Trimurti.id, Bandung – Matanya terpejam saat menghisap sebatang rokok keretek. Wajahnya nampak lelah, tapi tanpa tanda akan menyandarkan punggung pada kursi yang menopangnya. Di pos tempat ia berjaga, satpam bernama Deni itu menceritakan alasannya melakukan aksi protes pada Senin, 7 Januari 2019.
Deni merupakan koordinator satpam di kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Meski sudah bekerja sebagai satpam sejak enam tahun lalu, masa depan Deni sebagai satpam belum jelas. Bersama anggota satpam lain, pria berumur 32 tahun itu melakukan aksi protes terhadap kebijakan kampus yang enggan memperpanjang kontrak tujuh anggota satpam dan melakukan pemecatan kepada tiga satpam lainnya.
Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Bagian Umum dan Keuangan (Kabagum) ISBI Bandung Dede Priyana mendatangi para satpam. Ia menyodorkan tawaran untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan (Diklat), setelah melihat catatan ranking kinerja satpam di kampus ISBI, yang dibuat Deni. Ketika mendengarnya, Deni merasa senang.
Deni dipanggil Dede Priyana pada 27 Desember 2018. Dede menjanjikan sejumlah nominal dana untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada para satpam.
“Di situ beliau bilang pada evaluasi satpam, apa keluhan-keluhan satpam. Kalau perlu, diklat. Diklat butuh uang berapa, katanya, 10 juta? 30 juta?” jelas Deni. Ia menyambut baik hal ini, karena menurutnya selama ini belum ada pendidikan dan pelatihan bagi satpam.
Itikad Dede disambut Deni dengan rasa senang. Namun sayang, pihak kampus menyatakan hal yang jauh dari apa yang mereka janjikan.
“Tiga satpam yang menempati ranking terbawah justru di-PHK dan tujuh satpam lainnya belum ditawari kontrak sejak 31 Desember 2018. Padahal janjinya akan diberikan diklat,” ujar Deni ketika ditemui pada Senin, 7 Januari 2019.
Alih-alih mendapat pendidikan dan pelatihan, melalui SK Rektor ISBI Bandung No. 4030/IT8/HK/2018 tanggal 26 Desember 2018, tiga satpam yang berada pada rangking paling bawah dipecat dan tujuh lainnya tidak mendapat perpanjangan kontrak.
Satpam kecewa bukan hanya akibat pemecatan. Selama bekerja, para satpam juga sering merasa kewalahan karena jam kerja yang panjang. Mereka sempat mengeluhkan butuh tenaga tambahan. Karena saat ada acara-acara besar di kampus, satpam yang sedang libur juga mesti ikut berjaga.
Deni dan satpam lainnya pun tidak mendapat uang lembur. Upah yang berjumlah Rp2.700.000,00 itu juga mesti dipotong biaya BPJS ketenagakerjaan, BPJS kesehatan, dan BPJS pensiun. Upah ini kelak akan dipotong oleh perusahaan outsourcing PT Semesta Multi Sekurindo, yang kini telah menyuplai tiga satpam pengganti di ISBI Bandung.
Deni dan satpam lainnya tetap membutuhkan pekerjaannya untuk menyambung hidup. Bersama Komite Mahasiswa-Satpam Boikot Outsourcing (Komassaboring), ia memprotes kebijakan ISBI Bandung yang merugikan dirinya dan rekan-rekannya sesama satpam yang tidak diperpanjang kontrak dan dipecat.
Pelanggaran ISBI Bandung
Dalam kasus ini, ISBI telah melanggar mekanisme pemutusan hubungan kerja dan mekanisme kontrak kerja yang ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Hal tersebut disampaikan oleh massa aksi Komassaboring saat aksi pendudukan rektorat, Senin, 7 Januari 2019.
Rahmat, salah satu buruh yang ikut menggerakkan aksi Komassaboring mengatakan, dalam undang-undang tersebut, PHK hanya bisa terjadi jika pekerja mengundurkan diri, sakit, dan pensiun. PHK hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak, si pemberi kerja atau penerima kerja saling sepakat. Jika dilakukan sepihak, maka yang terjadi adalah pemecatan dan pelanggaran undang-undang.
Pernyataan itu direspons oleh Rektor ISBI Bandung Een Herdiani, yang pada saat itu berada di lokasi aksi. Menurutnya, apa yang disampaikan massa aksi mengenai regulasi itu berbeda dengan yang ada di ISBI Bandung. Pihak ISBI Bandung menggunakan UU Aparatur Sipil Negara sebagai landasan hukum. Karena itu, menurutnya, apa yang dilakukan pihak kampus sudah sesuai dengan apa yang ada di dalam regulasi.
“Aturan yang disebutkan oleh bapak dan mahasiswa itu berbeda dengan apa yang ada di kita. Jadi kalau bapak mau minta untuk jadi pegawai tetap itu tidak mungkin, CPNS aja sulit masuk ke sini,” jelas Een.
Dalam hal ini, Een menyebut bahwa ISBI Bandung adalah institusi yang mempekerjakan pegawai negeri. Karenanya, satpam merupakan PPNPN (Pekerja Pemerintah Non Pegawai Negeri). Aturan yang dipakai adalah UU Aparatur Sipil Negara Tahun 2014, bukan UU Ketenagakerjaan.
Padahal, lewat Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia No. 31/Pb/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Penghasilan bagi Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang Dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, satpam tidak tercantum sebagai PPNPN.
