Halo. Perkenalkan namaku Icha. Buruh perempuan yang bekerja di sebuah pabrik pemintalan benang di Cikancung, Majalaya, Kabupaten Bandung.
Aku sudah bekerja di pabrik itu sejak lulus SMA 2015 lalu. Begitu dapat surat kelulusan, Bi Tini langsung mengajaku ke sana untuk bekerja pabrik itu. Bi Tini bilang, 20 tahun bekerja di sana membuat dia dihargai oleh para bos sehingga ia memiliki jatah untuk memasukan pekerja.
Selepas lulus SMA, aku sebenarnya ingin lanjut kuliah. Mewujudkan cita-cita untuk menjadi guru Bahasa Inggris. Hahahaha. Meski belet, aku tetap nekat berangan-angan jadi guru Bahasa Inggris. Alasannya, keren aja kelihatannya sih bisa ngomong bahasanya orang bule. Lebih keren lagi kalo bisa ngajarin orang lain bahasanya orang bule. Ia kan?
Cita-cita ini sudah aku sampaikan pada emak dan bapak jauh sebelum aku lulus SMA. Tapi, huft…. Emak dan bapak malah tertawa mendengar keinginan anak perempuan cantiknya ini. Mereka bilang, aku ngomong aja balelol. Selain itu, bapak bilang penghasilannya sebagai driver delman tak akan mampu untuk membiayai kuliahku.
Aku masih ingat. Pertengahan Mei 2015, aku lupa tanggal pastinya. Cita-citaku untuk kuliah Bahasa Inggris kandas beberapa menit setelah aku menerima surat pengumuman kelulusan dari pak pos.
Saat itu, pak pos datang siang hari. Di rumah ada bapak yang sedang istirahat narik delman. Ada emak dan juga adiknya, Bi Tini. Sedangkan dua adik lelakiku belum pulang dari sekolah.
Aku membuka amplop di hadapan emak, bapak dan Bi Tini. “Lulus,” kubilang pada mereka. Semua mengucap syukur pada yang maha kuasa. Emak dan Bi Tini memeluku erat.
Tak lama setelah itu, aku kembali memohon pada emak dan bapak agar mau menguliahkanku di UPI. Aku bilang, saat ini tengah dibuka pendaftaran SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Aku minta emak dan bapak merestuiku mengikut SBMPTN.
Mendengar permintaanku, emak dan bapak saling memandang. Emak kemudian memeluk dan mengusap-usap kepalaku. Aku sudah paham, ini sinyalemen mereka menolak permohonanku.
Bi Tini kemudian angkat bicara. Ia bertanya mengapa aku mau kuliah keguruan. “Coba liat sama eneng anaknya Mang Ayi, si Robi. Mang Ayi dulu sampe jual sawah buat nguliahin anaknya jadi guru. Eh udah lulus, boro-boro keganti duitnya. Gaji sebulan si Robi ngajar di madrasah lebih kecil dari gaji bibi seminggu kerja di pabrik,” ujar Bi Tini.
“Mang Ayi bisa ngajual sawah. Ai bapak ngajual naon atuh neng. Delman wae nu batur,” timpal bapak.
Aku merasa sangat kecewa. Berita kelulusan setelah tiga tahun di SMA seakan tidak ada artinya.
Bapak kemudian mencoba menghiburku. Ia berkata, orangtua mana yang tidak ingin anaknya meneruskan sekolah hingga menjadi sarjana. Setiap selesai shalat, bapak mengaku selalu berdoa agar aku dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menjalani kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka.
“Bapak pengennya mah kamu lebih baik dari emak sama bapak nasibnya neng geulis. Bapak mah malah udah punya impian kalau kamu diwisuda, kita sekeluarga datang pake delman,” ujar bapak mencoba menghiburku.
“Kalau kata ibu, eneng kerja aja dulu sama Bi Tini. Insya Allah kalau emak sama bapak dapet rejeki, Eneng bisa berhenti kerja terus kuliah,” timpal ibu.
“Senin depan bibi shif pagi neng. Kalau neng mau, nanti ikut bibi ke pabrik. Pake baju rapih, bawa lamaran,” ujar Bibi.
Aku mengangguk. “Tapi ijazahnya belum keluar bi,” kataku.
“Ga apa-apa neng. Nanti neng Senin masukin lamaran, Selasa langsung kerja,” jawab bi Tini.
Aku hanya bisa mengangguk lagi lalu pamit ke kamar. Di kamar yang pengap dan lembab itu, aku berbaring di kasur sambil memeluk guling dan larut dalam kesedihan. Ah, jadi buruh pabrik. Sesuatu yang tidak pernah aku inginkan sebelumnya.