Categories
Telusur

Buruh di antara Massa Hitam-Hitam yang Tetap Direpresi

Trimurti.id, Bandung–Penangkapan massa aksi besar-besaran pada peringatan Hari Buruh Internasional di Bandung, 1 Mei 2019, menjadi sorotan hampir semua media massa nasional. Baik platform cetak, daring, maupun televisi. Mayoritas pemberitaan menyatakan bahwa massa yang ditangkap dan dianiaya polisi adalah “perusuh” dan “bukan buruh”.

Pemberitaan-pemberitaan tersebut berangkat dari keterangan aparat kepolisian, yang tentu tidak sepenuhnya sesuai fakta di lapangan. Penelusuran reporter Trimurti.id menemukan fakta bahwa terdapat pula “buruh” yang berada di barisan “massa hitam-hitam”.

Arpatam, bukan nama sebenarnya, 20 tahun, adalah salah-satu dari sekian banyak buruh yang tergabung di sana. Saat aksi, ia mengenakan kemeja flanel motif kotak-kotak warna putih dan tidak membawa cat semprot apalagi melakukan vandalisme. Namun ia dikejar hingga dihantam baton polisi, tepat di tulang hidung antara mata kanan dan kiri. Akibatnya, ia menderita luka lebam di sekitar mata dan mengalami peradangan saat bernafas.

Menurutnya, sedari pagi aparat kepolisian sudah memantau pergerakan massa aksi yang berkumpul di Taman Cikapayang, Dago, Kota Bandung. Massa aksi dipisah menjadi dua bagian oleh polisi di area Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (biasa disebut Monju). Sebagian digiring ke dalam area Monju lalu ditelanjangi dan diangkut ke Polrestabes Bandung. Sebagian lainnya, melanjutkan long march ke arah Dipatiukur melalui Jalan Singaperbangsa.

Belasan suara tembakan peringatan dan suara dari mobil polisi pengurai massa berdengung kencang. Massa aksi berpakaian hitam-hitam kaget dan berlarian. Ketika itu polisi dan tentara mulai memukuli dan menangkapi massa aksi.

Arpatam yang sedang berjalan di barisan belakang terdorong dan terjatuh ke aspal jalan. Aparat kepolisian yang mengira ia akan kabur mengeluarkan bogem mentah di wajahnya. Meski sempat bertahan dan lanjut berlari, aparat kepolisian melayangkan baton ke kakinya hingga ia kembali tersungkur.

Pemuda yang tinggal dan bekerja di pinggiran Kota Bandung itu mencoba kembali berdiri. Namun Arpatam dihantam tameng polisi kemudian dikeroyok. Masih sanggup berjalan menghindari kerusuhan, polisi kembali menghantamkan batonnya menuju jemala atau ubun-ubun dan tulang hidung yang sejajar dengan mata Arpatam. Seketika darah mengucur keluar dari lubang hidung, matanya lebam, penglihatannya kabur.

Kawannya, Ojan, yang berasal dari satu daerah yang sama, memboyongnya ke Taman Panatayuda. Sebagian massa pun berlarian ke taman tersebut karena dikejar aparat kepolisian berpakaian hitam dan mengenakan rompi serta helm antipeluru.

Arpatam bersama kawannya dikumpulkan di taman sambil menangani darah yang mengucur dari hidung. Ia menggunakan pakaiannya untuk menyumbat pendarahan. Tapi seorang anggota Tim Prabu Polrestabes Bandung mendatanginya. Mengira Arpatam masih menggunakan penutup wajah, anggota Tim Prabu itu meninju hidung Arpatam.

“Oh, hidung kamu berdarah, tho. Mau saya tambah lagi?!” Arpatam menirukan ucapan polisi yang meninjunya.

Arpatam tak menanggapi ucapan polisi tersebut. Ia merasa sudah tak berdaya dan kesakitan.

“Saya pake masker tuh supaya darah gak ngalir terus. Eh, ini malah dipukul lagi,” ujar Arpatam, saat ditemui Trimurti.id di rumahnya, Jumat, 3 Mei 2019. Arpatam mengaku bahwa saat ditahan di Polrestabes Bandung ia tidak mendapat perawatan yang layak untuk luka-lukanya.

Arpatam ikut aksi May Day bersama ketiga kawannya. Mereka semua tertangkap dan ditahan.

Saat tengah hari, mereka berempat bersama massa aksi lainnya diangkut ke Polrestabes Bandung menggunakan truk bantuan dari tentara. Di sanalah mereka berempat dan massa aksi lainnya disuruh jalan bebek, rambut digunduli dan beberapa aparat kepolisian mencoret punggung Arpatam dengan hina.

Setelah azan magrib, massa yang ditahan polisi dipindahkan ke Mako Brimob Polda Jabar di Jatinangor, Sumedang. Sejak di mapolres hingga Mako Brimob, Arpatam tidak mendapat bantuan medis yang memadai.

Meski tak separah Arpatam, Nata, salah seorang kawan Arpatam, ditampar berkali-kali dan mendapat kekerasan verbal dari tentara satuan Arhanud Kodam III Siliwangi. Perlakuan itu terjadi saat tentara tersebut mengawal massa yang ditahan bersama polisi menuju Mako Brimob Polda Jabar.

Anggota TNI itu menanyakan domisili Nata. Setelah Nata menjawab Banjaran sebagai daerah asalnya. Anggota TNI itu menanggapi, “Oh, Banjaran yang orang-orangnya suka ngewe dan ngentot itu, ya.”

“ Ya, (tentara itu) bilang kayak gitu, saya aja kaget dengernya,” ujar Nata.

Paman Arpatam, Maman, 47 tahun, menyesalkan penganiayaan yang dialami keponakannya. Pria yang tinggal bersama keluarga Arpatam itu geram atas represi aparat kepolisian yang menurutnya sangat berlebihan.

“Cara kekerasan (baca: aparat kepolisian) kemarin itu berlebihan. (Aparat kepolisian) yang melakukan kekerasan harus diberi sanksi,” tegas Maman.

Ia pun berharap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian tidak terulang lagi.

 

Menyuarakan Aspirasi

Keterlibatan di aksi May Day kemarin bukan tanpa sebab. Menyadari bahwa dirinya juga buruh, ia ikut May Day untuk menyuarakan aspirasinya.

Arpatam bekerja sebagai operator di salah satu persekutuan komanditer (CV) jasa pembuatan website yang beralamat tidak begitu jauh dari kediamannya.

Tempat kerja Arpatam itu mempekerjakan 10 orang operator yang tugasnya mengoperasikan, membuat, dan mengatur traffic website, supaya website klien menempati urutan teratas dicari di Google.

Meski Arpatam sudah berstatus pekerja tetap, upah yang ia terima terlampau rendah, di bawah standar upah minimum regional, sekitar Rp2.000.000,00 per bulan.

Hal itu yang memicunya turun ke jalan memperingati Hari Buruh Internasional. Ia ingin menyuarakan aspirasi terkait upah yang layak.

“Alasan saya ikut May Day, ingin menyuarakan aspirasi saya sebagai buruh yang diupah murah,” ujar Arpatam.

 


Catatan Redaksi: Nama narasumber kami samarkan sesuai permintaan narasumber.

Reporter: Baskara Putra
Editor: Dachlan Bekti