Trimurti.id, Bandung—Minggu, 25 November 2018. Guru honorer Yani Hendarsih mulai mengajar sejak tahun 2000. Jika dihitung sejak tahun itu, sudah delapan belas kali dia menyaksikan peringatan Hari Guru Nasional. Baginya, hari guru merupakan suatu penghargaan prestisius atas jasa para guru dalam membangun manusia Indonesia. Peringatan hari guru di Bandung ditandai dengan upacara bendera; dan para guru memanfaatkannya pula sebagai ajang ajang silarurahmi sesama mereka.
Meski terlibat dalam berbagai kegiatan peringatan, Yani tetap tidak habis pikir dengan polah pemerintah yang tak kunjung memperhatikan nasib dan kesejahteraan guru honorer. Yani pertama kali mengajar di SD Negeri 02 Cipaganti di kota Bandung, dengan upah Rp. 50.000,- per bulan. Seiring meningkatnya kebutuhan hidup, dia berupaya mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan mencari sekolah-sekolah yang membutuhkan tenaga pengajar, singkat cerita, sepanjang 2005-2007 dia mengajar di tiga sekolah. Dua sekolah dasar dan satu taman kanak-kanak.
Lalu, bagaimana Yani mengatur waktunya? Mengajar enam hari dalam sepekan, pagi hari dia bergegas untuk mengajar di taman kanak-kanak. Lalu pada tengah hari meluncur untuk menjumpai murid-muridnya di sekolah dasar. Untunglah, dua sekolah tempatnya mengajar letaknya tak terlalu jauh dari rumah tinggalnya di bilangan Cibaduyut. Terpaksa mengajar di beberapa tempat, setidaknya dalam satu bulan dia bisa mengantungi pendapatan hingga Rp. 600.000,-
Pada sekitar 2010, pengawas dari Dinas Pendidikan Kotamadya Bandung menyarankannya agar mengajar di satu sekolah saja. Konon, itu akan memudahkannya untuk mengikuti seleksi calon PNS. Mengikuti saran tersebut, Yani melepaskan pekerjaan di dua sekolah, yang sebenarnya memberinya penghasilan yang lumayan. Yani segera melengkapi dokumen yang disyaratkan dan mengirimkannya ke pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Tahun 2013 tes penerimaan calon PNS digelar. Merasa memiliki pengalaman mengajar yang cukup panjang, Yani berkeyakinan akan lulus seleksi dan diangkat menjadi PNS. Dia menyambut gembira seleksi itu, dan membayangkan akan lulus seleksi, memperoleh kejelasan status kerja, tunjangan pensiun, dan bonus menggiurkan lainnya.
Ternyata, kegembiraan hanya berumur pendek. Padam seketika, berganti dengan kekecewaan, ketika dia dinyatakan tidak lolos tes. Dia juga heran, karena dalam pengumuman hasil seleksi tidak tercantum angka hasil tes. Menurut dia, seleksi itu tidak berlangsung adil dan transparan.
Hingga saat ini Yani masih berstatus sebagai guru honorer Kategori 2. Artinya, dia bukan PNS. Guru honorer berbeda majikan dengan guru PNS. Jika guru PNS menerima surat keputusan pengangkatan dari Badan Kepegawaian Nasional, guru honorer diangkat melalui surat keputusan dari kepala sekolah tempatnya mengajar.
Meski ada perbedaan status, dalam hal pekerjaan, beban kerja guru honorer dan guru PNS pada dasarnya sama beratnya. Tetapi, karena statusnya berbeda, tingkat upahnya pun berbeda. Hal inilah yang menimbulkan keresahan di kalangan guru honorer. Yani berpendapat, sistem pengelolaan pendidikan merupakan biang keladi dari diskriminasi antar guru di lingkungan sekolah. “Kalau saya gak merasakan diskriminasi sama PNS secara personal, tapi sistem pemerintahannya itu loh, jadi bukan [pribadi] PNS nya. Tapi pengkotakan antara [guru] honorer dan PNS nya itu loh, terlalu lama. Jadi pengakuan ke honorer itu bener-bener kurang gitu.”
Sementara peraturan pemerintah datang dan pergi silih berganti, persoalan guru honorer tetap sangat pelik. Status guru sebelumnya diatur melalui PP Nomer 48 tahun 2005, yang kemudian digantikan PP No 56 tahun 2012. Peraturan yang terakhir inipun, karena harus mempertimbangkan keadaan keuangan negara, pelaksanaannya pun harus menempuh riuh-rendah perdebatan di parlemen. Perdebatan selalu berlangsung, tapi tak kunjung memperjelas status guru dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Alih-alih segera mengangkat guru honorer sebagai PNS, pemerintah malah menerbitkan UU ASN No 5 tahun 2014. Kemudian, sejak 2011 berlaku moratorium (penghentian) pengangkatan guru, untuk memangkas pengeluaran Negara.
