Categories
Jam Istirahat

Mengintip Tipisnya Fiksi dan Non-Fiksi Karya Saran Pandang

Sekilas teater ini akan rentan terkena tuduhan kurang artistik. Bagi saya bukan perkara mudah mengidentifikasi sebuah pertunjukan sebagai medium teater jika tak memiliki tokoh inti, plot yang secara sengaja tidak dirancang secara ketat alias dapat diubah, dan penonton ikut serta menentukan keseluruhan cerita. Terlebih tempat teaternya berada di balai Rukun Warga 006 Kelurahan Tamansari.

Alih-alih dipusingkan dengan konsep yang dibuat Taufik Darwis, mengingat dirinya tak dituliskan dalam susunan produksi sebagai sutradara, saya dan barangkali semua yang mendatangi teater tersebut malahan berpikir ulang. Jika aturan mainnya dilepas-pasang, masih bisakah pertunjukan itu disebut teater?

Keseluruhan teater Saran Pandang cukup sederhana sebetulnya. Pertunjukan dimulai dengan keadaan tata artistik yang menunjukan adanya sebuah rapat, Konferensi Kampung Kota, dengan latar tempat di balai Rukun Warga 00. Latar tempat sengaja dibedakan dengan balai serbaguna yang dalam dunia nyata bernomor RW 006.

Dengan kisah sesederhana itu saya masih harus merasa ganjil, mengingat undangan yang mendarat saya persepsikan sebagai jatah kursi untuk menonton teater. Meskipun ditandai oleh salah satu penampil yang membuka ajakan untuk semua hadirin di balai itu masuk ke semesta fiksi, akan tetapi tetap membuat saya berbisik kepada Naufal selaku pimpinan produksi teater tersebut “Tipis banget fiksi sama non fiksinya, ya?”.

Perlu pertanyaan sejenis dan penarikan kesimpulan yang hati-hati, untuk sekadar menemukan terjebaknya cara pandang saya mengenai seni lakon yang berkutat di paradigma estetika Romantik atau kalau boleh disebut konvensional. Saya tidak merasakan kasihan dan takut sepanjang berlangsungnya drama; dua dasar emosi yang biasanya dipancing oleh lakon dari penonton.

Apabila mengikuti saran Brecht dalam kiat meminimalisir empati dari perrtunjukan teater tergelincir ke pesta emosional (emotional orgy) dan pembersihan dosa sosial, Saran Pandang berhasil, karena teater bukanlah pelabuhan katarsis dan tempat penebusan dosa. Kenapa demikian? Pola empati semacam itu biasanya terdiri dari dua semesta yakni fiksi dan nyata, biasanya penonton yang nyata ini menyerahkan agensinya kepada cerita atau lakon yang fiktif.

Pertunjukan ini merayakan pergeseran cara memaknai seni yang tak lagi berkutat mengenai keindahan dan kesubliman.  Jadi bukan hanya aktor dan penonton yang dikaburkan batasnya, lebih jauh ‘seniman’ dan ‘yang bukan seniman’. Tanpa menyampingkan aspek instrinsik, pesona karya dan daya emansipatorisnya berjalan beriringan.

Saya berani bilang pesona karya masih diperhitungkan oleh para penggarap teater Saran Pandang. Karena pemaknaan tentang seni kini telah mengalami perubahan besar. Pergeseran ini menempatkan sebuah karya seni tak lagi dilihat melalui kerumitan esensi yang sering terjerumus ke dalam suatu transendensi, melainkan sebuah kecakapan manusia yang didasari oleh kerja dalam artian dapat dipelajari dan dilakukan oleh siapapun.1

Ketika konsep teater tidak seturut dengan unsur-unsur teater konvensional, tidak otomatis membuat drama itu buruk, barangkali pandangan kita saja yang masih diam di zaman estetika Romantik. Masa di mana perlakukan dan pencerapan terhadap seni mesti berupa perbaikan dari kekhasan wahana objek karya itu sendiri, penilaian di luar karya dianggap tidak sah.

