Perusahaan subkontraktor tier 2 Toyota, PT Nanbu Plastics Indonesia (NPI) telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap buruhnya pada 1-2 April 2018. Perusahaan juga tidak memberikan surat PHK secara tertulis kepada buruh.
Perusahaan langsung melakukan pengusiran terhadap buruh. Buruh hanya diberikan waktu 15 menit untuk berkemas di bawah ancaman preman dan sekuriti pabrik. Kunci sekretariat serikat buruh juga dirampas. Bahkan polisi dan tentara berseragam juga terlihat berada di sekitar pabrik.
Dalam daftar PHK perusahaan, 61 buruh di-PHK, termasuk di dalamnya yang dipecat secara bertahap. Tanpa pandang bulu, Nanbu juga memberhentikan seorang buruh perempuan yang sedang hamil enam bulan. Nanbu belum juga bertanggung jawab terhadap buruh perempuan korban kecelakaan kerja, kini ditambah lagi dengan PHK terhadap ibu hamil. Nanbu benar-benar menjadi perusahaan yang bersikap kejam terhadap perempuan.
Saat ini, 33 buruh menyatakan menolak PHK dan lebih memilih tetap bekerja di perusahaan demi kelangsungan hidupnya. Apalagi perusahaan melakukan rekrutmen tenaga kerja baru yang semakin membuktikan bahwa PHK dengan alasan efisiensi tidak dapat diterima.
Masalah ini berawal dari advokasi yang kami lakukan terhadap korban kecelakaan kerja, Atika Nafitasari, dan delapan buruh kontrak lainnya. Kami menuntut kepada PT NPI agar Atika dan delapan buruh kontrak lainnya diangkat menjadi karyawan tetap, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Perusahaan menolak melakukan pengangkatan dalam perundingan bipartit yang dilakukan sebanyak tiga kali: 10 Januari 2018, 17 Januari 2018, dan 19 Januari 2018. Perusahaan justru melakukan PHK terhadap Atika pada hari yang sama dengan perundingan ketiga, dengan alasan kontrak kerja telah berakhir. Padahal status kasus ini masih dalam perselisihan. Sesuai dengan Pasal 153 UU No. 13/2003, pada pokoknya buruh yang mengalami kecelakaan kerja tidak dapat dikenai PHK.
Kami juga telah melaporkan kasus ini kepada Bidang Pengawasan Wilayah II Jawa Barat pada 13 Februari 2018 dan melaporkan kasus kecelakaan kerja Atika ke BPJS Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi pada 1 Maret 2018.
Dalam laporan ke BPJSK, kami menilai ada unsur kelalaian perusahaan dalam penanganan kecelakaan kerja Atika. Jari tengah kanannya terpotong setengah ruas pada 26 September 2016. Pada saat mengalami kecelakaan kerja, Atika belum memiliki kartu BPJSK. Padahal dia telah bekerja selama delapan bulan di perusahaan. Akibatnya, penanganan operasi Atika tertunda selama 19 jam sehingga jarinya tidak dapat disambung kembali. Setelah setahun, kondisi luka Atika juga kembali membusuk sehingga perlu diamputasi kembali.
Akhirnya kami melakukan aksi protes kepada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Sunter, Jakarta Utara, 8 Maret 2018. Toyota harus bertanggung jawab atas kasus yang terjadi di perusahaan subkontraktornya. Hal ini sesuai dengan ketentuan kode etik (code of conduct) Toyota Global yang mengharuskan perusahaan-perusahaan pemasoknya menghormati hukum yang berlaku di suatu negara tempat perusahaan tersebut berlaku, mengakui hak-hak pekerja dan hak asasi manusia, serta tidak melakukan diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Sementara itu, pada hari yang sama, pengawas dari Bidang Pengawasan Wilayah II Jawa Barat juga mendatangi pabrik Nanbu untuk melakukan pemeriksaan. Sampai saat ini, nota hasil pemeriksaan itu belum juga diterbitkan oleh lembaga pengawas.
