Categories
Jam Istirahat

Kala Bumi Dijarah dan Majikan Sibuk Mencuci Dosa

Benarkah dongeng selalu identik dengan cerita-cerita lama yang terus didaur ulang atau memiliki premis cerita yang itu-itu saja?

Dapat dipastikan, anggapan itu tidaklah benar sepenuhnya. Dalam Tilik Bantala Hawa, karya terbaru Ratimaya, kamu akan sukar menemukan kisah-kisah yang mengajari kita nilai-nilai moralitas individual belaka.

Tilik Bantala Hawa lebih dari sekadar dongeng pengantar tidur. Ratimaya mengajak kita melihat lebih jauh keadaan bumi melalui untaian kisah yang ia rajut hingga babak akhir.

Ketika mulai membaca buku ini, kita akan mengira setiap bagian buku ini tidak saling terhubung. Namun, saat membaca buku ini hingga akhir, kita akan menemukan benang merah dari setiap kisahnya seperti kumpulan cerpen pada umumnya.

Secara keseluruhan, Tilik Bantala Hawa bercerita bagaimana makhluk hidup bertahan di tengah krisis sosial-ekologis yang disebabkan oleh industri-industri penjarah bumi. Kita akan menemukan banyak tokoh beserta persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tokohnya tentu saja bukan hanya manusia, ada pula hewan dan tumbuhan yang ikut serta.

Kisah-kisah dalam Tilik Bantala Hawa menjadi menarik ketika Ratimaya menyajikan sisi personal dalam kisahnya. Misalnya kisah Sata dan Sang Kakek yang terancam kehilangan ruang hidupnya. Sejak perusahaan tambang kapur menjamur, Sata telah kehilangan taman batu sebagai ruang bermainnya, sementara Sang Kakek terpaksa berhenti menjadi petani. Persoalan kian runyam, saat perusahaan tambang kapur turut mendatangkan banjir serta longsor yang lantas mengusir semua makhluk hidup yang berada di sana.

Tak hanya Sata dan Sang Kakek, terdapat juga kisah kawanan capung yang harus bermigrasi lantaran sumber air bersih di habitatnya raib oleh pertambangan kapur. Namun, ketika telah menemukan sumber air baru, kawanan capung terkejut melihat sumber air dikuasai pabrik-pabrik air minum kemasan.

Info pemesanan buku dapat diketahui lebih lanjut di instagram @ratimayya

Tentunya masih ada beragam kisah lain yang dapat para pembaca simak di buku ini. Apa yang hendak disampaikan Ratimaya dalam Tilik Bantala Hawa cukup tegas. Bahwa krisis sosial-ekologis bukan sebuah fenomena alam semata, melainkan rangkaian peristiwa penjarahan bumi yang menyejarah; yang berdampak besar terhadap kelangsungan hidup bumi dan seluruh makhluk yang hidup di atasnya.

Apa yang disuguhkan Ratimaya lewat Tilik Bantala Hawa sangat menarik bahkan jarang kita temui di kanon-kanon sastra anak Indonesia. Ia menghadirkan isu sosial-ekologis yang sangat dekat dengan kita. Mengingat krisis sosial – ekologis yang kian parah, maka buku ini sangat penting untuk dibaca seraya membayangkan bagaimana jika kehancuran bumi tak lagi dapat dicegah oleh siapa pun atau cara apa pun.

Hikayat Sarung Mangga

Dongeng Tilik Bantala Hawa menemukan dirinya dalam kisah perjuangan warga Desa Watusalam, Pekalongan, Jawa Tengah, melawan peracunan massal yang dilakukan oleh PT Panggung Jaya Indah Textile (PT Pajitex) terhadap ruang hidup mereka.

Warga Desa Watusalam mungkin tidak pernah menyangka kehadiran PT Pajitex akan membawa malapetaka bagi mereka. Di awal kehadirannya pada tahun 1986, PT Pajitex datang selayaknya politisi berkampanye: berjanji akan menyejahterakan warga dan ikut berpartisipasi mengembangkan ekonomi masyarakat Desa Watusalam. Tentu saja, warga menyambut semua niat baik tersebut.