Sedangkan aturan ketat mengenai objek karya atau benda itu bisa dibilang bentuk seni jika artworld mengakuinya.2 Terlepas dari pengakuannya, benda hanyalah benda, aktivitas hanyalah gerak manusia. Kesimpulannya, seni bukan lagi sebuah benda tapi himpunan relasi sosial di balik suatu benda.3 Benda di sini, dalam teater, berarti sebuah cerita, aktor, dan panggung yang bukan satu-satunya aspek pencerapan wahana karya.

Selain itu, kita juga bisa melihat proses struktural dari seni mayor dan minor. Dalam menghasilkan produk teater, dibutuhkan seniman-seniman minor yang pandai menenun kain menjadi baju, sebongkah kayu menjadi kursi dan sejumput kerja sangat kreatif lainnya yang belum masuk ke dalam artworld, entah itu oleh mesin ataupun robot, kerja (kreatif) tetaplah kerja. Jauh sebelum Saran Pandang, Bandung Performance Art Forum tahun lalu memiliki contoh konkret mengenai ini dalam drama berjudul The Unseen Hands yang dipertunjukan dalam pagelaran Artjog.

Memindahkan kehidupan ibu Aan Aminah selaku buruh tekstil yang bergabung dalam serikat buruh Serikat Buruh Militan (SEBUMI) ke dalam sebuah drama. Sebuah upaya pembaharuan drama yang tidak otomatis membuatnya mengandung daya revolusioner, itupun jika memang tujuannya adalah hal tersebut. Karena saya curiga kepada mata dan penalaran pemirsa seni di Artjog terhadap peran ibu Aan. Sekali lagi saya tekankan, siapapun yang menggaet semangat partisipasi harus terhindar dari sekedar praktik penebusan dosa sosial kelas menengah.

Seni minor menopang keberlangsungan seni mayor. Kedaulatan seni ini akan gegar status quo-nya apabila politik di atas dicerabut. Bagi Augusto Boal, seni berdaulat pasti berkaitan dengan semua orang; dari yang mereka lakukan dan semua yang dilakukan untuk mereka sarat akan politik.

Taufik Darwis dan kawan-kawan cenderung memakai pendekatan Teater Forumnya Boal. Bukan hanya perenungan dan pesan tersirat yang disasarnya, tetapi lebih ke partisipasi penonton yang secara aktif terlibat dan ikut serta menciptakan dan memecahkan masalah dalam cerita. Dalam pandangannya teater tidak hanya tempat bagi cerita dan kisah yang dapat mengundang emosi, tetapi juga tempat di mana penonton dapat merespon kisah-kisah dengan kesedaran penuh dan tindakan nyata.

Dalam bangunan drama Saran Pandang, pengail ketegangan seperti perubahan plot dalam cerita yang mengungkapkan rahasia, kemunculan konflik, dan kejadian tak terduga (peripeteia) hampir tidak berguna. Jadi pengembangan karakter dan pembangunan efek dramatis dari situasi (anagnorisis) juga lemah. Hasilnya tak terkandung penyelesaian kehancuran protagonis (catastrophe), karena memang dalam teater ini tidak terdapat sebuah tragedi. Itu adalah tiga konsep penting dalam tragedi yunani yang masih dipakai oleh teater moderen dalam memancarkan efek dramatis. Serupa teater Boal, Saran Pandang meninggalkan konsep tersebut.

Forum Fiksi Saran Pandang

Bapak ketua Rukun Warga (RW) 00 yang diperankan oleh Hilmie Zain mengambil podium untuk mengumumkan semacam ucapan selamat datang di semesta fiksi. Tak panjang ucapan terima kasih kepada semua yang hadir, doa dipanjatkan lalu selesai, Pak RW langsung mempersilahkan perwakilan lembaga Konferensi Kampung Kota bernama Taufiq Darwis agar segera mengambil alih podium.