Tiga kali mediasi antara Serikat Buruh Bumi Manusia (SEBUMI) PT NPI dan manajemen PT NPI yang dijadwalkan oleh Disnaker Kab. Bekasi pada 20 Maret 2018, 27 Maret 2018, dan 29 Maret 2018, tidak bisa terlaksana karena manajemen tidak mampu menunjukkan surat kuasa khusus. Hal ini adalah bukti bahwa perusahaan tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan dengan Atika dan delapan buruh kontrak lainnya.
PT NPI malah melakukan PHK sepihak terhadap pengurus dan anggota SEBUMI karena memberikan pembelaan terhadap sembilan buruh kontrak. Karena pembelaan itu, lebih dari 30 buruh dikenai PHK.
Kami menduga PHK tersebut adalah upaya pemberangusan serikat pekerja, yang bisa dilihat dari PHK yang dilakukan terhadap pengurus inti SEBUMI PT NPI, termasuk ketua, wakil ketua dan sekretaris. Kami menilai adanya keterlibatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam PHK sepihak ini, karena Manajer HRD PT NPI Richard Sinanu adalah pengurus Apindo Kab. Bekasi.
Dalam surat bernomor NPI-2018/EXT/HRGA-II-01 yang dilayangkan Richard Sinanu, dikatakan bahwa buruh-buruh itu dikenai PHK karena berperilaku tidak baik, menolak perintah kerja atasan, dan melakukan aksi di customer PT NPI yang mencemarkan nama baik perusahaan. Aksi yang dimaksud adalah unjuk rasa di PT TMMIN, 8 Maret 2018.
Adalah tidak benar jika buruh bekerja tidak baik dan menolak perintah kerja atasan. Selama ini buruh bekerja dengan baik di bagian masing-masing dan dengan presensi (kehadiran) kerja yang bagus. Lagi pula perusahaan tidak bisa melakukan PHK sepihak tanpa diawali dengan surat peringatan 1, 2, dan 3.
Unjuk rasa yang kami lakukan pada 8 Maret 2018, memiliki dasar yang jelas. Buruh menuntut tanggung jawab Toyota atas kecelakaan kerja dan penyimpangan penggunaan PKWT yang terjadi di perusahaan pemasoknya.
Selain itu, unjuk rasa adalah hak setiap warga negara yang dijamin dalam UU No. 9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi yang dilakukan oleh buruh sudah sesuai dengan ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan Richard Sinanu sebagai HR PT NPI membuat masalah ini semakin berlarut-larut dan makin menjerumuskan PT NPI dalam tindakan pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Padahal hukum ketenagakerjaan dibuat untuk dipatuhi oleh siapa pun tanpa terkecuali, termasuk juga perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia.
Sejak tahun 1974, perusahaan-perusahaan Jepang termasuk Toyota, mendapatkan kemudahan investasi di bawah rezim Suharto Orde Baru. Kemudahan tersebut mencakup upah buruh yang murah dan status kerja buruh yang fleksibel dalam bentuk buruh kontrak (PKWT), outsourcing dan pemagangan.
Sebetulnya, di dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, penggunaan buruh kontrak (PKWT) dibatasi di bidang produksi yang bersifat tidak tetap, musiman, produk baru, dan masa percobaan yang tidak lebih dari tiga tahun. Namun banyak perusahaan menggunakan buruh kontrak di bidang produksi yang bersifat tetap dan terus-menerus.
Dalam kasus Nanbu, Nanbu mempekerjakan buruh kontrak sebanyak 305 orang dari 648 keseluruhan jumlah pekerja. Dari 305 orang, sebanyak 275 buruh adalah perempuan (hasil inspeksi Bidang Pengawasan Wilayah II Jawa Barat, 8 Maret 2018). Jumlah ini hampir mencapai 50 persen pekerja, padahal Nanbu telah berdiri selama 8 tahun sejak tahun 2010. Sebagian besar buruh kontrak ditempatkan di bidang produksi yang bersifat tetap dan terus-menerus.
