Categories
Orasi

Saya Guru Honorer, Saya disandera Kontrak Kerja

Pupus sudah angan saya membangun sebuah unit bisnis tembakau bersama teman-teman seperjuangan. Tahun 2023, menjadi tahun kelabu bagi kami. Paceklik penghasilan, dan badai persoalan di internal seolah datang tiada henti pada kami. 

Rasanya hidup tidak mudah bagi kumpulan orang miskin macam kami: menjual tenaga kerja kepada pemilik modal atau membangun bisnis, keduanya memiliki resiko tersendiri yang mesti dihadapi. Dipecat majikan atau gulung tikar.

Tentang segala kepelikan yang kami hadapi, tentu saya simpan rapat-rapat di dalam hati, khususnya terhadap pihak keluarga. Namun, sepintar-pintarnya saya menyembunyikan rahasia, ibu saya lebih pandai membaca jelaga dari Sherlock Holmes atau detektif-detektif tersohor dunia manapun.

Hanya satu pertanyaan saja, ibu saya sudah mengetahui berbagai informasi yang saya sembunyikan. Labirin yang saya bangun secara paripurna, akhirnya runtuh dalam sekejap. 

“Bisnis (bako) sama temen-temen teh gimana sekarang?”tandas ibu sambil menyandarkan bahu di depan kamar.

Dengan sorot mata tajam dan nada bicara datarnya, ibu berhasil membuat saya menjawab lugas pertanyaan tersebut. Tanpa ada satupun informasi yang saya sembunyikan lagi.

Kecakapan ibu membaca jelaga bukan semata mukjizat. Maklum sebagai seorang guru yang telah mengajar selama puluhan tahun, dan pengalamannya bertemu dengan berbagai macam karakter anak murid, intuisi beliau sudah jangan terlatih. Ibu jarang sekali lengah, sudah banyak jelaga yang berhasil ia endus dari saya.

Mengetahui bisnis yang saya jalani tidak berjalan mulus, ibu saya berinisiatif mendaftarkan saya menjadi guru atau buruh pengajar di salah satu sekolah swasta di kota Bandung. Sangat mafhum beliau menyuruh saya bekerja menjadi guru, karena saya lahir dan besar di lingkungan profesi guru. Bahkan hampir satu keluarga, ibu hingga kakak-kakak saya bekerja sebagai guru. 

***

Singkat cerita, pertengahan tahun 2023, saya mengajar di salah satu sekolah swasta di kota Bandung.

Sekadar informasi, yayasan pendidikan tempat saya bekerja, merupakan yayasan yang menaungi pelbagai jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) di satu lokasi yang sama. Di yayasan itu, saya terdaftar sebagai guru honorer untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 

Dalam hidup saya, inilah pertama kalinya saya menjadi seorang guru, dan juga wali kelas murid. Sebagai pribadi yang cukup pendiam dan sulit berbaur dengan orang lain, saya merasa amat kewalahan di bulan-bulan pertama saya menjadi seorang wali kelas.

Tugas yang diemban wali kelas tidaklah mudah. Apalagi untuk pemula seperti saya. Saya harus berhadapan dengan murid dan orang tua murid yang memiliki persoalan. Masalahnya yang ditangani sangat beragam, mulai dari mengurus penagihan tunggakan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), perkelahian antar murid hingga murid-murid yang sengaja membolos.

Dengan beban kerja yang menguras tenaga dan pikiran, sang pemilik yayasan hanya membayar upah wali kelas sebesar Rp75.000. Sementara hitungan upah mengajar, pemilik yayasan membayar saya 7.500 per jam mengajar. Namun sialnya. jika saya tidak masuk bekerja atau libur nasional dan libur kalender akademik, majikan tidak menghitung hal tersebut.

Sudah upahnya murah, pencairannya pun susah pula. Memang upah rutin dibagikan di setiap awal bulan tapi tanggalnya sering tidak menentu. Saya baru akan mengetahui upah saya dibayarkan ketika pemilik yayasan mengajak seluruh pekerja rapat bulanan. 

Di rapat bulanan inilah, saya dan pekerja lainnya akan mendengarkan ceramah sang pemilik yayasan. Ia selalu menekankan agar para pekerjanya mengejar karir di yayasan. Tapi ia lupa, untuk mencapai puncak karir tertinggi, seorang buruh mustilah mendapat kepastian kerja dengan menjadi buruh tetap, dan diiringi dengan pemenuhan hak-hak pekerja seperti jaminan kesehatan, upah lembur, dan lain sebagainya.  

Namun hingga sambat ini ditulis, pemilik yayasan emoh menaikan saya menjadi buruh tetap.

Sudah terhitung hampir dua semester saya mengajar. Saya mulai merasa tidak betah bekerja di yayasan pendidikan tersebut. 

Hal ini bermula saat pihak yayasan meminta saya menandatangani Surat Keputusan (SK) penetapan tenaga honorer. Saya merasa ganjil dengan beberapa poin dalam SK tersebut. Melalui SK itu, yayasan mewajibkan saya untuk mempromosikan sekolah ke pihak luar alias marketing gratisan.

Namun yang membuat saya geram dan terhina adalah saya diwajibkan menginduk di sekolah tersebut. Apabila saya mengundurkan diri tanpa persetujuan dari yayasan, seperti melamar ke tempat kerja lain, maka saya akan menerima konsekuensi hukum. Ya, ini adalah bentuk penyanderaan terhadap buruh pengajar atau guru.

Saya menduga pihak yayasan memasukan klausul dalam SK Pengangkatan guru honorer untuk mencegah para guru honorer mencari penghasilan tambahan. Entah mendaftar sebagai Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Pemerintah Perjanjian Kontrak (P3K).

Lantaran saya masih memiliki akal sehat, dan masih harus mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saya menolak untuk menandatangani SK atau kontrak mengajar tersebut. 

Saya harus menerima kenyataan bahwa menjadi jasa guru di Indonesia tiada harganya. Slogan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tak lebih dari pepesan kosong yang membuat buruh pengajar menjadi tunduk di hadapan majikan pemilik yayasan atau sekolah.

*)Nama penulis dan tempat redaksi samarkan atas permintaan dan demi keamanan penulis.

Penulis: Randy Saputra    

Editor: Anita Lesmana