Namun, terdapat sedikit kejanggalan dari pendirian PT Pajitex di Desa Watusalam. Mengingat tahun itu rezim militer Suharto tengah gencar-gencarnya melakukan industrialisasi dan mendorong arus investasi besar-besaran di Indonesia. Lalu, bagaimana PT Pajitex mendapatkan lahan dan perizinan mendirikan pabrik di Desa Watusalam? Entahlah, hanya para warga dan PT Pajitex yang bisa menjawab.

Sementara itu, PT Pajitex terus membangun kejayaannya dengan mempekerjakan 1.500 buruh. Sebagai produsen tekstil kondang, ia memproduksi bahan kain yang salah satunya diperuntukkan jenama sarung tersohor, Sarung Mangga. Sebagaimana kita tahu, sarung-sarung itu diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, yakni Timur Tengah dan Malaysia.

Melejitnya PT Pajitex sebagai produsen sarung ternama harus dibayar dengan kerusakan lingkungan di Desa Watusalam. PT Pajitex gelap mata demi meningkatkan target produksi.

Sejak tahun 2006, mereka menyimpan mesin boiler berbahan bakar batu bara dan cerobong asapnya berada di dekat pemukiman tanpa seizin warga. Tak merasa cukup, kemudian pada 2020, mereka meluaskan areal pabrik dan menyimpan kembali mesin boiler dengan cerobong asap lebih besar. Lagi-lagi dilakukan tanpa seizin warga.

Warga Desa Watusalam naik pitam. Pasalnya, limbah produksi berbahan bakar batu bara itu berbau pekat dan membuat udara di lingkungan sekitarnya tak layak untuk dihirup. Belum lagi, bising suara mesin mengganggu aktivitas warga. Kendati warga sudah protes berkali-kali, PT Pajitex tetap bergeming. Mereka melanjutkan aktivitas produksi seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa di Desa Watusalam.

Beberapa kali instansi pemerintah setempat ikut didemo warga Desa Watusalam. Warga menyampaikan berbagai keluhan mereka terhadap pencemaran limbah PT Pajitex. Namun, pemerintah hanya bisa mendengar tanpa melakukan upaya apa pun yang mendukung perjuangan warga.

Lain hari, lain cerita. Keesokan hari usai warga menggeruduk pabrik, dua orang warga dikriminalisasi karena dituduh merusak properti pabrik. Masalah pun kian rumit, perjuangan warga makin terjal. Tak hanya mengriminalisasi, PT Pajitex mengadu domba warga dengan para buruhnya melalui narasi “pabrik akan ditutup warga”, memecah belah perjuangan warga serta mengiming-imingi ganti rugi dan lapangan pekerjaan, yang tentunya tak sepadan dengan kerusakan lingkungan di Desa Watusalam.

Belakangan diketahui bahwa PT Pajitex sering mengakali pengawas Dinas Lingkungan Hidup (DLHK). Mereka menyuruh para buruh untuk tidak membuang limbah cair pada hari-hari tertentu saat pengawas datang ke pabrik. Hal ini dilakukan untuk menutupi tindakan pencemaran lingkungan. Sebab bak penampungan limbah mesin pencelup yang tidak mampu menampung air buangan limbah, lantas limbah dibuang begitu saja ke saluran drainase yang bermuara ke Sungai Kupang tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

Walhasil Sungai Kupang tercemar limbah. Begitu pun air sumur bawah tanah milik warga, berubah warna menjadi hitam pekat dan sangat bau. Air menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Bahkan mungkin cacing tanah atau kawanan capung akan memilih pergi dari Desa Watusalam.

Sebelum konflik mencuat di Desa Watusalam, PT Pajitex sempat memberikan uang tombo kebul atau uang ganti rugi kerusakan lingkungan berkisar Rp175.000-Rp 300.000 serta Sarung Mangga kepada warga terdampak atas ulah mereka. Selain itu, mereka juga membujuk warga untuk menjadi buruh di perusahaan mereka. Jika tidak berminat, PT Pajitex sesekali akan memaklunkan pekerjaan kepada warga.

Begitulah kisah para majikan yang menasbihkan dirinya sebagai pusat semesta bumi dan manusia paling berkuasa di bumi. Kehidupan di bumi hanyalah sekadar angka. Ketika kepunahan di depan mata; para majikan akan sibuk mencuci dosa dengan berbagai cara untuk menjaga citra mereka tetap baik dan memastikan bisnis terus berjalan tanpa gangguan apa pun.

Penulis: Baskara Hendarto

Editor: Dachlan Bekti