Trimurti.id, Bandung – Hari ini, 8 Maret 2023, kembali kita memperingati Hari Perempuan Sedunia (HPS). Pastilah perlu, pada hari ini, kita merenungkan utang kita pada semua perempuan pemberani dari semua belahan bumi, yang di masa lalu tanpa ragu mendesakkan tuntutan-tuntutan yang penting untuk mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis, lebih berkeadilan dan berkemanusiaan.
Sekedar pengingat, pada 8 Maret 1857 – lebih dari 150 tahun yang lalu – perempuan-perempuan buruh tekstil di New York, Amerika, menuntut upah yang setara dengan buruh laki-laki. Zaman berkembang, tuntutan kaum perempuan juga berkembang.
Di kemudian hari, mereka menuntut jam kerja yang waras, hak untuk ikut pemilu, dan menolak semua bentuk pemiskinan dan penindasan. Masih di lekat dalam ingatan, entah berapa ribu perempuan di seluruh dunia ikut serta dalam MeToo Movement, gerakan global yang menentang pelecehan seksual.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada hari ini kita akan menyaksikan kembali pemandangan yang serupa. Pendukung gerakan perempuan –organisasi perempuan, serikat buruh – dengan wajah riang akan berkumpul, entah di taman publik atau di depan kantor pemerintah.
Massa aksi HPS akan saling menyapa, saling menyemangati dan menguatkan. Tentu akan ada renungan untuk semua perlawanan yang sudah ditempuh. Dan mereka tak akan lupa untuk mengutuk semua pelucutan hak buruh-buruh perempuan. Mudah-mudahan, pada tahun ini di lebih banyak kota ada lebih banyak orang yang bergabung dalam peringatan HPS.
Tidak ada yang aneh pula, jika pada hari yang sama merek-merek dan perusahaan-perusahaan global akan membayar konsultan periklanan atau menugaskan bagian public relationship-nya untuk menyemarakkan HPS dan menyapa seluruh perempuan di dunia.
Dunia maya dan marketplace akan dipenuhi iklan yang mengidolakan perempuan modern yang cantik, pintar, dan mandiri. Perempuan yang dimaksud, tidak harus punya pekerjaan dan upah yang layak atau jaminan pekerjaan tetap. Asalkan, mereka cukup untuk memilih produk yang tepat dan cukup mandiri untuk membelanjakan uang. Baik uangnya sendiri maupun yang disediakan fasilitas paylater dan kartu kredit. Sama sekali bukan gagasan pemasaran cemerlang bila L’Oreal mengeluarkan produk kecantikan khusus HPS. Atau Visa dan Mastercard menerbitkan kartu kredit seri HPS. Bagi mereka, perempuan adalah sekedar konsumen perempuan. Sudah, itu saja.
Pada hari yang sama, pengurus negara bagian perburuhan dapat dipastikan tidak punya gagasan apapun untuk mempromosikan HPS sebagai hari menentang pelucutan hak-hak buruh perempuan. Sementara pengurus negara sudah merasa cukup puas dengan menghadiahkan tanda cinta, sebanyak satu koper, berisi pelatihan kejuruan kecantikan, menjahit, memasak, teknogi informasi, dan E-commerce. Tanpa membicarakan patriarki dan antek-anteknya, yang terlalu sering mewujud dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk atasan dan tokoh laki-laki bermulut mesum.
Sementara itu, hidup terus berlangsung. Para perempuan perkasa tetap keluar rumah sejak pagi buta untuk berbelanja di pasar tradisional, agar warung makannya tetap dapat melayani rakyat pekerja yang penghasilannya pas-pasan. Pada pagi yang sama, para pekerja rumah tangga sudah tahu pada jam berapa mereka harus melompat dari tempat tidur, tapi tidak tahu kapan RUU Pekerja Rumah Tangga akan disahkan. Sementara itu, ribuan perempuan muda sudah mengenakan seragamnya, dan memastikan riasan wajahnya tidak berantakan, untuk berjaga di toko sambil sepanjang hari sambil menjadi burung beo yang berulang-ulang mengucapkan, “…selamat datang di anumart.”
Dan, juga pada pagi yang sama, buruh-buruh perempuan sudah bergerombol di depan gerbang pabrik. Industri tekstil yang rakus air dan mengotori lingkungan sudah lama dienyahkan dari negara maju, dan sekarang hinggap di sekitar Rancaekek, Sukabumi, Pati, Kudus, dan Grobogan.
Di wilayah industri baru tersebut, perempuan-perempuan muda 18-24 tahun yang kantungnya diperas agar bisa dipekerjakan di pabrik dengan upah murah. Meskipun kebanyakan buruh adalah perempuan dengan status buruh harian lepas, pabriknya tidak pernah disebut sebagai pabrik harian lepas. Dan, pabrik semacam ini tidak punya urusan dengan keselamatan buruh perempuan dari tindakan pelecehan seksual.
Kita di Indonesia sudah lama paham; pelucutan hak, penindasan, dan pemiskinan hak buruh perempuan masih terus berlangsung dan harus terus dilawan. Jika tidak, kita semua hanya akan menjadi tertawaan para pemberani yang dulu memperjuangkan hak-hak buruh perempuan.
Khusus untuk memperingati HPS tahun ini, Trimurti.id merasa perlu untuk menyebut beberapa perempuan, sebagai pengingat bahwa perlawanan belum berakhir.
Almarhumah Nirwana Sele adalah operator crane yang tewas dalam sebuah kebakaran, sebuah insiden yang menyadarkan kita semua akan buruknya keselamatan kerja di fasilitas smeltering nikel di Morowali. Kemudian, Erma Otavia, yang pada Februari 2023 lalu dengan berani memprotes kerja lembur di PT SAI Apparel, pabrik yang memproduksi busana H&M di Grobogan, Jawa Tengah. Lalu, Kartika Puspitasari, pekerja rumah tangga migran yang diperlakukan buruk oleh majikannya di Hongkong. Kartika saat ini masih berjuang untuk memenangkan gugatannya di pengadilan Hongkong.
Redaksi Trimurti.id