Categories
Kabar Perlawanan

Rantai Eksploitasi Buruh di Perkebunan Sawit

“Kapanpun ada audit dari luar, manajemen menyembunyikan kami di suatu tempat.”

Menyembunyikan buruh! Terdengar seperti cerita di film. Tapi rupanya itulah cara yang itulah yang ditempuh perusahaan, agar kondisi kerja yang buruk tidak terendus oleh auditor. Kenyataannya, itulah pengakuan seorang buruh perkebunan kelapa sawit kepada Hotler “Zidane” Parsaoran, saat melakukan penelitian lapangan pada September-Desember 2017. Temuan penelitian ini tertuang dalam laporan berjudul “Keuntungan di Atas Keringat Buruh; Kondisi Kerja di Bawah Rantai Pasok Perkebunan Sawit Milik Sinarmas,”yang diterbitkan oleh Sawit Watch dan Asia Monitor Resource Centre (AMRC). Laporan tersebut memuat banyak hal yang menarik dan mencengangkan. Mengungkap cerita tentang kondisi kerja yang buruk dan praktek yang eskploitatif, yang selama ini tampak tersembunyi di balik luasnya perkebunan kelapa sawit raksasa. Penelitian ini menggali kondisi kerja di dua perkebunan sawit milik group kelompok bisnis Golden Agri Resources (GAR), yakni PT. Tapian Nadenggan dan PT. Mitra Karya Agroindo di wilayah Kalimantan Tengah. Ada banyak hal menarik, yang diperoleh dari wawancara terhadap  49 buruh dan tiga mantan buruh kebun; di area perkebunan tanam seluas 500.000 hektare  dan 72.000 hektare kawasan konservasi. Berikut beberapa temuan penelitian:

Sistem Kerja yang Tidak Adil

Sistem kerja yang tidak adil tercermin dari upah yang diterima buruh. Buruh harian lepas hanya diupah Rp. 99.173/hari untuk 20 hari kerja. Tanpa tunjangan dan tanpa asuransi kesehatan. Seorang buruh perempuan bertutur pada Zidane, “Saya sudah bekerja sekitar 17 tahun sebagai buruh lepas. Saya mengerjakan banyak hal tergantung permintaan pengawas. Saya dibayar Rp. 99.000/hari dan bekerja 20 hari setiap bulan. Sebagai buruh lepas, saya tidak diperbolehkan mengambil cuti.”

Meminta cuti libur, dengan alasan apapun, adalah sia-sia. Mustahil buruh harian lepas dibolehkan mengambil cuti untuk menghadiri pemakaman orang tua atau sanak saudara. Tidak tanggung-tanggung, seorang buruh dipecat oleh manajemen karena permasalahan cuti ini. Ada pula soal denda. yang dibebankan pada buruh apabila dianggap melakukan kesalahan. Apabila seorang buruh meninggalkan buah, dendanya Rp. 5000. Memanen buah mentah, dendanya Rp. 1.500; dan jika perolehan harian gagal memenuhi target (100 tandan/hari); upah bakal dipotong ditambah denda lainnya.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Sudah diketahui luas, perkebunan sawit berproduksi dengan menggunakan banyak bahan-bahan kimia. Suatu kali, dua buruh perempuan PT. Mitra Karya Agroindo mengalami gangguan kesehatan karena keracunan bahan kimia. Keduanya tidak pernah mendapatkan cukup informasi dan pelatihan menyangkut penggunaan bahan kimia. Setelah dirawat di klinik, keduanya harus kembali bekerja keesokan harinya.

Ada pula buruh perempuan yang melapor ke perusahaan karena mengalami sesak nafas. Pihak perusahaan, PT. Tapian Nadenggan tak menanggapi.  Padahal dokter yang memeriksa sudah menyarankan agar buruh tersebut dipindahkan ke pekerjaan lain. Kejadian buruk lainnya terjadi tahun 2013, ketika terjadi kecelakaan truk yang mengangkut 40 orang buruh. Truk tersebut terbalik, menyebabkan beberapa buruh cedera. Namun korban tidak pernah mendapat perawatan medis dan asuransi, baik dari perusahaan penyalur maupun pihak manajemen.

