnibus Fest.
Pada rilis yang dibagikan saat acara berlangsung, Koalisi Rakyat Sipil Anti-Omnibus Law mengatakan, Anti-Omnibus Fest ini digagas untuk mengampanyekan bahaya Omnibus Law. Sejumlah pasal dalam Omnibus Law akan merugikan rakyat dan hanya menguntungkan para investor. Salah satunya di Bab Ketenagakerjaan yang melanggengkan sistem kerja kontrak.
Untuk diketahui, Omnibus Law mulai diwacanakan pemerintah sejak Februari 2020. Secara ringkas, RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini akan memangkas undang-undang yang menghambat investasi. Dengan kata lain pemerintah menganggap bahwa dengan mudahnya investasi masuk, maka akan akan tercipta lapangan pekerja bagi angkatan kerja baru yang tiap tahunnya berjumlah dua juta jiwa. Tapi benarkah klaim tersebut?
Watchdoc dalam video berjudul “KERJA, PRAKERJA, DIKERJAI” yang dirilis pada 13 Juni 2020 di kanal youtube, membantah klaim tersebut. Dalam videonya, Watchdoc menggambarkan tidak selamanya investasi masuk dapat menciptakan lapangan kerja.
Pada periode 2010-2016 misalnya, Watchdoc mencatat terdapat peningkatan investasi hingga 300% sedangkan angka serapan tenaga kerja justru kurang dari 50%. Jika pada tahun 2010, 1 triliun investasi mampu menyerap 5.000 tenaga kerja, justru pada tahun 2016 angka serapan itu menurun salah menjadi 2.200 tenaga kerja.
Selain itu, Koalisi Rakyat Sipil Anti-Omnibus Law menegaskan ancaman Omnibus Law ini tak hanya menyasar rakyat pekerja, tetapi juga masyarakat adat. Investasi-investasi skala besar di sektor perkebunan, kehutanan, dan mineral batu bara, justru akan semakin menyingkirkan warga setempat dari sumber-sumber penghidupannya.
Hal ini disampaikan oleh Okto (bukan nama asli), salah satu peserta aksi yang berasal dari Papua. Saat ditemui di lokasi aksi, Okto menyampaikan, Omnibus Law akan mengancam hajat hidup masyarakat adat di tanah Papua.
“Penting bagi warga Papua untuk menolak Omnibus Law. Karena pemerintah Indonesia akan memiliki legitimasi tambahan untuk mengusir masyarakat adat Papua dan mengeruk kekayaan alam demi investasi melalui Omnibus Law,” jelas Okto kepada Trimurti.id.
Selain Okto dan mahasiswa Papua, terdapat berbagai elemen yang terlibat dalam Anti-Omnibus Fest ini. Mereka yang terdiri dari berbagai kalangan ini, ikut pula berkontribusi dengan caranya sendiri. Diantaranya adalah Anto dan Wawan yang membuka lapak gratis di festival ini.
Lapak Gratis Sebagai Bentuk Protes Atas Ketimpangan
Hari itu, di tengah kerumunan orang yang duduk-duduk di depan gedung sate Bandung, terdapat empat orang yang berbaris. Barisan antrian ini mengarah menuju lapak cukur gratis milik seorang kapster bernama Anto (bukan nama asli). Menurut pemuda berkacamata ini, lapaknya sengaja didirikan sebagai bentuk solidaritas dalam Anti-Omnibus Fest, Sabtu 15 Agustus.
“Nasib pekerja di sektor jasa seperti saya ini sudah susah sebelum ada Omnibus Law. Apalagi kalau disahkan. Makin memperburuk nasib pekerja seperti saya,” tutur Anto ketika diwawancarai Trimurti.id sore itu.
Anto adalah buruh penata rambut. Ketidakpastian kerja, upah tidak layak serta tidak adanya jaminan sosial lantas mendorong ia dan kawan-kawannya membuka usaha pangkas rambut yang dikelola secara kolektif.
