Trimurti.id, Bandung – Pada 24 April 2023 lalu, Departemen Kesehatan Taiwan mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap mi instan yang beredar di negara pulau tersebut. Uji petik yang mereka lakukan menemukan Etilen Oksida dalam kadar yang berlebih pada produk asal Indonesia, Indomie Rasa Ayam Spesial, dan Mie Kari Putih Ah Lai, buatan Malaysia. Etilen oksida, ditemukan pada paket bumbu Indomie Rasa Ayam Spesial, diketahui dapat memicu timbulnya kanker getah bening (limfoma) dan kanker darah (leukemia).
Menyertai pengumuman itu, seluruh toko-toko di Taiwan diminta mengosongkan dua produk mi tersebut dari rak pajang. Lebih serius lagi, perusahaan yang kedapatan masih mengimpornya diancam hukuman sedikitnya 60 ribu dolar Taiwan (sekitar Rp29 juta). Tiga hari kemudian, Kementerian Kesehatan Malaysia mengikuti langkah Pemerintah Taiwan, menarik Indomie Rasa Ayam Spesial dari peredaran.
Gara-gara kabar itu saham PT Indofood CBP Sukses Makmur (PT Indofood), produser mi instan merek Indomie, sempat melandai. Pihak perusahaan segera angkat bicara, menyatakan bahwa produk mereka diproses dengan mematuhi standar keamanan pangan dan sudah sesuai dengan ketentuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Taufik Wiraatmaja, Direktur PT Indofood, menegaskan, “Produk mi instan kami telah mendapatkan Sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) serta diproduksi di fasilitas produksi yang tersertifikasi standar internasional.”
Tak kalah sigap, BPOM Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan resmi, menjelaskan bahwa pihak berwenang di Taiwan menggunakan cara yang berbeda untuk mengukur kandungan etilen oksida dalam produk pangan. Ditambahkan pula, etilen oksida yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) kadarnya jauh di bawah batas maksimal residu yang berlaku di Indonesia (sebesar 85 ppm). Artinya, menurut standar yang berlaku di Indonesia, produk mi instan tersebut aman dikonsumsi karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar. Sesudah BPOM RI mengeluarkan pernyataan, pada 14 Mei 2023 pemerintah Malaysia mengumumkan bahwa Indomie Rasa Ayam Spesial aman untuk dikonsumsi.
**
Pelarangan peredaran mi instan asal Indonesia di luar negeri tersebut bukanlah kali pertama. Pada Oktober 2010, razia Indomie dilakukan petugas kesehatan Taiwan. Sesudah berita menyebar, dua supermarket di Hong Kong ikut-ikutan menarik Indomie dari penjualan. Penyebab dari pelarangan adalah ditemukannya kandungan zat pengawet yang dilarang, yakni methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid. Di Taiwan, Kanada, dan negara-negara Eropa, bahan-bahan itu dilarang digunakan untuk produk makanan.
Kemudian, pada Oktober 2022, Mie Sedaap, produksi kelompok usaha Wilmar, dilarang beredar di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Menurut pejabat Keamanan Pangan (Center of Food Safety) Hong Kong, “ [P]aket bumbu dan cabai produk (Mie Sedaap) mengandung pestisida, Etilen Oksida.”
Sebagian orang, bukannya memikirkan keamanan dari produk yang dilarang, malah asyik main tebak-tebakan mencari udang di balik batu dari pelarangan ini. Konon, pelarangan ini merupakan perang dagang antara Indomie dengan mi instan buatan lokal. Hal ini terjadi karena Indomie semakin menguasai pasar Taiwan dan menggusur produk lokal.
