Trimurti.id–Pemborong penebangan tebu enggan mempekerjakan perempuan yang menstruasi, operasi histerektomi menjadi sesuatu yang normal karenanya.
“Anda akan sulit menemukan perempuan yang memiliki rahim di desa-desa ini. Inilah desa-desa perempuan tak berahim,” ujar Manda Ugale dengan kesedihan di matanya. Sambil duduk di rumah kecilnya di Desa Hajipur, distrik Beed, wilayah Marathwada, negara bagian Maharashtra yang dilanda kekeringan, Manda berusaha untuk menceritakan topik yang menyakitkan ini.
Para perempuan di Vanjarwadi, wilayah yang 50% perempuannya telah melakukan histerektomi, mengatakan bahwa mengangkat uterus setelah dikaruniai dua atau tiga anak merupakan hal yang “normal” di desa ini.
Mayoritas perempuan di sana merupakan penebang tebu dan bermigrasi ke daerah “sabuk gula”[1] Maharashtra barat selama musim potong tebu. Saat kekeringan di desanya semakin parah, jumlah imigran semakin berlipat ganda. “The Mukadam (pemborong) lebih tertarik merekrut perempuan tanpa rahim sebagai penebang tebunya,” terang Satyabhama, salah satu perempuan yang jadi penebang tebu.
Seratus ribuan laki-laki dan perempuan dari daerah tersebut bermigrasi untuk bekerja sebagai penebang tebu antara Oktober hingga Maret. Pemborong membuat kontrak dengan suami dan istri dihitung sebagai satu unit tenaga kerja. Penebangan tebu merupakan serangkaian proses kerja yang keras dan jika sang suami atau sang istri libur selama sehari, mereka harus membayar denda 500 rupee per hari kepada pemborong.
Menstruasi Menghambat Pekerjaan
Menstruasi menghambat pekerjaan dan bisa menyebabkan denda. Melakukan histerektomi, di distrik Beed, adalah jawabannya. Sehingga para perempuan akan berhenti menstruasi.
“Setelah operasi histerektomi, (para perempuan) tidak akan lagi mengalami menstruasi. Jadi tidak harus beristirahat lagi (karena menstruasi) selama masa potong tebu. Kita tidak boleh kehilangan barang satu rupee pun,” tambah Satyabhama. Pemborong berkata bahwa selama menstruasi, perempuan sering mengajukan libur satu atau dua hari dan pekerjaan jadi terhambat.
“Kami punya target untuk diselesaikan dalam waktu singkat, maka dari itu kami tidak ingin perempuan yang mungkin mengalami menstruasi sewaktu masa potong tebu,” kata Dada Patil, seorang pemborong. Patil bersikeras bahwa dia dan pemborong lainnya tidak memaksa para perempuan itu melakukan operasi; malahan itu adalah pilihan yang dibuat keluarga para perempuan di sana.
Menariknya, para perempuan berkata bahwa pemborong memberi mereka pinjaman uang untuk operasi dan uang itu nanti akan dipotong dari gaji mereka.
Achyut Borgaonkar dari Tathapi, sebuah organisasi yang melakukan studi atas masalah ini, mengatakan: “Dalam komunitas penebang tebu, menstruasi dipandang sebagai suatu masalah dan mereka berpikir bahwa operasi hanyalah satu-satunya jalan untuk mengatasi hal ini. Namun hal ini berdampak serius pada kesehatan perempuan karena mereka bisa mengalami ketidakseimbangan hormon, masalah mental, bertambahnya berat badan, dan sebagainya. Kami mendapati bahwa gadis-gadis muda umur 25 tahun juga bahkan telah melakukan operasi ini.”
Alasannya
Bandu Ugale, suami Satyabhama yang juga seorang penebang tebu, menjelaskan logika di balik praktik histerektomi. “Sepasang suami istri mendapat upah sekitar 250 rupee setelah menebang satu ton batang tebu. Dalam sehari kami bisa menebang sekitar 3-4 ton tebu, dan dalam satu musim potong—sekitar 4-5 bulan—sepasang suami istri bisa menebang hingga 300 ton batang tebu. Apa yang kita dapat selama musim potong adalah pendapatan tahunan kami, karena kami tidak bisa mendapat pekerjaan apa pun setelah kami selesai menebang tebu,” ujar Ugale.
“Kita tidak boleh libur bahkan walau hanya sehari. Tidak ada istirahat dan perempuan yang menstruasi hanyalah masalah tambahan,” jelasnya.
Perempuan berumur 70 tahunan bernama Vilabai menilai bahwa hidup seorang perempuan penebang tebu sangat menyedihkan. Dia mengisyaratkan bahwa ada eksploitasi seksual secara berulang kepada para perempuan oleh pemborong dan anak buahnya.
“Para penebang tebu harus hidup di ladang tebu atau di kemah dekat pabrik gula. Tidak ada kamar mandi dan toilet. (Karenanya) menjadi semakin sulit bagi perempuan yang sedang menstruasi dalam kondisi-kondisi tersebut,” perempuan itu menambahkan.
Banyak perempuan di desa-desa yang gersang ini mengatakan bahwa para praktisi medis swasta akan merekomendasikan operasi histerektomi, bahkan ketika mereka mengeluhkan sakit perut biasa atau keputihan.
Penerjemah: Anzhary, aktivis Kolektif Angin Malam
Editor: Dachlan Bekti
[1] Daerah sabuk gula India merupakan daerah-daerah utama penghasil gula di India, antara lain: Uttar Pradesh, Maharashtra, Karnataka, Tamilnadu, Bihar, Gujarat, Andhra Pradesh, Telangana, Haryana, Punjab, dan Uttarkhand.