Kurangnya tenaga kesehatan dan obat-obatan adalah hal yang perlu disorot dari klinik kesehatan  PT. Mitra Karya Agroindo. Klinik hanya menyediakan satu dokter dan dua perawat saja. Operasi kecil dilakukan tanpa obat bius, dengan kurangnya persediaan.

Upah Murah

Sorotan penting lain adalah soal pengupahan. Ke dua anak perusahaan Sinarmas di atas mengupah buruhnya Rp. 2.000.000/bulan. “Saya menerima upah kurang dari Rp. 2.000.000/bulan. Ini tidak cukup untuk hidup. Makan saja sebulan menghabiskan Rp. 700.000, belum lagi biaya sekolah untuk kedua anak saya. Saya mempunyai pekerjaan sampingan untuk penghasilan tambahan.” Tutur AY, seorang buruh harian lepas.

Lain lagi dengan buruh lepas, mereka tidak memiliki penghasilan bulanan yang teratur. Upah mereka bergantung pada apa yang mereka kerjakan setiap hari. Mereka bekerja tanpa jaminan asuransi kesehatan, tunjangan makan, cuti, dan kepastian kerja. Temuan-temuan ini bertolak-belakang dengan prinsip yang dianut perusahaan, sebagaimana tercantum dalam sustanability report mereka.

Praktik eksploitasi semacam ini telah memaksimalkan keuntungan perusahaan, namun mengenyampingkan hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; seperti dinyatakan dalam  Konvensi ILO No. 100 tentang Remunerasi yang adil, yang sudah diserap pemerintah Indonesia dalam UU No. 80/1957 dan UU No. 39/1999.

Kondisi Hidup yang Buruk

Perusahaan menyediakan perumahan untuk beberapa buruh tetap dan kontrak, namun buruh lepas tidak ikut menikmati fasilitas tersebut. Menurut seorang buruh yang diwawancara, kualitas air di area perumahan sangat buruk. “… sangat kotor dan bau. Warnanya seperti teh. Kami terpaksa membeli air untuk minum dan untuk kebutuhan harian lainnya.”

Di soal kelayakan air, persoalan lain yang dikeluhkan adalah soal jaraknya. Perumahan buruh demikian terpencil, dan jaraknya dari kampung terdekat dapat mencapai 8-10 kilometer. Butuh 1,5 jam untukk mencapai pasar untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Listrik dinyalakan dari jam 05.00 hingga jam 09.00 pagi, lalu dari jam 03.00 sore sampai jam 08.00 malam. Area perkebunan mungkin saja memiliki jadual pemadaman listrik yang berbeda.

Perusahaan tidak mengijinkan buruh harian untuk menitipkan anak-anak mereka di tempat pentipan anak. Padahal, jika mengikuti prinsip yang dianut GAR tentang hubungan manajemen-buruh dan kebijakan ketenagakerjaan, perusahaan harus menyediakan tempat penitipan anak di perkebunan dan membolehkan buruh perempuan untuk mengurus anak.

Diskriminasi Jender

GAR sendiri menyatakan bahwa mereka berkomitmen menghapuskan diskriminasi pekerjaan dan ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan. Kedua perusahaan yang diteliti jelas tidak tidak mengindahkan komitmen itu.Mayoritas buruh harian lepas itu adalah buruh perempuan yang dipekerjakan di bagian penyemprotan, pemupukan, dan kegiatan perawatan lainnya. Namun para Buruh harian lepas perempuan itu pun tidak berhak mendapatkan fasilitas perumahan, asuransi kesehatan, dan tunjangan beras.