Dugaan tersebut hanya kedengarannya saja masuk akal. Tentu saja benar bahwa PT Indofood sangat berminat menjual sebanyak mungkin produknya ke Taiwan mengingat besarnya jumlah orang Indonesia yang tinggal di negara tersebut. Dari sekitar 250 ribu orang Indonesia yang bermukim di Taiwan, pastilah ada saja yang sewaktu-waktu rindu mencicipi kuah Indomie yang rasa gurihnya sudah mereka kenal sejak lama. Jika pun dugaan perang dagang antara saudagar mi Indonesia dan Taiwan ini benar, tetap saja pertanyaan utamanya adalah: apakah produk itu aman dikonsumsi?
Etilen oksida memang tidak boleh digunakan sembarangan. Chemhat, sebuah situs internet tentang penggunaan bahan kimia dalam industri, memperingatkan: Etilen oksida adalah bahan kimia yang—jika disentuh sembarangan, atau uapnya terkena mata, atau terisap—membahayakan manusia dan mamalia. Paparan dalam jangka panjang dapat memperburuk asma, menyebabkan cacat lahir, alergi kulit; kerusakan gen, sistem saraf, sistem reproduksi, gangguan kelenjar endokrin, dan berkaitan dengan kanker, terutama kanker payudara.
Dengan risiko kesehatan yang sebanyak dan segawat itu, mengapa mi instan yang sama dilarang di Taiwan dan beredar bebas di sini? Jawabannya sederhana, tidak aneh-aneh, dan tidak semisterius teori perang dagang. Semata-mata karena Taiwan menetapkan standar keamanan yang lebih ketat dan lebih tinggi untuk bahan pangan.
Sementara, kita semua sudah terbiasa dengan standar keselamatan dan standar hidup minimal. Keluarga buruh yang mengandalkan upah setara upah minimum kota/kabupaten dipastikan akan sukar memenuhi kebutuhan gizi harian. Kebanyakan kita hanya dapat menikmati pendidikan yang ala kadarnya atau tidak bermutu. Dan, kebanyakan kita sudah bosan mengeluhkan layanan transportasi publik yang buruk atau malah membahayakan.
**
Pelarangan produk mi instan asal Indonesia di Taiwan dan Malaysia tampaknya tidak menimbulkan kehebohan sangat besar di Indonesia. Bisa dimengerti, saat itu perhatian masyarakat sedang tertuju pada peringatan Idulfitri 2023.
Sungguh disayangkan, tak satu pun serikat buruh yang menggubris pelarangan itu. Termasuk serikat buruh di sektor makanan dan minuman. Barangkali penyebabnya adalah, menjelang Idulfitri dan May Day 2023, banyak serikat buruh sudah direpotkan dengan kelakuan perusahaan-perusahaan yang menunda, mencicil, dan mengemplang pembayaran tunjangan hari raya (THR). Ada pula perusahaan yang memecat buruh-buruhnya, atau malah tiba-tiba tutup, untuk menghindari pembayaran THR.
Kandungan zat berbahaya dalam mi instan seharusnya mendapat perhatian buruh, setidaknya karena dua alasan. Pertama, jika berbahaya untuk dikonsumsi, tentu berbahaya pula untuk buruh yang membuatnya. Sekian tahun bekerja, selama itu pula buruh pabrik mi instan terpapar bahan kimia berbahaya.
Kedua, mi instan sangat populer, dikonsumsi masyarakat luas dan keluarga buruh karena sedap, gurih, enak, dan harganya terjangkau. Barangkali ada jutaan keluarga buruh menghidangkannya untuk sarapan pagi, dengan tambahan telur dan irisan cabai rawit. Tak terhitung banyaknya buruh yang memesan mi rebus di warung dekat pabrik sebagai kudapan sebelum atau sesudah kerja sif malam. Bagi buruh berkantung tipis, yang sudah upahnya rendah dan itu pun sering dicuri, mi instan adalah pilihan. Bukan rahasia lagi, orang melahap rebusan mi ditambah segunduk nasi, untuk mencukupi kebutuhan kalori harian dan agar perut kenyang. Apakah tambahan nasi segunduk itu ampuh untuk melarutkan kandungan pestisida dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya? Semoga begitu.
Penulis: Cecep Hidayat
Editor: Dachlan Bekti