Categories
Jam Istirahat

Miguel Littin dan Sejarah

Semenjak 11 September 1973, Chili yang berbahagia seketika jadi kelabu. Bayangkan saja, tiga angkatan bersenjata di bawah pimpinan Augusto Pinochet meninggalkan barak untuk memerangi rakyat sipil.  Proyektil tak bisa dihitung, tapi ada dua puluh bom dan lima ribu korban jiwa, belum dihitung luka permanen atau semua hal yang luput dari catatan. Penangkapan massal membabi-buta, warga yang hilang tanpa sebab menjelma desas-desus, warga yang dijatuhi hukuman tanpa pengadilan berserakan di penjara.

Masih pagi padahal, tapi Salvador Allende, Presiden Chile kala itu, sudah berkali-kali diberi ultimatum untuk meninggalkan negaranya dengan sebuah pesawat yang sudah disediakan para tentara. Allende menolak mentah-mentah dengan tetap bertahan di La Moneda, istana kepresidenan Chili, lalu berpesan: “Seorang Presiden Chili tidak kabur dengan pesawat. Kamu harus tahu bagaimana melakukan tugas militermu.”

Mendengar perkataan Allende, para perwira pro-Pinochet langsung naik pitam. Beberapa jam kemudian istana itu dikepung pelbagai peralatan perang. Terdapat serangan udara, tank dari artileri, dan tentu saja tentara bersenjata. Allende dikabarkan meninggal dalam tragedi itu, meskipun kabar kematiannya simpang-siur antara ditembak atau bunuh diri. Tujuh jam terakhir kehidupan mantan Presiden Chili itu diinterpretasikan secara dramatis oleh Miguel Littin melalui filmnya yang berjudul Allende en su Laberinto (2014).

Augusto Pinochet seketika menjadi Presiden Chili tanpa perlu pemilihan umum. Pers dipaksa mati kutu, lawan politik rezimnya sudah dipastikan kena bedil, sedangkan rakyat Chili yang ketakutan hanya bisa melupakan semua kejadian untuk menepis traumanya. Satu-satunya yang dapat dilakukan rakyat Chili hanya menutup mulut rapat-rapat dan membuka telinga lebar-lebar pada titah; apa yang baik dan buruk versi Pinochet dan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat alias CIA.

Kita masyarakat Indonesia pastinya merasa tidak asing pada sejarah Chili itu, seakan mempunyai pengalaman masa lalu yang serupa. Dan memang kemiripan itu bukan kebetulan belaka. Kudeta 1973 di Chili ini menimba skemanya dari taktik jitu Soeharto menggulingkan Soekarno dalam peristiwa 1965, dengan mengambinghitamkan orang-orang kiri yang kita kenal melalui film propaganda Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984). CIA bahkan menjuluki taktik penggulingan Salvador Allende ini dengan nama Operation Jakarta.  Praktik-praktik serupa yang berulang terjadi di Amerika Latin hingga Asia itu disebut ‘Jakarta Method’ oleh Vincent Bevins.

Pinochet juga punya tempat yang peruntukannya sama seperti Pulau Buru atau Pulau Nusakambangan semasa Soeharto, yakni Pulau Dawson di Tierra del Fuego, yang  berjarak tempuh 3,030.82 km dari Chili. Miguel Littin pernah membuat film tentang pulau itu, Dawson Isla 10 (2009). Film itu diadaptasi dari buku Sergio Bitar yang berkisah tentang pengalaman mengerikan sebagai tahanan politik di pulau tersebut.

Miguel Littin, sutradara dan penulis naskah asal Chili, pernah menjadi eksil saat pembasmian gerakan kiri atau Amerikanisasi itu terjadi di Chile. Seperti sejumlah angkatan muda Indonesia yang diberangkatkan Soekarno untuk menimba ilmu ke berbagai negara, kewarganegaraan Chili Littin dicabut. Dendamnya sama seperti tokoh-tokoh di film Eksil (2022) besutan Lola Amaria yang baru dapat slot tayang bioskop tiga bulan lalu. Littin harus menjalani hidup dalam pengasingan sejak namanya tertulis dalam daftar 5.000 orang buangan Pinochet.

Sebagai eksil, Littin harus hilir-mudik di dataran Eropa dan menetap lama di Meksiko. Actas de Marusia (1975), yang digarap Littin saat bermukim di Meksiko, masuk nominasi pemenang Academy Award 1976 for Best Foreign Language Film.