Taufiq berpidato memaparkan sebuah penelitian mengenai kampung kreatif dari hasil Konferensi Kampung Kota. Dengan masalah yang hendak disasarnya adalah rencana pembangunan kota Bandung yang berambisi menggaet penghargaan simbolik bernama Kota Kreatif. Daerah kumuh yang berdiri di lahan strategis dan bernilai ekonomis-lah target urban renewal dan revitalisasi, di dunia non fiksi,  kampung Kolase (Pulo), Tamansari, dan Jalan Karawang sudah kena imbasnya, Braga, Cigondewah, Cicadas menyusul.

Tidak berhenti sekedar memaparkan, Konferensi Kampung Kota mempertanyakan kembali pretensi ‘kreatif’ di sini, jika makna kekuasaannya dicerabut dan tersisa makna secara harfiah dari ‘kreatif’, maka itu bukan barang baru bagi warga Bandung. Dan pertanyaan pamungkasnya ialah imajinasi siapa yang seenak jidat memoles kotanya agar cantik melalui segala cara; menggusur contoh nyatanya. Sesuai judul drama lengkapnya “Saran Pandang: Imajinasi dan Hantu Penggusuran”.

Atas nama seni dan estetika kejahatan ini berlangsung, melakukan gentrifikasi dengan seni sebagai alat tempurnya. Prahara ini diangkat kembali narasinya dalam Saran Pandang, praktik pemaksaan estetika kelas menangah atas ke masyarakat yang heterogen. Jika harus diingat kembali, fenomena komite ad hoc Seni Bandung 2017 jadi pelajaran berharga yang tak layak terulang kembali, khususnya bagi para seniman. Fenomena reduksi brutal mengenai wacana seni partisipatoris yang dimaknai sebagai pelibatan masyarakat dan praktik sosial melalui seni tanpa tedeng aling-aling, hasilnya naif: membuat seni dekat dengan masyarakat melalui program yang berusaha menutupi borok kota. Ingat hanya menutupi, bukan menyelesaikan.

Pruitt-Igoe di St. Louis, Amerika Serikat mempunyai segunduk pengalaman pahit mengenai praktik pembaharuan kota. Sama-sama dibangun dengan tujuan memberikan tempat tinggal tanpa kumuh. Kisah ini sering dipakai sebagai penanda kematian arsitektur modern, International Style, atau apapun itu yang merupakan salah satu muntahan dari Bauhaus dengan ide-ide yang semula pernah radikal.

Contoh sejarah rasionalisme, behaviorisme, pragmatisme yang jadi doktrinnya jadi hanya sekedar citra spektakular ketika masalah dasar warga kotanya diabaikan. Pruitt-Igoe yang bertujuan slum clearance dihancurkan tahun 1997, Sedangkan Kota tanpa Kumuh (KOTAKU) baru dimulai di tahun 2016 sebagai pembaharuan dari singkatan-singkatan P2KP, PNPM, dan P2KKP yang telah ada sejak tahun 1999.

Namun itulah keberanian yang ditawarkan Saran Pandang, mengemas politik dan masalah yang sedang berlangsung di kota Bandung bukan sebagai bumbu tetapi inti dari drama. Perlu dipaparkan lagi memang, penangkapan realitas yang kita kenal dan keseimbangannya, kehidupan sehari-harinya, untuk dipersembahkan ke altar seni selalu tak luput dari segudang kritik. Dimana seni akan nampak berlebihan ketika terlalu dekat dengan kenyataan. Resiko itu mesti ditanggung mengingat ‘partisipatoris’ dijadikan wahana dari karyanya.

Memang perlu kehati-hatian yang cukup sabar dibarengi sebuah kontestasi kritik agar ‘partisipatoris’ yang diusung tak serupa dengan praktik advokasi LSM. Meminimalisir demagog yang terlampau narsis, setidaknya orang dan watak penuntun masyarakat atas identitas kesenimanan yang ia punya dapat ditekan dan ditutup rapat kemunculannya.

