Trimurti.id, Bandung—Lulus dari SMA, Bokir—bukan nama sebenarnya—tahu betul dia tak punya pilihan banyak. Mengesampingkan keinginan melanjutkan pendidikan tinggi, tanpa banyak pikir dia segera mencari pekerjaan. Pertengahan 2017, dia bekerja di sebuah tempat hiburan bowling di Jalan Riau, Bandung. Namun, itu tak bertahan lama, hanya tiga bulan. Sebab ia berhenti karena upahnya yang terlampau kecil: Rp. 1,5 Juta per bulan.
Awal 2018, atas saran tetangga dia melamar pekerjaan sebagai tenaga promosi di sebuah gerai alas kaki dan sepatu, yang terselip di mall yang cukup besar di tengah-tengah Kota Bandung. Istilah kerennya: Sales Promotion Boy. Seminggu kemudian, datanglah panggilan untuk wawancara dan seleksi. Selanjutnya, Bokir menandatangi kontrak kerja. Segeralah dia bekerja sebagai buruh kontrak, dengan upah sekitar Rp. 3,3 Juta per bulan. Alias, hanya setinggi upah minimum di Kota Bandung.
Sebagai tenaga promosi, tugas Bokir adalah merapikan rak alas kaki dan sepatu, memantau stok keluar-masuk barang dan membuat laporan penjualan harian.
Baru setahun bekerja, Bokir mengaku sudah jemu dan letih. Wajahnya berubah semakin masam ketika pembicaraan menyinggung persoalan jam kerja dan lembur. Karena gerai tempat kerjanya terletak di mall belanja, maka jam kerjanya pun disesuaikan dengan jam operasi mall belanja tersebut. Shift kerja pertama berlangsung dari pukul 09.00 sampai pukul 17.00, dengan jeda istirahat satu jam pada pukul 14.00-15.00. Shift kedua berlangsung antara pukul 14.00-22.00, dengan waktu istirahat pada pukul 15.00-16.30. Hari libur diberikan pada tengah pekan bukan akhir pekan, karena mall belanja justru sibuk pada akhir pekan.
Untuk mendapatkan libur itupun, tidak selalu mudah. Ia mesti berunding dulu dengan teman-teman kerjanya.
Siapa majikan sesungguhnya?
Pemilik gerai, ujar Bokir, ternyata tinggal di kota berbeda. Karena itu, Bokir hampir tidak pernah berjumpa dengan majikannya. Majikan, pemilik usaha, memang mengutus seseorang sebagai supervisor. Namun orang suruhan pemilik gerai ini pun kemunculannya tidak menentu. Kadang kedatangannya bisa seminggu sekali, bisa pula sebulan sekali. Pada kenyataannya, sehari-hari dia bekerja di bawah pengawasan petugas supervisor dari department store di mall tempat gerai nya menyewa ruangan.
Sang supervisor tersebut yang sebenarnya menentukan jam kerja, mengawasi buruh, menegakkan disiplin, menentukan waktu lembur, untuk kemudian melaporkannya ke pemilik usaha. Pengawas dari department store berhak menegur buruh, bahkan dapat mengeluarkan surat peringatan jika terjadi pelanggaran disiplin kerja.
Tidak hanya itu, pihak department store juga menentukan target penjualan, yang sama sekali tidak ringan: Rp. 30 Juta per-bulan. Pada musim-musim tertentu, seperti menjelang Idul Firi dan Liburan Natal atau Tahun Baru, target penjualan dinaikkan menjadi Rp. 200 Juta per bulan.
Bila penjualan meleset dari target, kedua supervisor, bersama-sama menyuruh buruh untuk bekerja lebih lama lagi. Bokir pernah mengalaminya. Bekerja dua belas jam, dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 21.00. Harap dicatat, itu bukan merupakan kerja lembur yang dibayar. Pengawas tidak menganggapnya sebagai kerja lembur. Mereka menamainya sebagai jam loyalitas. Kalaupun ada upah lembur, besarannya hanya Rp. 30.000 per dua jam.
“Kalau tidak memenuhi target, dirolling [dipindah-tugaskan] ke gerai lainnya. Dan kalau masih tidak memenuhi [target], ya dipecat,” ujar Bokir saat ditemui reporter Trimurti.id, Selasa 5 Maret 2019.
Sialnya, dalam kontrak kerja memang tidak ada ada pengaturan tentang jam kerja. Sehingga pengawas dari department store dapat menentukan jam kerja sekehendaknya.
Sedemikian ketatnya jam kerja, waktu untuk pergi ke toilet pun sangat dibatasi. Untuk urusan toilet, pengawas mengeluarkan golden ticket. Jangan bayangkan itu seperti tiket untuk berwisata ke pabrik coklat, seperti di dalam film Charlie and the Chocolate Factory. Ini hanya tiket untuk pergi ke toilet. Dalam satu hari hanya tersedia dua lembar tiket per-gerai. Mereka yang tidak mendapatkan golden tiket, dilarang ke toilet.
Belakangan aturan untuk pergi ke toilet semakin ketat, sesudah supervisor memerintahkan tenaga satuan pengamanan (satpam) untuk memasang mata mengawasi setiap buruh yang pergi ke toilet.
“Di kasih waktu 15 menit buat ke toilet, kalau [waktunya] lebih dari itu pasti kena omel satpam,” gerutu Bokir.
Masih ada lagi siasat lain majikan untuk memastikan agar buruh mematuhi jam kerja. Dengan cara potong upah. Kalau Bokir mangkir kerja pada awal pekan, upahnya dipotong Rp. 120.000,- per hari. Jika bolos pada akhir pekan, potongan upah lebih besar lagi, yakni Rp. 250.000,- per hari.
Reporter: Baskara Putra & Hirson Kharisma