Ia marah tentunya. Selain jabatan sebagai kepala lembaga film yang diberikan Allende kepadanya dicabut tanpa hormat, semua mimpi terkait sosialisme Chili pupus berkeping-keping. Littin berujar, “Menjadi eksil adalah salah satu hal terburuk yang pernah ada karena hal itu mengeringkan batinmu dan membuatmu kehilangan semangat hidup.” Sejak diasingkan, nama Pinochet jadi musuh seumur hidup bagi filmmaker kampiun itu.

Saat senjakala rezim Pinochet tiba, Miguel Littin bisa pulang ke tanah airnya setelah 12 tahun menjadi eksil. Pengalamannya di pengasingan bisa dilihat melalui karakter Aron dalam Los Náufragos (1994). Di situ Littin menggubah perasaannya saat pulang ke rumah yang hampir seluruhnya tak ia kenali,Chili yang bersikeras ia pahami lagi dan lagi.

Sebagai peranakan Palestina dan Yunani, Littin gemar berkunjung ke tempat yang konfliknya tak berkesudahan itu, Palestina. Seberes membuat dokumenter A Palestinian Chronicle (2001), Littin kembali ke tanah kelahiran ayahnya untuk membuat La Última Luna (2005). Sering kali dia terimpit serangan-serangan Israel terhadap Palestina. Dengan kehidupannya yang tak kurang terjal, Littin masih bergidik ngeri melihat secara langsung anak Palestina dengan batunya melawan tentara Israel dengan senjata apinya.

Littin memang terkenal sebagai pembuat film yang nekat tapi dia bukan sosok yang kebal pada rasa takut. Lututnya tetap gemetar di hadapan pasukan khusus militer Chili. Saat namanya masih bertengger di daftar hitam negara Chili, ia berkukuh tetap memasuki kandang musuh untuk membuat film yang merekam keadaan Chili dalam genggaman Pinochet.

Bersama tiga kru film asal Italia, Prancis, dan Belanda, Littin menyamar sebagai pengusaha sukses asal Uruguay dan masuk ke Chili. Dengan mengubah penampilannya secara drastis serta berkat bantuan organisasi bawah tanah, ia berhasil  menggarap Acta General de Chile (1986) dalam waktu enam minggu. Littin lolos dari pengawasan ketat militer Pinochet, terutama dari penjagaan unit garnisun istana paling tersohor, Carabinero.

Persiapan pembuatan film itu bukan main niatnya. Salah satu latihan yang selalu membuat Littin malu sendiri ialah berpura-pura menjadi suami , seorang dari organisasi bawah tanah yang dinamai oleh Gabo di bukunya, yang ikut bersamanya ke Chili sebagai istri gadungan. Membiasakan diri bersama Elena bagi Littin tidaklah mudah. Di sebuah rumah mewah di Paris, keduanya harus menciptakan kesan agar menambah memori perihal rumah tangga yang bisa Littin pakai kalau saja disodorkan pertanyaan tentang keluarga.

Mengunjungi negara yang melarangnya datang berarti harus siap-sedia pada apa pun yang mungkin terjadi, sekalipun itu kematian. Misi berbahaya tersebut dikisahkan dengan sentuhan sastra oleh bengawan Amerika Latin, Gabriel García Márquez, yang hangat disapa Gabo. Penyamaran yang berhasil mengelabui loyalis Pinochet untuk merekam kondisi La Moneda, kisah Chile yang berubah jadi angker,  berkunjung ke kampung halaman, tidak sengaja bertemu dengan mertua; semua itu dituturkan Gabo dalam narasi orang pertama Clandestine in Chile: The Adventures of Miguel Littin.

Laporan yang dikemas layaknya novel itu merupakan hasil wawancara intensif Gabo bersama Littin. Pada awalnya, percakapan itu berbuah 600 halaman. Tapi atas pertimbangan banyak hal, buku itu terbit dengan jumlah hampir 150 halaman saja. Tanpa mengurangi sedikit pun keberaniannya, Littin merendah, “Mungkin ini bukan tindakan paling berani dalam hidup saya, tapi pastinya sangat berguna.”

Selain karena pertimbangan keselamatan tokoh-tokoh yang disamarkan, pengurangan dan penambahan kisah dalam sebuah novel pun akhirnya tak terhindarkan. Sekalipun output wawancara itu merupakan reportase, penulis tetap memiliki tugas membuat pembaca betah berlama-lama membaca. Apalagi sastra selalu mengemban tanggung jawab estetis di setiap katanya.