Yani menunjuk pula pasal tentang pemutusan hubungan kerja Pegawai Pemerintah Perjanjian Kontrak [PPPK] dalam UU ASN No 5 Tahun 2014, sebagai pasal yang merugikan. Dengan adanya pasal tersebut, guru honorer rentan terkena pemutusan hubungan kerja sepihak. “PPPK itu tidak mendapat [tunjangan] pensiun. Sistemnya seperti outsorcing, kalau gak kepake sama kepala sekolah bisa diberhentikan!” ketusnya.
Bagaimana dengan upah? Semasa mengajar di SDN 02 Cipaganti Kota Bandung (2016-2018), Yani memperoleh upah Rp. 1.000.000,- Malangnya pula, sepanjang Mei-Oktober 2018, upah menurun menjadi Rp. 800.000,- Karena kekurangan guru, pihak sekolah memutuskan untuk menambah tenaga honorer, tanpa menambah anggaran. Akibatnya, Yani harus berbagi upah murahnya dengan guru honorer yang baru. Upah yang diterima Yani jauh lebih rendah dibandingkan Upah Minimum Kota Bandung tahun ini, yang besarnya adalah Rp 3.091.445. Yani semakin gusar saja jika mengingat bahwa Dinas Pendidikan Kotamadya Bandung sering terlambat membayarkannya. “Ya dari disdik, (sebesar) Rp 2.460.000 per tiga-bulan cuma cairnya gak tentu. Harusnya cair April, kenyataannya malah cair Juni,” keluhnya.
Persoalan status kerja dan upah guru honorer sudah dikeluhkan sejak lama. Eko Prasetyo menyinggungnya dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah (terbit 2004). Menurut Eko, upah guru kadang-kadang lebih rendah ketimbang Upah Minimum Kota/Kabupaten di tempat mereka bekerja. Penentuan upah guru, malangnya, tidak mengikuti ketentuan upah minimum, karena dianggap bukan merupakan urusan ketenagakerjaan. Dengan lain kata, guru memang rawan menjadi korban penindasan struktural, penindasan yang -menurut Eko- berasal dari sistem ekonomi politik kapitalisme, yang menekan kesejahteraan kaum buruh, termasuk guru honorer. Berbagai aturan membuat guru honorer terkatung-katung. Mereka hidup dengan upah tidak layak karena anggaran sektor publik terus dipangkas. Jika kebijakan semacam ini dilanjutkan, sektor pendidikan akan mengalami privatisasi habis-habisan. Tak terbayangkan bila, dalam beberapa tahun ke depan, berbagai sektor publik diserahkan bulat-bulat kepada swata. Biaya pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya akan semakin mahal. Sementara, tenaga sektor publik (guru, perawat) terjerumus dalam status kerja yang rentan. Pada suatu hari, guru honorer barangkali tak lebih mujur dari youtubers yang hidup dengan upah murah, status kerja tak jelas dan tak ada jaminan sosial.
Awal November 2018, Yani memutuskan pindah tempat mengajar, dari SDN 02 Cipaganti ke SDN 229 Cibaduyut, Kota Bandung. Alasannya sederhana saja: untuk menghemat pengeluaran. Sebelumnya dia harus menghabiskan uang sekitar Rp. 100.000,- dalam sehari untuk membeli makan dan terutama ongkos transportasi, mengingat tempat kerjanya yang berjarak cukup jauh dari rumahnya. Sempat dia mengakalinya, dengan meminta suami mengantarkannya ke sekolah. Tetap saja, cara itu tidak cukup menolong untuk menekan pengeluaran.
Berprofesi sebagai guru, tidak mengherankan bila Yani memiliki kedekatan emosional dengan anak-anak didiknya. Setiap hari berjumpa murid, dia mengenali beragam karakter anak didiknya, dan menyayangi murid layaknya anak sendiri. Ditemui reporter Trimurti id, Jum’at 17 November 2018, di sebuah sekolah dasar di kota Bandung, perempuan 46 tahun ini mengungkap satu hal yang jarang terpikirkan. Ikatan anak didiklah yang kadang membuatnya sejenak melupakan beragam masalah yang mendera guru. “Saking deketnya sama anak juga kadang lupa kalau saya ini guru honorer. Gajian tanggal satu terus tanggal limanya udah bingung…”
Reporter: Rokky Rivandy
Editor: Dachlan Bekti