Penggunaan tenaga kerja fleksibel dalam jumlah yang sangat berlebihan semakin memperlihatkan wujud asli dari sistem ekonomi yang digunakan di Indonesia, yakni kapitalisme-neoliberal. Salah satu dari rumus kebijakan ekonomi neoliberal adalah liberalisme pasar, termasuk pasar tenaga kerja. Rumus ekonomi neoliberal merupakan syarat utang luar negeri yang diberikan oleh lembaga-lembaga donor internasional kepada Pemerintah Indonesia.
Pemerintahan Suharto menandatangani kesepakatan Letter of Intent (LoI) dengan Lembaga Moneter Internasional (IMF) yang isinya adalah pencabutan subsidi, privatisasi aset-aset negara, liberalisasi pasar dan investasi.
Dalam UU No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan, istilah “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)” mulai diperkenalkan dalam Pasal 17 UU tersebut. PKWT kembali dimasukkan ke dalam UU No. 13/2003 dan kemudian diatur lagi di dalam Permenaker 100/2004. PKWT semakin memaksimalkan keuntungan pengusaha karena senantiasa mendapatkan buruh baru yang masih segar, tidak berserikat dan penurut.
Penyediaan tenaga kerja murah juga ditopang dengan pembukaan sekolah-sekolah kejuruan dan yayasan-yayasan penyalur tenaga kerja. Saat ini sekolah-sekolah kejuruan juga dibuka di area kawasan industri sehingga dapat dimobilisasi untuk langsung bekerja di pabrik-pabrik menggantikan buruh-buruh lama. Posisi tawar buruh semakin melemah karena lebih mudah digantikan. Legalisasi pemagangan dalam Permenaker No. 36/2016 semakin memperdalam praktik pasar tenaga kerja fleksibel.
Buruh kontrak semakin dipersulit dengan adanya pembatasan usia sebagai syarat rekrutmen tenaga kerja. Lowongan pekerjaan hanya dibuka untuk tenaga kerja usia 23 sampai 25 tahun. Jika buruh mencapai usia 25 tahun, maka kecil kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan. Persaingan kerja menyuburkan praktik percaloan di mana buruh terpaksa membayar Rp3-5 juta bahkan lebih, untuk dapat bekerja sebagai buruh di pabrik.
Pengesahan PP 78/2015 tentang Pengupahan yang membatasi kenaikan upah, semakin meningkatkan amunisi pengusaha untuk mendapatkan profit yang setinggi-tingginya. Pemerintah berusaha mengondisikan kemudahan investasi dengan segala cara, termasuk menjadikan sejumlah kawasan industri menjadi objek vital. Melalui SK No. 466/M-IND/Kep/8/2014, pemerintah menetapkan 63 perusahaan dan kawasan industri sebagai obyek vital nasional.
Perusahaan Jepang benar-benar menikmati iklim investasi yang menguntungkan karena buruh murah dan fleksibel. Hal yang tidak mungkin bisa mereka nikmati jika berinvestasi di negerinya sendiri. Saat ini Jepang sedang mengalami kemunduran ekonomi yang ditandai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, deflasi, dan kekurangan tenaga kerja. Pemerintah Jepang baru saja menaikkan usia pensiun menjadi 71 tahun.
Dominasi perusahaan Jepang di sektor manufaktur Indonesia tergambar dalam data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2016. Tren investasi modal dari Jepang meningkat dari USD1,5 miliar pada tahun 2011 menjadi USD5,4 miliar pada tahun 2016. Lebih dari 1750 perusahaan Jepang beroperasi di Indonesia dan lebih dari 80 persen berada di sektor manufaktur.
Penguasaan investasi Jepang juga memungkinkan mereka melakukan persekongkolan harga untuk memeras konsumen di Indonesia. Yamaha dan Honda berkomplot menjual motor matic yang biaya produksinya cuma Rp7-8 juta dengan harga di atas Rp15 juta. Bahkan, perusahaan sebesar Toyota pun pernah tersandung kasus menghindari pajak negara senilai Rp1,2 triliun yang mencuat pada tahun 2013.
