Pengantar: Pemerintah Filipina pada 3 Februari 2021 menerbitkan Surat Perintah Pengusiran terhadap Otto De Vries, rohaniwan berkewarganegaraan Belanda, dengan menggunakan UU Anti Terorisme tahun 2020. Selama hampir 30 tahun terakhir Otto De Vries melakukan kegiatan pendidikan untuk buruh-buruh di Filipina, yang mayoritas adalah pemeluk Katolik. Termasuk buruh-buruh pabrik sandang (garmen).
Sebelum diusir, Otto De Vries dikenai tuduhan sebagai teroris dan komunis. Menuduh dan memberi cap secara serampangan, untuk menyudutkan seseorang, seluruhnya merupakan ulah licik pemerintah Filipina, di bawah presiden Duterte, untuk membungkam kritik, menakut-nakuti serikat buruh, dan memadamkan gerakan buruh.
Mengenai pengusirannya, Otto De Vries menulis testimoni, atau surat pernyataan singkat dalam bahasa Ingris. Trimurti menyajikannya untuk pembaca.
Testimoni Otto De Vries, terkait Perintah Pengusiran Biro Imigrasi Filipina atas tuduhan palsu dari Badan Koordinasi Intelijen Nasional Filipina
Saya, Otto De Vries, dari Diosis Rotterdam di Belanda. Saya tiba pertama kali di Filipina pada Mei 1991 berdasarkan undangan dari Uskup Julio Xavier Labayen, OCD, Prelature Infanta untuk melakukan kerja pastoral. Sumpah Keuskupan untuk menjalani ajaran Gereja bersama kaum miskin memberikan inspirasi bagi saya untuk membenamkan diri hidup dalam keseharian rakyat pekerja. Pengalaman hidup saya semakin dalam seiring dengan kehidupan yang saya jalani bersama buruh Filipina—yang juga menjadi sumber motivasi.
Selama lebih dari 20 tahun, saya tinggal di perkampungan miskin di kota Pasig. Setelah belajar bahasa Filipina dan menyelesaikan kursus mengelas, saya bekerja sebagai tukang las dan buruh konstruksi bagian structural fitter pada 10 tahun pertama.
Dengan menjadi buruh kontrak—sering kali hanya kontrak enam bulan tanpa kepastian perpanjangan, saya merasakan sendiri apa yang dialami oleh kaum buruh, termasuk betapa rendahnya upah yang diterima. Selama hampir tiga tahun saya bekerja di pabrik baja bagian pemeliharaan. Pada mulanya, saya direkrut melalui agen perantara, dan kemudian direkrut langsung oleh perusahaan. Saya menyaksikan sendiri bagaimana upaya para buruh pabrik baja untuk mendirikan serikat dijawab oleh perusahaan dengan menutup pabrik.
Setelah menyelesaikan kursus keterampilan pada tahun 2000, saya berpindah-pindah kerja sebagai tukang listrik di berbagai perusahaan sub-kontraktor, dan selama hampir satu dekade di sebuah perusahaan sub-kontraktor untuk suatu proyek konstruksi skala besar.
Saya mengalami langsung kondisi kerja yang buruk di industri konstruksi. Hak-hak dasar seperti upah minimum, jaminan kerja, dan kondisi kerja yang aman, tidak ada yang terpenuhi.
Menjalani hidup sebagai buruh, dan bersama buruh, menginspirasi saya untuk menulis. Saya menulis tentang sistem alih-daya dalam salah satu pekerjaan terakhir yang saya lakoni. Dalam tulisan tersebut saya menjelaskan kondisi kerja yang buruk di semua lapis kerja subkontrak. Melalui tulisan itu, saya menaruh harapan agar para pembaca dapat memahami dengan baik situasi yang dihadapi oleh pekerja konstruksi.
Banyak kawan yang saya temui menyarankan saya untuk mengirimkan tulisan saya ke Institut Oikumene Penelitian dan Pendidikan Buruh (EILER), lembaga penelitian yang dikenal baik oleh banyak buruh dan serikat buruh.
Di kurun waktu yang sama, saya rutin mengikuti aksi pemogokan buruh perempuan pabrik garmen yang tuntutannya sahnya diabaikan majikan. Perusahaan malah menanggapi tuntutan buruh dengan menutup pabrik.
