Categories
Kabar Perlawanan

Hilang Kerja Akibat UU Cipta Kerja

Rabu (22/12/2021), Jouland duduk di kursi tergugat dalam ruang persidangan Pengadilan Hubungan Industrial. Dia tertunduk dan matanya berkaca-kaca. Di muka ruangan, hakim membacakan putusan. Majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan PT Restu Ibu Utama, yakni PHK kepada Jouland. Bahkan, hakim memotong besaran pesangon yang ditawarkan perusahaan.

Jouland adalah seorang perawat di RS Ibu Balikpapan. Wanita itu telah bekerja selama 10 tahun di sana per 2021. Sepanjang bulan September hingga Desember  Jouland harus bolak balik Balikpapan-Samarinda dengan jarak tempuh sekitar 200 Km setiap minggunya. Hal ini harus ia lalui selama pandemi berlangsung untuk menjalani proses persidangan Pengadilan Hubungan Industrial. Di saat masyarakat dan RS seluruh Indonesia sangat membutuhkan tenaga kesehatan, Jouland justru di-PHK oleh Rumah Sakit tempatnya bekerja.

Perempuan 36 tahun itu adalah ketua serikat pekerja di RS Restu Ibu Balikpapan. Pada April 2020, Jouland dan seorang pengurus serikat di-PHK oleh perusahaan karena aktivitasnya berserikat. Sebelumnya, pada bulan September 2019 Jouland mendapat SP3. Sebagai ketua serikat, ia dianggap memprovokasi pekerja RS. Padahal, Jouland hanya meminta dukungan dari seluruh anggota serikat untuk mengajak manajemen RS berdialog. Tujuannya untuk mengklarifikasi kabar yang beredar, yakni desas-desus Rumah Sakit akan dijual ke pihak lain. Namun, perusahaan menanggapi negatif.

PHK yang ganjil itu tak Jouland terima. Selama satu tahun lebih, ia berjuang untuk membatalkan keputusan perusahaan tersebut. Perusahaan sempat menawarkan pesangon sebanyak dua kali lipat lebih besar dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja[1]. Jouland menolak, dia tetap ingin bekerja kembali. Baginya, ini bukan persoalan uang, tetapi keadilan terhadap hak asasi untuk berserikat yang dilanggar oleh perusahan.

Ia telah menempuh semua upaya untuk memperoleh keadilan atas perbuatan sewenang-wenang itu. Sebelumnya pada bulan Juni 2021, Mediator di Disnakertrans Kota Balikpapan telah mengeluarkan anjuran. Isinya menyatakan PHK oleh perusahaan tidak sah dan perusahaan wajib memperkerjakan Jouland kembali. Namun, perusahaan membandel dan menggugat Jouland ke Pengadilan Hubungan Industrial. Jouland ikuti persidangan itu dan berharap memperoleh keadilan. Namun, harapannya dikandaskan oleh majelis hakim yang kerap disapa ‘yang mulia’ itu.

Selundupan Hukum dalam PP turunan UU Cipta Kerja

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat berakhir berdasarkan pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal tersebut  berbunyi, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian.”

Sungguh sebuah aturan hukum yang absurd. PP yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja ini tidak memberikan syarat tertentu yang harus dipenuhi perusahaan jika ingin mem-PHK pekerja dengan alasan ‘efisiensi untuk mencegah kerugian’. Konsekuensinya, perusahaan bisa menggunakan alasan ini kapanpun untuk mem-PHK karyawannya. Tidak ada kepastian hukum dalam peraturan tersebut.

Alasan PHK yang disebutkan dalam pasal ini tidak diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Bahkan, di UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan cacat hukum pun tidak mencatumkan alasan seperti ini. Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, PP sebagai peraturan pelaksana UU tidak boleh bertentangan atau membuat norma sendiri yang tidak diatur oleh UU di atasnya. Namun, asas ini dikangkangi oleh PP yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja itu.