“Sejak Februari 2018, saya dan kawan-kawan sesama kapster berinisiatif mengelola sebuah usaha pangkas rambut di daerah Tamansari, Bandung. Penentuan upah dan lainnya ditentukan secara bersama,” jelas Anto.
Sambil memangkas rambut para pelanggannya, Anto bercerita bahwa ia acapkali membuka lapak gratis dalam event-event sosial seperti Anti-Omnibus Fest ini. Karena usahanya berbasis kolektif, Anto mengaku kawan-kawannya tak keberatan jika sesekali Anto izin untuk membuka lapak cukur gratis pada hari-hari kerja.
Anto dan lapak cukur gratisnya bukanlah satu-satunya dalam Anti-Omnibus Fest sore itu. Ada empat lapak gratis lainnya di depan Gedung Sate. Selain Food Not Bomb dan Lapak Baca Gratis, terdapat juga lapak pasar gratis yang membawa inisiatif transaksi tanpa uang. Hanya dalam hitungan menit, berbagai barang yang dipajang di atas terpal bekas ludes diborong oleh orang-orang yang hadir dalam Anti-Omnibus Fest.
“Pasar gratis adalah bentuk protes terhadap ketimpangan sosial. Keterlibatan kami menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal menangani kasus kemiskinan di indonesia. Dan apabila Omnibus Law disahkan, akan semakin banyak masyarakat yang kekurangan baik dalam segi sandang maupun pangan,” jelas Wawan, salah satu individu yang terlibat dalam pasar gratis kepada Trimurti.id, saat diwawancari terpisah, Minggu 16 Agustus 2020.
Menurut penuturan Wawan, pasar gratis awalnya bergerak untuk membagikan makanan secara gratis kepada siapa saja yang kebetulan mampir ke lokasi tempat ia melapak. Barulah ketika memasuki bulan puasa tahun ini, pasar gratis lantas memasukan sandang sebagai item yang mereka bagikan secara gratis.
Wawan dan individu lain di pasar gratis merasa, di bulan puasa kebutuhan masyarakat untuk membeli pakaian yang baru semakin meningkat. Tapi di lain kesempatan, masih banyak orang yang tidak mampu membeli pakaian. Menurut Wawan, mereka adalah orang-orang yang untuk makan saja kesulitan.
“Kami bukan nabi yang diutus Tuhan untuk membantu orang yang tidak mampu. Bukan juga orang yang suka memberi dan ngajarin orang untuk menerima. Hidup layak itu hak semua orang,” tegas Wawan.
Untuk itulah, menurut Wawan pasar gratis adalah sebuah bentuk protes. Dengan menciptakan ruang yang memungkinkan orang-orang bertransaksi tanpa uang, pasar gratis mencoba menunjukan bahwa semua orang berhak untuk hidup layak. Tidak peduli apakah secara ekonomi ia miskin atau tidak.
Menurut Wawan, kengototan pemerintah dalam mengesahkan Omnibus Law, telah menunjukan kepada rakyat bahwa negara justru berniat memperlebar jurang ketimpangan sosial yang ada. Maka menurutnya, tidak ada jaminan negara akan memenuhi kebutuhan hidup layak yang seharusnya diterima semua orang.
Senada dengan Wawan, Rio sebagai koordinator acara mengatakan, lapak-lapak gratis yang diselenggarakan dalam festival ini adalah upaya protes. “Semua orang berhak hidup layak. Semua orang berhak untuk makan. Dan semua itu bisa didapat tanpa harus mengukur apakah ia kaya atau miskin. Jika percaya akan hal ini kita tak perlu investasi [melalui Omnibus Law],” tegas Rio kepada Trimurti saat ditemui di lokasi.
Dengan begitu, menurut Rio Anti-Omnibus Fest ini, selain mengkampanyekan bahaya Omnibus Law, festival ini adalah sebuah kampanye bahwa rakyat sebetulnya tidak butuh Omnibus Law.
Reporter: Abdul Harahap
Fotografe: Frans Ari Prasetyo