Categories
Orasi

Kesenangan dalam Kehancuran: Demonstrasi dalam Terang Bataille

Trimurti.id – Ada sesuatu yang menggoda dalam kehancuran. Enggak usah sok-sokan, siapa, sih, yang gak pernah senang lihat sesuatu ambruk? Entah itu bangunan tua yang diledakkan atau api yang melalap habis. Dunia kita dibangun di atas aturan, tapi di balik itu ada hasrat yang ngintip—hasrat buat ngeliat semuanya berantakan.

Masyarakat ngajarin kita kalau ngerusak itu salah. Tapi bukankah dalam beberapa momen, kita justru ngerasa bebas ketika semua aturan itu roboh? Ketika sistem yang ngebelenggu dihantam sampai hancur?

Di situlah Georges Bataille bicara.

Bataille dan Logika Penghamburan

Georges Bataille percaya: hidup bukan cuma soal produksi dan akumulasi. Gak cuma soal menabung buat masa depan atau kerja rodi demi bertahan hidup. Di balik itu, manusia punya dorongan untuk menghambur—buang-buang energi tanpa tujuan produktif.

Dalam bukunya, The Accursed Share (1949), Bataille kasih contoh: matahari kasih energi berlebih tiap hari, lebih banyak dari yang kita butuh. Sebagian besar energi itu cuma… terbuang. Tapi justru di situ letak keindahannya. Penghamburan yang gak masuk akal ini muncul dalam bentuk pesta, ritual, bahkan kekerasan.

Burung merak bikin bulu megah, bukan karena efisien, tapi karena indah dan berlebihan. Pohon bambu meledak buahnya serentak lalu mogok bertahun-tahun. Bunga bangkai tumbuh raksasa dan bau busuk. Di laut, plankton bercahaya terang-terangan. Semua ini gak rasional secara survival, tapi muncul dari surplus energi yang harus dibuang.

Nah, manusia pun sama. Kita juga butuh meledak.

Ketika Protes Berubah Jadi Kekacauan

Lihat aksi-aksi massa di Indonesia lima tahun terakhir. Mahasiswa turun ke jalan, buruh, petani, warga yang tanahnya dirampas, semua udah teriak. Tapi negara? Budeg. Tak ada telinga untuk mendengar, hanya aparat untuk memukul.

Aksi damai direpresi. Spanduk disobek, orator ditangkap, massa dibubarkan. Lalu, ketika demonstrasi berubah jadi chaos—molotov dilempar, pos polisi dibakar—barulah kamera media menyorot.

Buat sebagian orang, itu titik kegilaan. Tapi kalau pakai kacamata Bataille, justru di situlah manusia sedang mengalami dirinya yang paling jujur. Bukan sebagai pekerja, konsumen, atau warga negara yang taat, tapi sebagai makhluk yang melampaui batas.

Tindakan destruktif dalam demo bukan cuma amarah. Ia juga ekstasi. Sebuah pelepasan. Energi yang ditahan terlalu lama—oleh upah murah, biaya hidup yang gila, tekanan mental, rutinitas kota yang bikin napas megap-megap—akhirnya meledak.

Pengalaman Puncak: Ketika Semua Batas Jebol

Bataille menyebut ini sebagai sovereign experience—pengalaman puncak, momen ketika manusia keluar dari logika kerja dan masa depan. Gak pikir besok. Gak pikir cicilan. Cuma hidup di detik itu, di momen itu, dengan segenap tubuh dan teriakan.

Dalam seks, tawa, ekstasi religius—semuanya bikin kita lupa siapa kita dalam sistem. Sama halnya dengan kekerasan dalam demo. Melempar batu ke jendela gedung parlemen, membakar foto presiden, semua itu bukan sekadar aksi. Itu pengalaman, momen ketika batas antara diri dan dunia jadi cair. Dan di situ, kebebasan muncul dalam bentuk yang paling mentah.

Kita terlalu lama hidup dalam dunia yang nyuruh kita sabar. Sabar kerja. Sabar antre. Sabar kalau tanah digusur. Sabar kalau hutan dibabat. Tapi ada kondisi ketika tubuh gak bisa sabar lagi. Dan begitu semua jebolan, ledakannya gak selalu bisa dijelaskan.

Bukan Strategi, Tapi Pengalaman

Mungkin lo bilang: kekerasan gak menyelesaikan apa-apa. Bangunan terbakar, terus kenapa? Aturan gak berubah juga. Tapi Bataille gak melihat itu dari kacamata efektivitas politik. Buat dia, nilai kekerasan ada pada pengalaman transgresifnya.

Bayangin: seumur hidup lo taat aturan. Duduk di sekolah, tunduk pada bos, patuh sama negara. Lalu, di tengah demo, lo berdiri di depan simbol kekuasaan—dan lo hancurkan itu. Dalam satu lemparan, bukan cuma kaca yang pecah, tapi juga ilusi bahwa dunia ini tak terganggu gugat.

Itu bukan vandalisme. Itu pembebasan.

Ketika Hidup Terasa Seperti Mesin

Kenapa kekerasan muncul? Karena hidup kita makin lama makin mirip mesin. Bangun, kerja, makan, tidur. Terus berulang. Jean-Paul Sartre menyebut ini sebagai nausea—mual eksistensial. Lo ngerasa hidup lo gak ke mana-mana. Gak nyambung sama apa-apa.

Dalam kondisi itu, dorongan buat ngerusak bukan cuma soal politik, tapi soal bertahan. Untuk tetap waras, seseorang kadang butuh bikin keributan, butuh ngerasain intensitas. Bahkan kalau itu datang dari pecahan kaca atau asap terbakar.

Apakah ini pilihan atau keputusasaan?

Di sini kita perlu tanya: apakah kekerasan ini kita pilih, atau kita dipaksa? Apakah negara, dengan represi dan ketidakpeduliannya, bikin rakyat gak punya jalan lain selain ngamuk?

Kalau semua ruang ekspresi ditutup, kalau suara-suara dibungkam, kalau aturan cuma jadi alat buat jaga status quo, maka kehancuran bukan lagi pilihan sadar. Ia jadi keniscayaan.

Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan mereka yang melempar batu. Salahkan sistem yang bikin mereka gak punya pilihan selain melawan.

Penutup

Dalam kaca mata Bataille, kekerasan dalam demonstrasi bukan soal benar atau salah. Ia soal hasrat, pelepasan, dan pengalaman menjadi manusia seutuhnya—bukan bagian dari mesin. Ketika negara jadi tuli, hukum jadi alat represi, dan hidup jadi monoton, maka kehancuran jadi bentuk bahasa paling jujur.

Bukan karena kita gila. Tapi karena kita akhirnya ingin merasa hidup.

 

 

Penulis: Albi Abdullah M. Z

Editor: Dachlan Bekti