Categories
Editorial

Habis Umur di Tempat Kerja

Edisi Khusus May Day 2019

Beberapa hari mendatang, kita, kaum buruh akan kembali menyambut May Day, hari buruh internasional. Sekali lagi, kita akan mengenang peristiwa pemogokan Hay Market 1886 yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam.

Mesti kita ingat, May Day telah ditetapkan sebagai hari libur nasional sejak 2013. Hari libur, bukan hari kerja. Semoga pada hari itu, seluruh buruh menikmati kesempatan untuk memperingati May Day, berpawai, bertemu teman-teman dan menikmati libur kerja seharian. Semoga tak ada perusahaan tamak yang diam-diam beroperasi dan memaksa buruhnya untuk tetap masuk kerja, dengan iming-iming uang lembur dua kali lipat. Semoga tak ada serikat buruh yang, sekedar berbasa-basi mengirim segelintir perwakilan untuk merayakan May Day, dan membiarkan teman-temannya sendiri mandi keringat menjalankan mesin produksi.

Meski peringatan May Day sekarang sudah dapat dilakukan secara terbuka–tak perlu lagi  sembunyi-sembunyi seperti pada jaman Orde Baru–soal jam kerja panjang belum sepenuhnya terhapuskan. Masih banyak buruh di berbagai sektor industri yang merupakan kaum “pergi pagi pulang petang (dan dengan pendapatan tetap pas-pasan).” Kaum yang menjalani hari-hari kerja panjang yang bukan saja membosankan dan melelahkan, tapi juga membuat otak jadi bodoh dan membikin umur terlalu banyak dihabiskan di tempat kerja.

Menyambut May Day 2019, Trimurti.id menghidangkan Edisi Khusus tentang jam kerja.

Untuk menulis edisi khusus ini, redaksi Trimurti.id menemui dan berdiskusi dengan beberapa pengurus serikat buruh. Bersama mereka, kami menelusuri berbagai hal tentang jam kerja. Apa sebab buruh harus menghabiskan waktu demikian panjang di tempat kerja? Mungkinkah untuk memperpendek jam kerja, agar lebih manusiawi? Agar buruh berkesempatan untuk mengembangkan diri dan berserikat?

Dalam diskusi tersebut, aktivis serikat buruh mengingatkan redaksi Trimurti.id bahwa

masalah jam kerja panjang sukar dilepaskan dari kebijakan upah murah. Lantaran upah keterlaluan rendah, buruh—terutama di sektor padat karya—menjelma menjadi mahluk pemburu upah lembur, yang membiarkan tubuhnya rontok didera jam kerja panjang. Gara-gara upah murah pula, buruh terpaksa menjalani pekerjaan kedua atau membuat usaha sampingan dengan memasarkan perkakas rumah, produk kecantikan atau menjadi pengemudi ojek. Singkatnya, terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk mencari uang.

Sesudah soal upah murah, perkara serius berikutnya adalah hubungan kerja kontrak dan outsourcing. Hubungan kerja rawan-pecat itu membuat buruh kehabisan daya tawar. Karena takut kontrak kerjanya diputus, buruh tak berani menolak perintah untuk kerja lembur. Termasuk lembur pada hari peringatan May Day.

Tampaknya, dibutuhkan perjuangan yang panjang agar jam kerja menjadi lebih pendek, masuk akal, dan manusiawi. Sementara itu, di tempat kerja, buruh terus menyaksikan berbagai akal bulus dan kreativitas untuk mempertahankan jam kerja yang panjang. Agar jam kerja yang panjang ini tetap bertahan, pengusaha dengan berbagai siasatnya, mengarang istilah semisal jam loyalitas atau menyewa penceramah/motivator yang berbicara tentang etos kerja dan kemuliaan dari orang yang mau bekerja keras. Untuk membujuk atau memaksa buruh rajin bekerja, diciptakan berbagai skema target produksi dan piagam-piagam penghargaan. Berulang-ulang pula juru bicara kalangan pengusaha melontarkan pendapat, atau tuduhan, bahwa buruh Indonesia manja dan penuntut, tapi produktivitasnya rendah.

Belum lama ini, pengusaha Jack Ma membuat orang mengerenyitkan kening dengan anjurannya. Katanya, buruh hendaknya bersiap diri untuk bekerja dengan jadwal 996. Maksudnya, bekerjalah dari jam sembilan pagi sampai sembilan malam dan enam hari kerja dalam seminggu. Jika pandangan-pandangan itu tetap dibiarkan tanpa ada sanggahan. Maka, bersiaplah pada suatu hari nanti jam kerja panjang akan dianggap sebagai kelaziman baru yang disetujui begitu saja di seluruh dunia. Padahal, jam kerja panjang dapat membunuhmu.

Pada Edisi Khusus May Day 2019 ini, Trimurti.id akan menurunkan beberapa laporan lapangan tentang kondisi kerja dan jam kerja buruh di beberapa sektor industri: pengolahan (manufaktur), perdagangan eceran, plus satu jenis pekerjaan yang saat ini semakin meluas yakni ojek online. Belakangan ini semakin banyak pula buruh industrial yang, sehabis kerja di pabrik, mencari pendapatan tambahan sebagai pengemudi ojol. Supaya lebih lengkap dan afdol, salah satu tulisan dalam Edisi Khusus ini akan menampilkan perubahan regulasi tentang jam kerja di Indonesia dari jaman ke jaman. Seluruh tulisan akan kami tayangkan berturut-turut dalam beberapa hari ke depan.

Seperti semua mahfum, Mayday tahun 2019 ini diperingati dalam suasana paska pemilihan umum dan pemilihan presiden yang hingar bingar. Ketika pengantar ini ditulis, berbagai media mengabarkan, sudah 119 orang anggota Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara (KPPS) yang meninggal, akibat bekerja berlebihan hingga berjam-jam. Trimurti.id mengucapkan hormat dan  belasungkawa sedalam-dalamnya atas kejadian tersebut.

Terakhir, selamat menikmati Edisi Khusus May Day 2019. Hidup buruh!

 

Salam,

Redaksi.

Koordinator Liputan Khusus: Rinaldi Fitra R.

Reporter: Hirson Kharisma, Rehza Pratama, Rinaldi Fitra R, Syawahidul Haq, Siti Hayati

Grafik, Photo, Perwajahan: Safa Destyana. Wirdan Ardi.