Di awal drama ketika perasaan sebagai penonton masih kentara, kami selaku penonton berusaha fokus pada apa yang dipaparkan Taufik Darwis. Sehabis itu, barulah kami selaku penonton sadar akan kediaman di meja masing-masing ternyata memiliki peran di drama tersebut, setelah Joker4 yang dilakoni Naufal W. Hakim hadir sebagai moderator. Kami tiba-tiba menjadi spect-actors5 yang berperan sebagai stakeholder dalam Konferensi Kampung Kota. Fasilitator memberikan kami sebuah map dan memberi masing-masing tema untuk membuat tanggapan mengenai paparan tadi yang nantinya setiap meja mempresentasikan hasilnya. Saran Pandang kemudian menjadi drama pertama di mana saya terlibat menjadi seorang aktor, itupun jika boleh dibilang demikian.

Terdapat satu mimbar dan lima meja yang diduduki oleh performance, para Joker, dan sisanya para stakeholder rancangan skenografer Agung Eko Sutrisno. Tentu meja saya dan dua meja lainnya disibukan dengan mengingat sekaligus diajak berpikir guna membangun opini yang solid. Untuk saya sendiri jauh dari solid, memang saya tak pernah punya bakat ceramah sedikitpun. Ketika giliran saya angkat kaki ke mimbar, saya sumbar meracau ihwal pembangunan kota melalui cara pandang Jane Jacobs, disisipi secercah Lefebvre, lalu berupaya mencocokannya dengan sebuah mitos Catching-up Development. Terbata-bata, gemetar, tiba-tiba lupa apa saja yang sudah ditulis, gagal; hasilnya luar biasa buruk. Tetapi racauan tetap, anggaplah, sebuah racauan.

Penulis: Rokky Rivandy

Editor: Dedi Muis

______________________

1 Makna karya seni pun bergeser. Karya seni tak lain daripada pencurahan sejumlah tenaga-kerja yang ditubuhkan dalam objek tertentu. Karena itu, esensi karya seni tidak terletak dalam kesubliman benda seni itu sendiri, melainkan dalam sistem pembagian kerja yang memungkinkan produksi benda tersebut. (Martin Suryajaya: 2016) diakses pada tanggal 17 April 2023 https://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/

2 Artworld merujuk pada jaringan institusi, organisasi, pelaku, dan praktik yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi seni. Istilah yang dipakai Arthur Danto pada tahun 1964 dalam esainya “The Artworld”.

3 Dari kesadaran yang berkembang bahwa karya seni tak lagi bisa diartikan sebagai benda tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial di balik benda, kemudian muncullah dorongan untuk membaca hubungan antara seni dan perubahan sosial secara baru. (Martin Suryajaya: 2016) diakses pada tanggal 17 April 2023 https://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/

4 Joker dalam Teater Forumnya Augusto Boal berfungsi membantu peleburan aktor dan penonton dalam mengembangkan sebuah drama.  Biasanya merupakan MC atau moderator forum. Istilah Joker digunakan Boal merujuk pada permainan kartu, dimana joker sebagai kartu liar yang tidak memiliki jenis apapun dan dapat mengubah nilai/peringkat.

5 Istilah yang diciptakan Boal bagi mereka yang terlibat dalam Teater Forum. Sebuah peran ganda sebagai penonton sekaligus aktor dalam menciptakan makna dan aksi drama dalam suatu pertunjukan.

Daftar Pustaka:

Boal, Augusto. 1992. Games For Actors And Non-Actors, trans. Adrian Jackson. London and New York: Routledge.

Boal, Augusto. 2008. Theatre of the Oppressed, trans. Charles A. McBride, et.al. London: Pluto Press.

Danto, Arthur C. 1964. “The Artworld”. In The Journal of Philosophy, Vol. 61, No. 19 (Oct. 15, 1964).

Freeman, Richard. (1996) The 1949 Housing Act versus ‘urban renewal’ dalam EIR Vol. 23, N0. 50, 13 Desember 1996.