PPNPN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 31/Pb/2016 pasal 2 ayat (1) meliputi: PPPK/staf khusus/staf ahli non pegawai negeri pada Kementerian Negara/ Lembaga; Komisioner/pegawai non pegawai negeri pada lembaga non struktural, Dokter/Bidan PTT; Dosen/Guru Tidak Tetap.
Namun, jika mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, khususnya mengenai ketentuan umum pasal 1 ayat (4), dijelaskan bahwa pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Perusahaan dalam pasal 1 ayat (6) UU Ketengakerjaan No.13 Tahun 2003 adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Bentuk usahanya adalah usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam hal ini ISBI Bandung merupakan badan milik negara yang mempekerjakan buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Karenanya, ISBI wajib mematuhi UU Ketenagakerjaan No,13 Tahun 2003 yang mengatur mekanisme upah, hubungan kerja, dan pemutusan hubungan kerja.
Jauh panggang dari api, pihak ISBI Bandung justru melakukan penipuan kepada satpam yang merupakan pelanggaran berat dan mesti diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
“Jadi adik-adik mahasiswa, mohon juga dipahami. Betul kata Bu Rektor, kalau kita melakukan prosedur yang salah, mohon maaf. Kita akan kaji ulang,” sebut Dede.
Kemenangan Kecil Berkat Aksi Massa
Bentangan spanduk putih bertuliskan “Stop kesewenang-wenangan” menghiasi dinding gedung kampus ISBI.
Koordinator aksi terus menerus membangkitkan semangat massa. Mereka tengah menunggu hasil dari negosiasi antara satpam dan pihak kampus terkait tuntutan satpam untuk dipekerjakan kembali dan diperpanjang kontraknya. Aksi protes pada Senin, 7 Januari 2019, berhasil membuat jajaran lembaga kampus menemui massa dan bernegosiasi di depan Gedung Rektorat.
Tak terhitung jumlah para pejabat kampus yang mengerutkan kening, menaikkan nada bicara hingga membentak massa aksi. Retno Dwimarwati, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum dan Keuangan adalah salah satunya.
“Kamu!” teriaknya. “Kenapa kamu tidak datang ke kantor saya?! Kenapa harus bawa-bawa mahasiswa?!”
Wajahnya memerah, tangannya menunjuk salah satu satpam yang tengah bersila di dekat pintu Gedung Rektorat. Ia tidak terima. Ia menilai, koordinator satpam bisa menemuinya tanpa perlu melibatkan mahasiswa.
Kendati demikian, menurut Nofal, elemen mahasiswa ISBI Bandung yang ikut bersolidaritas, akan sulit jika harus menempuh birokrasi yang panjang dan ribet. Apalagi untuk meloloskan tuntutan para satpam. Karenanya, mereka memilih aksi massa. Mereka kapok menggunakan mekanisme birokrasi yang ada, sebab biasanya berujung pada intimidasi atau adu domba di antara para satpam.
“Nah, itu juga terjadi dengan satpam. Yang kita lihat Dede Priyana ini menggunakan koordinator satpam dan yang terjadi pemecatan, manipulasi, mengadu domba. Akhirnya kemarin kita bareng-bareng setuju, aksi untuk ke rektorat,” jelas Nofal ketika dihubungi Trimurti.id, Sabtu, 12 Januari 2019.
Selain itu, Nofal juga menilai mekanisme birokrasi yang ada tidak pernah demokratis. Aturan birokrasi kampus mengharuskan hanya perwakilan satpam saja yang melakukan protes, tidak melibatkan seluruh pihak. Untuk menghindari intimidasi dan posisi tawar yang tidak seimbang antara pejabat kampus dan satpam, mereka menuntut pihak kampus untuk langsung menemui massa dan memenuhi tuntutan massa.
Demokratisasi kampus inilah yang dibutuhkan masyarakat kampus. Karena itulah, kata Nofal, ketika aksi massa ini dijadikan metode perjuangan, satpam menyambut baik.
“Dan [para satpam] mengakui, kalau tidak ada aksi ini, mereka juga tidak mungkin mendapat jawaban dari pihak kampus,” ujar Nofal.
Jawaban dari pihak kampus itu akhirnya datang setelah satpam berunding dengan pihak rekorat. Ketiga satpam yang dipecat dijanjikan akan dipekerjakan kembali, begitu juga dengan tujuh satpam lainnya. Mereka rencananya akan diberi kontrak baru pada tanggal 15 Januari 2019, tanpa embel-embel outsourcing.
Komassaboring, dalam publikasinya yang disebarkan pada 8 Januari 2019, menyatakan akan mengawal terus kemenangan kecil ini. “Kita kawal terus janji ISBI Bandung untuk mempekerjakan kembali para satpam dan mengusir sistem outsourcing dari kampus!” demikian sebagaimana termuat dalam rilis.
Bagi Nofal, aksi massa ini menjadi kunci kemenangan satpam ISBI Bandung. Aksi massa ini memberi jalan pada demokrasi yang sebenarnya, ketika para pejabat kampus, pekerja, dan mahasiswa, berdiskusi dan berdebat langsung, tanpa perlu diwakilkan. “Dengan begitu, keputusan yang dikeluarkan ditentukan bersama, tidak sepihak,” pungkas Nofal.
Kini, para satpam telah kembali bekerja di ISBI Bandung. Hal ini tidak akan terjadi tanpa aksi massa yang menekan tuntutan para satpam dipenuhi oleh pihak kampus.
Reporter: Ilyas Gautama
Editor: Dachlan Bekti