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial sebagai Perpanjangan Oligarki

Seharusnya majelis hakim adalah orang-orang yang paling bijak dan mengerti hukum. Bahkan, mereka dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi bagi pencari keadilan. Namun, dalam perkara Jouland di muka, ternyata hakim malah bertindak sebagai corong dari hukum yang cacat tersebut.

Dalam kasus ini, jelas sekali terlihat keberpihakan majelis hakim. Hakim tidak mempertimbangkan saksi dan bukti-bukti yang diajukan Jouland. Salah satu saksi adalah mantan komisaris perusahaan. Ia memberi keteranganan bahwa sepanjang tahun 2020 perusahaan tidak pernah mengalami kerugian.

Sebaliknya, perusahaan tetap menghasilkan keuntungan dengan adanya pembagian deviden (keuntungan) sebanyak dua kali, yakni pada Maret dan Juni 2020. Keterangan tersebut diperkuat dengan bukti surat yang diajukan Jouland, yaitu Bukti Pemotongan PPh Final Atas Deviden yang diperoleh dari perusahaan.

Namun, majelis hakim tampaknya menutup mata dan akal budinya. Bukti dan keterangan tersebut diabaikan. Hakim bersama dengan pengusaha mem-PHK Jouland secara sewenang-wenang. Mereka mendukung pemberangusan serikat yang dilakukan oleh perusahaan.

Kita tahu bahwa pemerintah, pengusaha, DPR, aparat kepolisian hingga mahkamah konstitusi berkomplot menerbitkan dan mendukung UU Cipta Kerja yang membuat pekerja makin rentan. Ternyata majelis hakim pada PHI pun rupanya ikut menjadi bagian komplotan tersebut. Mereka seperti memiliki paradigma bahwa buruh adalah beban perusahaan dan serikat adalah masalah di perusahaan.

Ketika dimintakan pendapatnya oleh Trimurti, Hirson Kharisma sebagai kuasa hukum mengatakan, setidaknya dari 3 putusan PHI Samarinda yang pernah didampinginya, putusan Hakim cenderung berpihak pada Perusahaan. Perkara pertama No. 61/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Smd dan  perkara kedua No. 89 /Pdt.Sus-PHI/2020/PN.SMR tentang PHK dan Pesangon. Adapun perkara ketiga No. 63 /Pdt.Sus-PHI/2021/PN.SMR adalah kasus Jouland tentang PHK.

Pada dua perkara yang disebutkan di awal, Buruh sebenarnya dimenangkan, tetapi Buruh tetap dirugikan. Hakim memang mengabulkan gugatan dari Buruh. Namun Hakim memotong tuntutan pesangon yang diminta dalam gugatan dengan berdasarkan aturan UU Cipta Kerja dan turunannya. Artinya Hakim hanya memutuskan setengah dari besaran pesangon dituntut oleh Buruh.

Ketiganya adalah kasus PHK yang terjadi jauh sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Namun, pada putusannya hakim selalu mendasari pada UU Cipta Kerja. Tindakan tersebut tentu saja melanggar asas hukum tidak berlaku surut (asas non retroaktif).

Sementara dalam perkara Jouland, majelis hakim jelas-jelas menunjukkan keberpihakan pada perusahaan. Bahkan lebih kejam. “Salah satu majelis hakim di luar persidangan mengatakan, ‘Yang penting buruh pulang bawa uang, enggak tangan kosong.’ Tak ada nafas keadilan sama sekali dari pernyataan tersebut”, Tambah Hirson.

Ketika Jouland diwawancara oleh Trimurti.id untuk diminta tanggapan terhadap putusan tersebut, Jouland diam beberapa saat. Wajahnya merah dan tangannya gemetar, seperti menahan emosi. “Akan tetap berjuang dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” katanya singkat.

[1] PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) mengacu pada aturan – aturan tentang hak buruh dalam proses PHK melalui Kepmenaker no.Kep – 150 / MEN / 2000 yang lantas direvisi pada Kepmenakertrans dengan no KEP – 78 / MEN / 2001. Dua kali merupakan dua kali uang pesangon seperti yang tertuang dalam pasal 156 ayat 2.

 

 

Reporter: Dedi Muis

Editor: Ilyas Gautama