Pabrikan Jepang menguasai 96 persen pangsa pasar otomotif di Indonesia. Pada tahun 2016, Toyota menguasai pasar penjualan mobil dengan penjualan sebanyak 238.795 unit, posisi kedua ditempati Honda dengan 136.058 unit. Posisi selanjutnya dipegang oleh Daihatsu sebanyak 116.999 unit (pemiliknya juga Toyota Motor Corporation), Mitsubishi 64.929 unit, Suzuki 61.176 unit, Datsun 23.028 unit, Hino 13.624 unit, Nissan 9.980 unit dan Isuzu 10.041 unit.
Toyota sendiri sudah berdiri kurang lebih 43 tahun di Indonesia dengan mendapatkan konsesi dari rezim Orde Baru. Toyota mengekspor kendaraan ke 72 negara dan menguasai lebih 80 persen ekspor otomotif nasional. Produksi Toyota ditopang oleh 120 ribu buruh, termasuk yang tersebar di 798 perusahaan pemasok tier 1, tier 2 dan tier 3. Kesejahteraan dan gaji 9.000 buruh Toyota memang sering kali dianggap sudah layak, tapi bagaimana dengan nasib 100 ribuan buruh di pabrik-pabrik pemasok (vendor) Toyota?
Kasus kecelakaan kerja dan PHK massal yang terjadi di perusahaan pemasok tier 2 Toyota, PT NPI, adalah potret penderitaan buruh Indonesia dalam rantai produksi industri otomotif Jepang di Indonesia.
Esensi dari penjajahan adalah perampokan kekayaan baik dalam bentuk perampokan sumber daya alam maupun penghisapan hasil kerja manusia di suatu negeri. Di satu sisi, korporasi seperti Toyota mampu berproduksi dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan di sisi lain ada nasib buruh yang mengalami kondisi kerja yang buruk dan diperlakukan secara tidak adil.
Dewasa ini metode penjajahan tidak lagi menggunakan model kolonialisme yang merampas kekayaan dan kedaulatan suatu negeri seperti di masa lalu. Yang terbaru adalah dalam bentuk penjajahan modal yang difasilitasi oleh negara yang dijajah. Penguasaan Jepang di sektor manufaktur adalah bentuk penjajahan yang mudah kita saksikan dan dirasakan langsung oleh buruh.
Manajemen usaha yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan nasib buruh kelihatannya menguntungkan dunia usaha. Namun pada akhirnya, model semacam ini akan menciptakan destabilisasi ekonomi dan sosial, bahkan krisis ekonomi yang tidak saja akan semakin memperburuk kondisi kaum pekerja, tetapi juga akan menekan kembali keuntungan pengusaha.
Kami menolak diam lebih lama lagi. Kami akan melakukan aksi serentak di berbagai kota untuk menuntut:
- Hentikan penjajahan modal Jepang terhadap buruh dan ekonomi rakyat Indonesia.
- Tolak PHK terhadap buruh dan pekerjakan kembali 41 buruh subkontraktor Toyota di PT Nanbu Plastics Indonesia (PT NPI).
- Angkat Atika dan delapan buruh kontrak lainnya menjadi karyawan tetap dan perusahaan harus bertanggung jawab.
- Toyota harus memastikan PT NPI agar mempekerjakan buruh yang telah dikenai PHK dan mengangkat Atika dkk, menjadi karyawan tetap, serta menyediakan fasilitas kesehatan untuk penyembuhan Atika.
- Hentikan keterlibatan tentara dan milisi sipil (preman) dalam sengketa ketenagakerjaan dan pengamanan pabrik serta kawasan industri.
- Hentikan upaya-upaya pemberangusan serikat buruh (union busting) di PT Nanbu Plastics Indonesia.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Atas perhatian dan solidaritas kawan-kawan, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 06 April 2018
Hormat kami,
SEBUMI PT NPI
Faisal Al-Rahmad
Ketua
(0812-8196-194)
Didukung oleh:
Komite Solidaritas untuk Perjuangan Buruh Nanbu (KSPBN)
Samsi Mahmud
Koordinator
(0823-4885-3652)