Melalui pengalaman ini saya menjadi sadar, penindasan di industri garmen ternyata lebih buruk. Berkat solidaritas yang kuat antar buruh, aksi pemogokan itu berjalan konsisten selama 10 tahun. Seiring dengan itu, beberapa buruh perempuan tersebut pada akhirnya mulai berkeluarga.
Para buruh perempuan itu sebetulnya telah memenangi tuntutannya pada tahun keenam pemogokan. Namun perusahaan tidak membayar sepeser pun kompensasi. Setelah upaya yang kedelapan, pihak keamanan membubarkan pemogokan. Saya bersama dua buruh lainnya memutuskan untuk pamit dari barisan aksi setelah menikmati ‘perjamuan terakhir’ kami, menyantap nasi dan sarden.
Sepanjang tahun-tahun itu, saya secara berkala melaporkan kerja yang saya jalani kepada Uskup Labayen, termasuk melaporkan kondisi buruk yang dialami oleh para buruh. Saya melanjutkan pekerjaan itu di bawah penerus Uskup Labayen, Most Rev. Rolando J. Tria Tirona, OCD, DD, termasuk Uskup Bernardino Cruz Cortez yang saat ini bertugas.
Mereka semua secara konsisten selalu menekankan pentingnya misi yang saya jalani itu bagi Gereja. Bukan saja penting untuk berbagi pengalaman, namun juga penting untuk terlibat dalam keseharian perjuangan atas keadilan sosial. Hal ini yang terus membuat saya termotivasi untuk tetap konsisten.
Saya juga ikut terlibat menemani umat gereja, orang awam dan rohaniwan yang punya keinginan sama untuk hidup bersama buruh. Banyak umat gereja yang mencintai kaum-yang-membutuhkan atas dasar Cinta Kasih terhadap Tuhan, dan dengan tulus membantu sesama.
Pada 2014, saya mengalami kecelakaan yang menghalangi saya untuk terus bekerja sebagai tukang listrik. Saya sempat pulang kampung ke Belanda untuk menjalani operasi dan penyembuhan.
Setahun kemudian, EILER menghubungi saya terkait tulisan dan penelitian saya mengenai kondisi pekerja alih-daya/subkontrak di industri konstruksi. Saya semakin akrab dengan EILER sebagai lembaga pelayan oikumene bagi para buruh. Melalui interaksi ini, saya semakin memahami bahwa hubungan antara Gereja dengan Gerakan Buruh adalah hal yang tidak terpisahkan. Oleh karenanya, saya bergabung bersama EILER sebagai relawan peneliti—yang juga menunjang misi utama saya untuk hidup bersama buruh, meski dengan keterbatasan fisik.
Pencabutan izin tinggal tetap dan Perintah Pengusiran yang dikeluarkan oleh Biro Imigrasi Filipina adalah hal yang tidak sah dan tanpa alasan hukum yang jelas. Saya tidak mendapat pemberitahuan apapun, dan tidak diberikan kesempatan untuk membela diri atas tuduhan palsu yang dilayangkan Badan Koordinasi Intelijen Nasional Filipina. Saya dituduh “terlibat dan secara aktif berpartisipasi dalam aksi-aksi protes organisasi Kelompok Teroris-Komunis (Communist-Terrorist Groups/ CTG).”
Dalam surat yang dikeluarkan oleh Badan Intelijen itu juga, EILER dicap sebagai “LSM bagian dari kelompok teroris” (dikutip langsung oleh Biro Imigrasi). Tuduhan Badan Intelijen itu menyesatkan. Saya, maupun EILER, sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas terorisme apapun. EILER itu sendiri menerbitkan penelitian dan bahan pendidikan yang disusun berdasarkan fakta dan kondisi pekerja yang nyata. Tidak pernah ada terbitan propaganda atau materi lainnya yang mendukung kelompok teroris.
Selama lebih dari 30 tahun, saya mendapat kesempatan mendapatkan izin tinggal tetap. Hingga saat ini saya masih menjalani misi saya di Filipina, dan tidak punya kehendak selain melanjutkan misi saya bersama para buruh yang tertindas.
Penerjemah: Rizal Assalam