“Saya merasa ngeri, narasinya sama kasar dan spontannya dengan apa yang saya sampaikan di percakapan kami,” ujar Littin setelah membaca manuskrip awal buku itu. Pernyataan yang cukup untuk tidak banyak menaruh harap, buku ini sudah dipastikan seperti keputusan Gabo membukukan The Story of A Shipwreck Sailor; tanpa pikir panjang.

Namun buku itu bernasib sama seperti karya seni yang terindikasi Marxis, entah penciptanya maupun muatannya. Pada 28 November 1986, hampir 15.000 eksemplar novel itu disita dan dibakar habis tentara Chili. Barangkali Pinochet merasa terhina. Simbol kekuatannya rapuh semenjak tahu bahwa musuh politiknya yang bisa ia tembak kapan saja itu pernah menginjakkan kaki di La Moneda, tempat ia memerintah dan berkuasa.

Walau sudah pasti geram, tapi pembakaran buku itu mungkin membuat Littin tertawa. Sebagai seniman yang getol mengejek Pinochet, pembakaran buku telah memperlihatkan ketololan rezim otoriter Pinochet. Barangkali presiden itu berpikir dapat menutupi sejarah dengan membakar buku, kemudian merasa telah menghalau parasit kebudayaan. Tapi, rakyat sudah bisa menulis, mereka akan terus mengambil pena, mereka akan terus mengabarkan peristiwa meskipun harus susah payah membersihkan narasi penguasa terlebih dahulu.

Third Cinema, gerakan pembuat film dari Dunia Ketiga kala itu, punya andil dalam pembersihan narasi kebudayaan berkat belajar dari Frantz Fanon mengenai pentingnya membangun jejaring kultural yang terhindar dari pendiktean negara-negara penjajah. Hal yang tak bisa tidak saat negara Dunia Ketiga sudah sadar bahwa tubuh kita dipenjara kolonialisme sedari ranah psikologis.

Dalam konteks Amerika Latin, Third Cinema segendang sepenarian dengan New Latin American Cinema, yang salah satu film Littin, El Chacal de Nahueltoro (1969), jadi salah satu representasi dan purwarupa gerakan tersebut. Masih dalam konteks gerakan ini, Littin menelurkan karya lain yang tak kalah fenomenal, La Tierra Prometida (1973), yang baru bisa dirilis secara resmi pada 1991.

Mungkin wacana  Third Cinema dapat membuat mual-mual budayawan romantis yang giat mengglorifikasi rasa-merasa. Di Indonesia, Lekra pernah jadi penyebab rasa mual itu. Di belahan Dunia Ketiga, percaturan politik lebih sengit dan berdarah-darah. Menanggapi karya-karya politis sini dengan kacamata lirisisme Barat sana merupakan keangkuhan tersendiri—atau malah kesalahpahaman.

Dari sekian banyak film yang Littin produksi, banyak di antaranya berbicara soal fasisme, yang terasa sekali nuansa dendam Littin kepada rezim Pinochet. Hal itu sangat wajar diidap orang-orang yang kebebasannya pernah dirampas dan nyawanya hampir direnggut rezim fasis.

Inilah Littin, proyek seninya rajin mengunjungi kenangan pahit yang dulunya tertutup dan tak berarti. Mengungkitnya kembali sebagai hutang yang harus ditebus hari ini. Menonton karya-karya Littin menunjukkan pada kita bahwa hari ini tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab masa lalu. Terlepas dari karya itu membantu sejarah berbicara di pihak korban, Miguel Littin sudah memberi kesan gelap dari hasil pemenang sejarah peradaban manusia di zaman yang telah lalu.

Tapi kita memang mesti rajin mengunjungi masa lalu, bukan? Apalagi di Indonesia. Hasil Pemilu dua bulan lalu membuat banyak orang ketakutan akan kebangkitan otoritarianisme, “Jakarta is coming,” sebab presiden yang terpilih memiliki jejak pelanggaran kemanusiaan yang sulit bila harus dilupakan. Namun, jumlah orang yang ketakutan kalah telak dengan mereka yang merayakan kemenangan Prabowo. Konon, penyumbang suara terbesar bagi paslon 02 adalah pemilih dari kalangan Gen Z, generasi saya. Apa boleh buat, diktat sejarah hingga kini masih sarat sensor dan ideologi Orde Baru. Tidak cukup dengan ziarah sejarah, semua generasi perlu nyekar berkali-kali pada sejarah Indonesia yang begitu remang.

 

Penulis: Rokky Rivandy

Editor: Dachlan Bekti