Pada 2014, beberapa buruh perempuan menuntut untuk diangkat sebagai buruh tetap, namun tidak ada tanggapan dari pihak perusahaan. Buruh-buruh perempuan tersebut adalah penduduk setempay yang sudah bekerja lebih dari 17 tahun. Salah seorang di antaranya menceritakan pengalamannya: “Saya telah bekerja selama 17 tahun sejak anak perempuan saya masih kecil sampai dia lulus perguruan tinggi. Setiap jam 5.30 pagi, saya harus siap di perkebunan. Pengawas sering menghardik dengan mengatakan saya bekerja sangat lambat.”

Dengar juga cerita dari seorang buruh panen di PT. Mitra Karya Agroindo, yang harus menunjukkan bukti pembalut berdarah ke petugas klinik dan membawa surat dari manajemen, hanya untuk mendapatkan hak cuti haid dua hari.

Menyembunyikan Buruh dari Audit

Banyak perusahaan telah ikut serta dalam kesepakatan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO, 2014).  Kesepakatan ini bertujuan untuk menjamin praktek perusahaan kelapa sawit berlangsung dengan menghormati kehidupan rakyat di negara-negara produsen sawit. Kenyataannya, praktek buruh lepas (yang ilegal) masih saja terjadi. PT. Tapian Nadenggan secara tidak sah telah menyembunyikan buruh lepas dari audit RSPO, dengan cara menyembunyikan buruh lepas ke suatu tempat, atau dengan meliburkannya, dan mengganti jadwal kerja di hari lain.

“Kapanpun ada audit dari luar, manajemen menyembunyikan kami di suatu tempat, atau kami diliburkan dan jadwal kerja akan diganti di hari Sabtu.” ungkap seorang buruh.

Buruh lain juga mengungkapkan hal senada tentang bagaimana perusahaan menyembunyikan buruh lepas dari audit RSPO.

“Saya tinggal di rumah hari ini karena perusahaan sedang diaudit. Setiap kali ada audit, manajemen memperlakukan kami seperti tahanan dengan pengawasan yang ketat. Kentara sekali, walaupun menyatakan terikat pada ketentuan RSPO,  perusahaan tidak bersungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja yang layak.

Pembeli, Produsen, dan Keuntungan di balik Eksploitasi Buruh Sawit

Hal penting lain yang layak diketahui adalah hubungan antara pembeli, produsen; serta keuntungan besar yang diperoleh dari industri sawit. Tentang mengenai hal ini dapat ditelusuri dari catatan yang pernah dibuat Greenpeace. Dalam industri sawit, pembeli dapat digolongkan ke dalam pembeli besar dan pembeli eceran. Pembeli besar menguasai perkebunan, pabrik, dan kilang penyulingan; untuk menciptakan nilai tambah dengan menghasilkan produk siap pakai.  Sedangkan pembeli eceran adalah pembeli eceran adalah perusahaan-perusahan untuk produk siap-pakai bermerk.  Unilever, Cargill, Kraft, Nestle, Burger King, dan Pizza Hut adalah pembeli besar. Padahal perusahan-perusahaan tersebut hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan rantai pasokan sawit. Demikian terpusatnya keuntungan dari industri sawit; sehingga Eka Tjipta Widjaja, pemegang saham terbesar Golden Agri-Resources dan empat pengusaha sawit lainnya meraup keuntungan bersih sebesar 18,3 miliar dolar Amerika Serikat.

Selain itu, modal bank memainkan peran yang semakin penting. Sejak 2006 hingga 2016, secara umum bank terus meningkatkan investasinya, dalam bentuk pinjaman dan surat utang.

Sejak lama, industri terus di bawah sorotan banyak pihak karena berbagai persoalan. Sejak penguasaan lahan, perusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak buruh, dan penyingkiran masyarakat setempat. Meskipun begitu, industri sawit ini akan terus menggeliat seiring permintaan global. Lihat saja, perkebunan sawit terus meluas, karena Indonesia terus saja berhasrat menjadi produsen terbesar di dunia.